webnovel

9

Leta memimpin jalan menuju pintu rumah Arlyn. Dia menekan tombol bel.

"Sebentar..."

Suara familiar didengar oleh kedua orang yang kini tengah berdiri di depan pintu.

Pintu terbuka. Menampilkan sosok Abi. Wajah yang awalnya ceria berubah kaku begitu dia melihat sosok Adrian.

Dia mengeratkan pegangannya pada gagang pintu.

"Abi! Bagaimana kabarmu sayang?" Leta membungkukkan tubuhnya mengecup kening Abi seraya mengelus pinggir kepala anak itu.

Abi tidak memindahkan pandangannya dari Adrian. Adrian menelan ludahnya sedangkan Leta dibuat heran dengan bagaimana anak yang barusan dia kecup tidak mengindahkannya sama sekali dan justru menyangkutkan matanya pada sosok pemuda di sampingnya.

"Abi. Kamu kenal paman ini?" tanyanya heran.

Abi tidak menjawab. Matanya masih belum bergerak sama sekali.

Adrian dengan kaku membuka mulutnya. "..Ya. Kami, sudah sempat bertemu."

Alis Leta tertaut naik. "Di sini? Atau di tempat lain?"

Adrian mengusap tengkuknya. "Di sini."

Ya Tuhan.

Sebenarnya hubungan seperti apa yang tengah berlangsung di antara pemuda di dekatnya ini dengan bos muda nya itu?

Bahkan Abi sudah mengenalnya. Leta benar-benar yakin kalau Arlyn bukanlah orang yang akan memperkenalkan Abi, Riel dan Azel pada orang lain.

Bahkan Leta pertama kali mengenal ketiga anak itu begitu dia berkunjung ke rumah Arlyn. Dikejutkan dengan kemunculan tiga orang anak di belakang tubuh perempuan itu. Dan dia baru mengetahui letak rumah Arlyn setelah 4 tahun mengenal bos muda nya itu untuk pertama kalinya di halte.

Arlyn adalah orang yang tidak banyak bicara. Dan agak tertutup. Bahkan setelah 6 tahun Leta mengenal sosok Arlyn dan bekerja di bawahnya, masih ada banyak hal yang Leta tidak ketahui soal perempuan itu.

Seperti apa makanan kesukaannya, hobi nya. Arlyn tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kesukaan terhadap apapun kecuali membuat kue.

Leta bahkan tidak tahu kapan ulang tahun bos muda nya itu. Arlyn tidak pernah menjawab ketika ditanya. Dan tidak pernah ada perayaan. Padahal Arlyn selalu memberi Leta hadiah ketika dirinya berulang tahun. Begitupun kepada rekan-rekan kerja Leta yang lainnya.

Arlyn selalu merayakan ulang tahun orang lain tapi tidak pernah merayakan ulang tahunnya sendiri.

Untuk anak muda yang berdiri di dekatnya ini sudah mengenal sosok Abi,

Leta dibuat sibuk membuat hipotesisnya sendiri.

Adrian membuka mulutnya setelah dengan penuh kesulitan memberanikan dirinya. "Abi ... Aku membawa ini untukmu. Untuk Riel dan Azel." Dia menjeda kelimatnya. "Dan Arlyn."

Dia membungkukkan tubuhnya. Menyerahkan tumpukan box di tangannya pada Abi.

Abi menempelkan bibirnya rapat-rapat. Dengan ragu-ragu menerima pemberian Adrian.

Sama seperti Adrian tadi. Dia membuka mulutnya setelah dengan kesulitan memberanikan diri. "...Paman." Dia menjeda kalimatnya. "Apakah aku bisa bicara dengan paman?"

Adrian dibuat terkejut dengan permintaan anak itu. Benaknya dibuat berpikir bahwa Abi bukanlah anak yang pemalu. Sungguh berbeda dengan dirinya dulu.

Dia perlahan mengangguk. "..Ya. Kau mau kita mengobrol di mana?"

Abi menolehkan kepalanya ke belakang. Melihat keadaan dalam rumah. Dia akhirnya menjawab. "Di belakang."

Adrian terdiam sebelum mengiyakan. "Oke."

Sedangkan Leta dibuat terkejut dengan bagaimana pemuda itu mengetahui ketiga anak asuh Arlyn. Dan bagaimana Abi mengajak si pemuda untuk bicara dengannya seolah mereka sudah sempat memiliki perbincangan di antara mereka sebelumnya.

