menjadi lemah adalah salah satu perasaan yang membawa pemilik raga terus melewati hawa yang tak mengenakkan. awalnya hanya sekedar lesu, yang kemudian berujung letih.
lemah fisik memanglah menyusahkan setiap kegiatan yang seharusnya kita lakukan dengan ringan. namun, apa jadinya jika jiwa seseorang lah yang merasakan hawa tak mengenakkan itu? bukan hanya lesu dan letih. ada banyak sekali atmosfer aneh yang sulit untuk dijabarkan.
seperti ada ribuan batu yang terus menghantam bertubi-tubi, jarum yang terus menghujani tanpa henti, sertu paku berkarat yang memaksa untuk tertancap.
Violet kini merasakan hal itu.
sudah sedari tadi Violet mendekam di kamarnya yang berada di istana Ettheria.
perginya Adam begitu membebani pikiran Violet, dan itu adalah hal teraneh yang violet alami sekarang.
Violet bahkan bertanya-tanya, mengapa kepalanya begitu terasa berat hanya ketika ia memikirkan nada Adam yang terasa acuh kepadanya? atau mengapa hatinya meringis sakit hanya ketika nama Freya yang selalu terucap dari bibir suaminya?
bukankah dirinya sangat tidak menyukai Adam? bukankah ia sudah mencoreng nama Adam di hatinya kala lelaki itu mencampakkannya, bukankah ia membenci lelaki itu ketika selalu berusaha mengusiknya.
bukankah begitu?
lantas, mengapa rasa ini harus ia rasakan? perasaan yang sebenarnya ia ketahui namun terbelit Jutaan keraguan yang lebih mengurung dirinya menegaskan perasan itu.
mungkinkah benar bahwa ia sedang...
mencintai Adam? benarkah ia telah jatuh begitu mudah dan terperangkap dalam pesona seorang Adam?
jika tidak, mengapa ia menangis tersedu-sedu saat Adam pergi meninggalkannya tadi? mengapa ia merasakan sesak yang amat luar biasa. mengapa ia tidak bisa menerima sesaat sebuah kenyataan, bahwa Freya lah yang dicintai Adam.
ini jelas terasa sangat menyiksa, karena perasaan semacam itu, Violet sampai tak bisa tenang walau hanya sedetik.
"apa yang telah ku perbuat, sampai Tuhan menghukum ku dengan perasaan ini."
Violet lagi-lagi menarik telapak tangannya untuk mengusap cairan bening yang mengaliri permukaan wajahnya.
tangis dalam diamnya tak bisa mentitah dirinya untuk mengisi lelaki yang sudah pergi meninggalkannya sendiri dalam keadaan penuh kekecewaan.
***
Aldridge P.O.V
"bagaimana? bukankah kesepakatan kita akan membawa akhir yang menguntungkan, Yang Mulia?"
aku menatap seseorang yang baru saja melontarkan kalimat dengan nada penuh keyakinan itu dingin.
"apa yang bisa menjamin bahwa itu menguntungkan, maaf. bukan hanya di pihak mu, melainkan di pihak ku juga tentu saja," ujar ku tanpa menghiraukan mimik bingung dari lawan bicaraku.
"pertukaran budaya akan menjadi momen yang menyenangkan untuk disaksikan bagi Rakyat Ettheria dan Theovelt. membangun fasilitas di Ettheria dengan membawa ciri khas dari Theovelt tentunya akan menarik minat bagi Rakyat Ettheria. terlebih, Theovelt adalah pemerintahan maju yang dibawah kepemimpinan Yang Mulia. Siapapun pasti mengetahuinya."
"lalu, apakah fasilitas yang akan dibangun di Theovelt dengan membawa ciri khas Ettheria terjamin dapat menarik Minat Rakyat ku?" tanyaku lugas.
"ahh.. untuk itu, akan kita pikirkan apa yang dapat kita bangun. bisa jadi seperti monumen bersejarah? atau... sebuah taman, bisa juga--"
"aku tau."
"baiklah, apa pendapat Yang Mulia, apa Yang Mulia sudah menentukan apa yang akan segera dibangun di Theovelt?"
"hm, aku sudah menentukan."
"apa itu?"
"sebuah lukisan, aku ingin sebuah lukisan yang terpajang di dalam istana ku."
"hanya lukisan? apa Yang Mulia yakin akan hal itu?"
"ya, aku ingin sebuah lukisan yang menggambarkan simbol dari kerajaan Ettheria."
"ada banyak simbol yang bisa digambarkan. Ettheria terkenal akan kekayaan Alam dan juga kerukunan Rakyat. kekayaan dan kemakmuran."
