Dua hari sudah aku menunggu balasan darinya. Sudahlah, mungkin benar apa yang dikatakan Elang, tak ada satu pun pria yang direspons olehnya, mungkin apa yang dikatakan Acih hanya bualan semata.
Lagi pula, kenapa aku harus menunggu? Kenapa aku sangat berharap? Dari awalkan aku tak bermaksud padanya.
Jangankan cinta, kenal juga enggak. Lagian aku hanya tahu namanya yang membuatku penasaran, aku tahu tentangnya dari orang lain yang membuatku ingin membuktikan, apakah benar yang dikatakan orang? Anehnya, kenapa aku terus memikirkan hal yang tidak pasti?
Siang itu seperti biasa aku bersama kedua temanku, Elang dan Dafa. mengisi kegabutan di base camp. Karena tugas anyaman kemarin dari Pak Mahmud sudah beres, jadi hari ini kami hanya brousing tentang tutorial kerajinan yang mudah dan tidak memakan biaya.
"Bro, kapan nih kalian mau pada berangkat ke pondok?" tanya Dafa.
"Elu sendiri mau kapan, Daf?" Elang menanya balik.
"Gua kayanya sore ini dah, semalam Bapak ngomong, katanya jangan lama-lama di rumah takut betah," jawab Dafa dengan muka datar.
"Sabar, Mas bro, teruskan perjuanganmu, lagi pula gua bosen di sini liat elu mulu sama si Arly." Elang menepuk bahu Dafa dengan mengarahkan pandangan ke langit. "Coba ada Acih di sini, pasti hati gua lebih berbunga bunga," lanjutnya.
"Sadar woy, kita bertiga mondok di tempat yang sama," ujarku ke Elang.
"Acih mulu sih yang ada di otak lu," tambah Dafa menyinggung Elang. "Elu kapan Ly?"
Belum sempat aku menjawab. Teleponku bergetar tanda panggilan.
"Bro Acih nih telepon gua, lospeak jangan?" tanyaku sambil melirik ke arah Elang menunjukkan kemenangan.
"Lospeak aja, Ly, biar si Elang kena mental," jawab Dafa sambil tertawa.
"Oke, tapi lu pada diem, ya jangan ngomong apa-apa, cukup jadi pendengar setia aja."