Abi memindahkan pandangannya pada Leta. "Nenek masuk saja. Aku," Dia menggeser matanya pada sosok Adrian. "Aku mau bicara dengan paman Adrian dulu."

Leta menangkap sebutan nama orang itu sebagai nama pemuda yang masih berdiri diam di sampingnya.

Alis Leta bergerak naik. "...Oke." Dia memandangi tumpukan box di tangan Abi. "Mau nenek bawakan ke dalam?"

Abi mengangguk. Menyerahkan pemberian Adrian pada Leta. Leta memiliki keinginan untuk menguping atau ikut di perbincangan di antara Abi dan pemuda yang bernama Adrian itu, tapi dia menahan keinginannya.

Dia memasang senyum. "Saya masuk dulu ya mas."

Adrian terkejut dengan Leta yang bicara tiba-tiba padanya. "Ah, iya." Dia memberi senyum tipis.

Abi menontoni Leta yang masuk sebelum mengembalikan pandangannya pada Adrian. "Ayo paman."

Adrian dibawa Abi ke bagian belakang rumah Arlyn. Sebuah taman sederhana dengan berbagai macam tanaman berbunga. Adrian teringat dengan ucapan Arlyn bahwa Azel menyukai bunga dan menanam beberapa di belakang. Adrian menganggap taman sederhana namun indah itu sebagai taman milik Azel.

Adrian menyadari Abi yang sudah berhenti melangkah. Membalikkan tubuhnya ke arah Adrian.

Adrian menunggu Abi memulai perbincangan. Setelah penantian menegangkan akhirnya dia melihat bibir Abi bergerak terbuka.

Abi dengan gerakan kecil mendongakkan kepalanya. Membuat dirinya bisa memandang wajah orang dewasa di depannya itu tepat di mata. "....Ini soal umi.."

Mata Adrian melebar sedikit. "...Arlyn?"

Abi mengangguk. Dia hendak berbicara lagi namun pergerakan Adrian menghentikannya. Adrian merendahkan tubuhnya. Hendak duduk di atas rerumputan taman belakang rumah Arlyn.

"Aku boleh duduk di sini?"

Abi terdiam sebentar sebelum mengangguk. Adrian duduk bersila di depan tubuh pendek Abi. Anak itu kemudian melakukan hal yang sama. Membuat Adrian kembali harus menundukkan kepalanya untuk memandang Abi meski kini jaraknya tidak begitu jauh.

Adrian dengan sedikit ragu-ragu memberi tahu Abi untuk melanjutkan kalimatnya. "Ya?"

Abi menundukkan kepalanya di bawah pandangan Adrian. Kedua tangannya bertaut. Dimainkan dengan satu sama lain. "....Umi bilang paman punya banyak uang."

Adrian dibuat terperanjat dan malu tapi tidak mengucapkan apa-apa.

"..Iya.."

Abi tiba-tiba mengangkat wajahnya. "Tolong, belikan hadiah untuk umi!"

Mata Adrian melebar. "....Hadiah?"

Abi mengangguk sekali. "Iya." Abi kembali bersuara. "Umi terus mengatakan kalau paman punya banyak uang dan tidak akan kehabisan uang meski paman makan makanan waktu itu tiga kali sehari setiap hari."

"..."

Adrian terdiam.

Selama satu bulan lebih dia terjebak dalam kesedihan. Membayang-bayangi sosok Arlyn yang menolaknya.

Tapi tampaknya perempuan yang selalu menghinggapi benaknya itu tidak melupakannya. Dan justru, mengucapkan hal-hal aneh tentangnya pada Abi. Dan mungkin pada Riel dan Azel juga.

Adrian cukup, senang.

Setidaknya meski Arlyn menolaknya, dia tidak melupakannya.

Adrian menekan gigi-giginya. Dia teringat pada ucapan Nevan.

'Suap anak-anaknya.'

Itu bukan hal yang benar untuk dilakukan. Tapi,

Adrian putus asa.

"....Abi. ..Apakah aku boleh bicara denganmu?"

Abi mendapat pertanyaan itu merapatkan bibirnya. Dia sudah memberanikan diri untuk membuat permintaan pada orang dewasa di depannya ini. Sekarang dia harus memberanikan dirinya untuk diajak bicara olehnya.

"Hm." Abi memberikan gumaman mengiyakan setelah terdiam sebentar.

Adrian kembali memberanikan dirinya.

"....Aku akan memberikan apapun yang kamu, Riel dan Azel mau ... Aku juga akan memberikan hadiah pada umi mu kapanpun kamu meminta. Jadi," Dia menelan ludahnya. "...Apakah aku boleh menemui umi mu lagi?"