"aku tidak ingin, ada hal yang lebih menarik minat ku."
"apapun itu Yang Mulia."
"aku ingin dilukiskan itu, terlukis Ratu Violet Charlotte. kau mengerti?"
"R--ratu? Ratu Violet? mengapa Ratu?"
"itu keputusan ku, kau tidak setuju?" tanyaku tak suka. jujur saja, berbicara kepada orang tua yang menjabat sebagai menteri kerajaan Ettheria ini sangat membosankan dan menyita waktu. apa susahnya tinggal menyetujui dan meninggalkannya seorang diri saja. ia butuh ketenangan.
"tapi yang mulia, Ratu Charlotte kini adalah milik kerajaan barat. bukankah akan terkesan tidak sopan--"
"walau bagaimanapun, Ratu Violet tetaplah anak dari Kerajaan Ettheria. bukan begitu?"
aku menatap menteri di hadapan ku dengan nyalang, kuharap ia mengerti arti tatapan ku yang tak menyukai bantahannya terhadap keinginan ku yang sudah kuanggap mutlak.
"saya akan mencoba untuk meminta persetujuan dari Ratu Violet terlebih dahulu, Yang Mulia."
"kau ingin meminta persetujuan?"
"iya, itu harus saya lakukan terlebih dahulu."
"tidak perlu, kau tidak perlu melakukannya."
"tapi saya haru melakukannya, karena tanpa persetujuan dari Ratu Violet. saya tidak akan bisa menyiapkan lukisan yang Yang Mulia maksud."
"kukatakan kau tidak perlu melakukannya. karena aku sendiri yang akan meminta persetujuan dari Ratu Violet."
"Yang Mulia akan meminta sendiri?"
"iya, aku berencana untuk bertemu dengannya nanti Malam. tapi ingat satu hal. jangan mengatakan hal ini pada siapapun termasuk Ratu Violet, mengerti?"
"boleh saya mengetahui alasannya?"
"astaga, jika bukan berada di Ettheria. sudah ku pastikan kepala mu akan terlepas dari tubuh mu karena telah dengan lancang bertanya seperti itu padaku." batin Aldridge geram
"aku tidak ingin Ratu Violet mendengar kabar ini dari mulut orang lain. akan lebih mudah jika aku sendiri yang mengatakannya, karena aku yang menginginkan hal tersebut."
"baiklah Yang Mulia, saya akan sampaikan hal ini kepada Pangeran Carlo."
"apa maksud mu? bukankah aku sudah menyuruh mu untuk tetap diam?"
"maaf Yang mulia, walau bagaimanapun pangeran Carlo berhak untuk mengetahui begitu pula dengan Raja Markz."
Prangggg!!
Aldridge menghempaskan Vas didekatnya dengan emosi tak tertahankan. sudah cukup ia mengeluarkan banyak kalimat karena orang tua dihadapannya.
"Kau belum mengerti rupanya? Kau juga sepertinya memang sengaja memancing emosi ku sedari awal?"
"m--maaf Yang mulia. maaf jika hamba telah merusak suasana hati yang mulia."
"hah, kemana kesombongan mu tadi, bukan kah kau menggunakan 'saya' atas julukan dirimu, kenapa begitu mudah kau merubah nya menjadi 'hamba' ?"
"maafkan hamba, hamba tidak akan memberitahukan segalanya kepada siapapun sampai yang mulia sendiri yang mengatakannya. maafkan hamba."
"dengar, kau sepertinya masih belum cukup mengenalku, jika kau pikir aku adalah seorang Raja yang akan menuruti setiap kata seorang Menteri. maka kau telah melakukan kesalahan besar, mulai sekarang perhatikan sikapmu di hadapanku!"
"b--baik Yang Mulia," jawab menteri tersebut dengan nada gagu.
"menteri bodoh." batin Aldridge.
"pergi."
aku kembali menyandarkan punggungku ke permukaan sandaran sofa. menteri yang ku usir itupun telah meninggalkan ruangan ku.
hah, ini waktu yang ku nantikan.
menyendiri dengan ketenangan. hal yang sangat sering kulakukan ketika berada di Theovelt.
berada di Ettheria memang memerlukan waktu untuk beradaptasi, dan itu membuat ku muak.
selain memikirkan perasaan kesalku. terdapat rasa membuncah yang kini mendominasi hatiku.
itu adalah perasaan tidak sabar ketika memikirkan aku akan menemui Violet nanti malam.
Violet ku.
Ratu ku.
***