Abi menggigit bibirnya. Dia melupakan ini. Dirinya memberanikan diri untuk bicara pada Adrian karena dia mau memberikan Arlyn hadiah. Dia melupakan fakta kalau orang dewasa di depannya itu menyukai umi nya. Dan tentu memiliki keinginan untuk berada di dekat umi nya.

Seperti dirinya yang menyukai Arlyn dan ingin selalu berada di dekat umi nya itu.

Dia teringat dengan ucapan Arlyn.

'Ketika kamu meminta sesuatu pada seseorang, maka kamu harus mempersiapkan imbalan untuk orang itu.'

Orang dewasa yang menyukai umi nya itu bilang kalau dia akan menuruti permintaannya, asalkan dia bisa menemui umi nya?

Abi bertarung dengan dirinya sendiri.

"....Oke."

Adrian tidak menyangka persetujuan. Dia bertanya-tanya apakah dia salah dengar atau tidak. Tapi otaknya memberitahunya bahwa yang dia dengar tadi tidak salah. Dia hendak memasang senyum dan mengucapkan terimakasih sebelum suara Abi menghentikannya.

"Tapi,"

Adrian kembali diam. Dengan waswas menanti Abi melanjutkan kalimatnya.

Abi memandang wajah Adrian ragu-ragu. Namun ada keyakinan dan keputusan bulat di matanya. "Paman boleh berada di dekat umi. Hanya ketika ada aku."

Adrian terdiam.

Ketika Abi ada? Akan ada anak itu ketika dirinya tengah berada di dekat Arlyn?

Membayangkan itu membuat Adrian malu.

Dirinya sadar dengan hal apa yang dilakukan olehnya ketika dia berada di dekat perempuan itu. Dan Abi akan mengawasinya? Adrian tidak akan bisa menghilangkan rasa malu dan canggungnya di saat itu.

Tapi, jika memang hanya itu cara agar dia bisa berada di dekat Arlyn, maka Adrian akan melakukannya. Dia akan melakukan apapun agar dirinya bisa memandangi sosok Arlynnya.

Adrian mengangguk. Tersenyum kecil. "Oke. Terimakasih, Abi."

Abi menelan ludahnya. Mengangguk ragu-ragu. Dia memalingkan wajahnya. Menolak untuk membalas tatapan orang dewasa di depannya.

Dia menggigit bibirnya. "...Ayo masuk. Aku akan membiarkan paman menemui umi."

Mata Adrian melebar.

Benarkah dia bisa melihat sosok Arlyn lagi?

Abi membangkitkan tubuhnya berdiri. Memandang lurus Adrian yang masih diam terduduk.

"A, Ah."

Adrian langsung buru-buru bangun. Menonton Abi berjalan ke arah pintu depan rumah sebelum akhirnya mengikuti langkah anak itu.

Pintu rumah masih terbuka seperti tadi. Tidak ada yang menutupnya.

Abi mengucap salam. Orang-orang di dalam rumah membalas.

Arlyn. Duduk di bangku meja makan. Menaikkan alisnya melihat kedatangan sosok yang tidak diduganya.

"Kau?"

Dia mengerutkan kening. Dia kemudian melihat sosok anak asuh terkecilnya yang berdiri di depan sosok laki-laki bernama Adrian itu. Arlyn berdiri dari bangkunya. Menghampiri Abi dan menyentuh pundak anak itu.

"Kenapa kalian muncul bersama?"

Dia pikir Abi tidak menyukai Adrian? Kenapa sekarang anak itu berdiri di dekat laki-laki itu setelah memasuki pintu berbarengan seolah mereka habis dari suatu tempat dengan satu sama lain?

Abi setengah memeluk paha Arlyn. Dirinya selalu senang memeluk umi nya.

Dia merapatkan bibirnya

"...Umi. Aku akan membiarkan paman Adrian menemui umi lagi."

Ya Tuhan.

Leta. Masih duduk di bangkunya. Terkejut dengan perkembangan situasi itu.

Arlyn mengerutkan keningnya. "Kenapa dia harus menemuiku?"

Azel dan Riel memandangi ketiga sosok orang di dekat pintu dari tempat duduk mereka.

Arlyn mengangkat wajahnya ke arah Adrian. "Kau bicara apa pada anak ini?"

Adrian terperanjat dan langsung mengangkat kedua tangannya. "Tidak."

Arlyn kembali menunduk pada Abi yang mendongak ke arahnya. Matanya terlihat berbinar. Arlyn tidak bisa tidak mengerutkan kening.

Apa yang membuat Abi tiba-tiba berubah?

Arlyn awalnya bertanya-tanya tapi kemudian menganggapnya angin lalu. Apapun itu. Selama anak-anak yang dia asuh tidak terganggu, Arlyn akan membiarkan Adrian melakukan apa yang dia mau.

Arlyn menghela nafas pelan. "Kau mau duduk?"

Adrian terkejut dengan pertanyaan Arlyn. Dengan kikuk mengangguk. "..Boleh."

Arlyn menunjuk ke arah meja makan dengan dagunya. "Sana."

Adrian mengangguk lalu berjalan menghampiri bangku di sebelah Azel.

"...Hai."

Adrian memberi sapaan kikuk kepada Azel dan Riel.

Azel memberi senyum tipis. "Hai paman."

"Paman. Paman masih menyukai umi?" Tanya Riel. Adrian terdiam. Leta menutup mulutnya dengan dua tangan.

Arlyn yang hendak duduk di bangkunya mengetuk kepala Riel. "Kau. Berhenti mengucapkan hal seperti itu. Abi, kemari." Arlyn mengayunkan tangannya. Abi menghampirinya lalu diangkat dan didudukkan di atas paha Arlyn.

"Umi! Aku juga mau!" Riel menepuk meja dengan kedua tangannya. Arlyn mengabaikannya.

"Riel mau dipangku nenek?" Leta terkekeh. Riel cemberut.

"Mau nya umi." protesnya.

Arlyn berdecak. "Aku memangku Abi karena tidak ada bangku lain."

Riel membulatkan matanya. "Kalau begitu Abi duduk di kursiku! Abi. Turun."

Abi menjulurkan lidahnya. "Tidak mau."

"Abi!" Riel memelas.

Azel menepuk-nepuk pundak adiknya. Sudah terbiasa dengan keributan seperti itu.

Adrian diam menyimak interaksi Arlyn dengan anak-anaknya. Lagi.

Adrian merindukan ini. Dirinya baru sekali melihat interaksi keempat anggota keluarga kecil itu tapi dia merasa seolah dirinya ikut masuk ke dalam kehangatan keakraban mereka.

Leta terkekeh sebelum kemudian menyadari bagaimana Adrian menyangkutkan matanya pada sosok Arlyn. Semburat merah mewarnai ujung telinganya pemuda itu.

Leta menggigit bibrnya yang membentuk seringai.

Kenapa menggemaskan sekali???

Untuk Leta yang sudah tua dan sudah melalui masa percintaannya, melihat anak muda jatuh cinta seperti ini membuatnya gembira.

Melihat sosok Adrian, dia menebak bahwa pemuda itu adalah orang yang pendiam. Arlyn juga pendiam. Tapi Adrian, dia pendiam, namun hangat.

Leta menanti hubungan seperti apa yang akan terjadi di antara keduanya.

Leta merasa dirinya ingin melihat interaksi yang akan tercipta antara Adrian dan Arlyn dengan mata kepalanya sendiri. Tapi kemudian dia berpikir mungkin dirinya harus memberikan waktu untuk mereka menghabiskan waktu hanya berdua.

Tenang saja mba Arlyn. Ibu tua ini akan membuatmu memiliki pasangan yang tampan dan mapan.

Leta menyeringai. "Abi. Riel. Azel. Mau bantu nenek mengambil barang di rumah?"

Ketiganya mengalihkan perhatian mereka pada Leta. Begitupun kedua orang lainnya.

Abi menaikkan alisnya. "Barang? Di rumah nenek?"

Leta menganggguk. "Iya. Kalian mau kan?"

Riel berseru girang. "Mau! Apakah kelinci waktu itu masih ada?"

Leta tersenyum. "Tentu."

"Oke! Kakak! Abi! Ayo pergi!"

Riel melompat turun dari kursinya. Azel berdiri dengan tenang. Leta ikut berdiri dengan senyum menghiasi wajah keriputnya.

"Kamu ikut?" Arlyn bertanya. Menunduk untuk melihat gerak-gerik anak di pangkuannya.

Arlyn tidak bisa melihat wajah Abi tapi Adrian bisa. Anak itu memandanginya. Mengawasi gerak gerik orang dewasa itu.

Adrian menelan ludahnya. Leta menyadari itu menghampiri Abi. Menggendongnya pergi dari Arlyn.

"Sayang.. Temani nenek ya.."

Abi memberontak. "Tidak. Mau sama umi..."

"Kamu tidak mau menemani nenek?" Leta memelas. Abi yang merupakan anak baik jadi tidak tega.

"Abi. Bantu nenek Leta. Atau aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku." Kata Arlyn.

Mata Abi melebar mendengar ucapan Arlyn.

Dia merapatkan bibirnya. Leta menyeringai. "Ayo."

Dia membimbing Azel dan Riel keluar rumah sembari menarik satu tangan Abi untuk pergi bersamanya. Mengabaikan keengganan anak itu.

Arlyn menghela nafas pelan begitu pintu rumahnya ditutup. Menolehkan wajahnya pada Adrian yang masih menyangkutkan matanya pada pintu.

"Kau kembali."

Adrian menyadari Arlyn bicara padanya langsung balas menoleh. Bibirnya buka tutup beberapa kali.

"....Ya.."

Arlyn menyenderkan tubuhnya pada punggung kursi. "Aku tebak bingkisan itu darimu?"

Tadi Leta masuk membawa tumpukan kotak yang terlihat bagus. Terlalu bagus. Arlyn menanyakan soal itu tapi Leta hanya tersenyum jahil. Membuat Arlyn sedikit kesal sebelum langsung menganggapnya angin lalu.

Adrian perlahan mengangguk mengiyakan.

"Kau bilang kau tidak mengatakan apapun pada Abi. Lalu dia 'kah yang justru mengatakan sesuatu padamu?"

Adrian menutup bibirnya. "Anak-anakmu, pasti sangat menyayangimu."

Arlyn menaikkan alisnya. Mengerutkan kening. "Kau bicara apa."

Adrian diam-diam memainkan jari-jari kedua tangannya. "Mereka bukan anak kandungmu 'kan?"

"Bukan."

Adrian memberanikan diri untuk bertanya lagi. "Apa kau, sudah pernah punya pasangan?"

Arlyn mengerutkan kening. "Benar-benar. Sebenarnya apa yang kau bicarakan."

Dia melihat Adrian yang menunduk dengan wajah datar namun tidak menyembunyikan kegugupannya dibuat terhibur. Dia meletakkan sikutnya di atas meja. Menyandarkan sisi wajahnya menghadap laki-laki di depannya itu. Memberi senyum menggoda. "Hei."

Adrian mengangkat wajahnya. Ujung telinganya memerah dipandangi Arlyn dengan senyum seperti itu.

Arlyn terkekeh. "Kau masih menyukaiku?"

Dia melihat mata Adrian melebar. Laki-laki itu menggigit bibir bawahnya.

Arlyn masih tidak bisa tidak dibuat bingung dengan tingkah si pemuda.

"Apa yang membuatmu menyukaiku? Kau memiliki selera yang aneh."

Adrian terkejut menerima pertanyaan Arlyn. Dia hendak menjawab meski masih dibarengi kegugupan. Tapi perempuan itu lebih dulu mengangkat tangan satunya. Memberi tanda agar dia tidak usah bicara.

"Tidak perlu menjawab. Aku tidak butuh jawabanmu. Hei."

Dia kembali memanggil. Kembali membuat si laki-laki memfokuskan dirinya pada lontaran kalimat dari si perempuan.

"Kau punya banyak uang kan?" Arlyn menyeringai. Adrian terdiam sebelum dengan pelan mengangguk.

Arlyn kembali bicara. "Bawa aku dan anak-anak jalan-jalan."

Adrian terdiam. "....Jalan-jalan?"

Arlyn mengangguk mantap. "Ya. Kapan kau bisa?" Dia bertanya.

"....Sekarang-"

Arlyn langsung memotong. "Tidak perlu sekarang."

Adrian bersuara pelan. "Kalau begitu, besok?"

"Kau tidak ada acara?"

"Tidak ada."

"Kalau begitu besok kembalilah kesini jam satu siang."

"Apakah ada sesuatu yang ingin kamu beli?" Adrian bertanya ragu-ragu.

Arlyn mengangkat bahu. "Entahlah."

Adrian hendak bertanya lagi tapi Arlyn lebih dulu berbicara.

"Sekarang kau pulanglah. Aku ingin istirahat. Besok aku harus mengurus tiga anak kecil dan aku harus mengumpulkan mood dan tenaga."

Dia berdiri dan menggoyangkan satu tangannya.

"....."

Arlyn berjalan menuju suatu pintu ruangan dan menghilang di balik pintu itu. Meninggalkan Adrian begitu saja di tempat duduknya.

04/06/2022

Measly033