Sukabumi,
Menjelang Maghrib, jalan besar menuju kampung dipadati puluhan atau bahkan ratusan motor. Mobil yang Rei tumpangi mendadak mandek. Tak berdaya melawan lautan manusia berseragam biru. Sementara Mbak Zia menatap cemas.
"Ini ada apa, Pak? Pasar kaget?" Ujarnya pada supir yang asli Sukabumi.
Pak supir menjawab santai. "Bubaran pabrik Mbak. Di sini banyak pabrik tekstil dan garmen. Itu loh, Mbak, baju-baju ala Korea yang lagi tren itu. Dibuatnya ya di sini. Ini pabrik juga yang punya orang Korea."
Leher Rei memanjang keluar dari jendela mobil. Kedua matanya takjub melihat ratusan perempuan berkerumun seperti semut. Baju mereka serupa. Langkahnya pun tak jauh beda. Menuju kerumunan lainnya: geng lelaki yang duduk di atas motor.
"Terus yang di motor itu tukang ojek?" Masih saja Mbak Zia menyelidik.
Supir tetap menjawab tanpa menoleh. "Bukan, Mbak. Itu yang di motor ya suami mereka. Yang kerja jadi buruh di sini perempuan, Mbak. Pabrik tekstil dan garmen jarang mau menerima buruh lelaki. Katanya tidak telaten dan teliti seperti perempuan. Lagipula perempuan lebih penurut dan tidak banyak menuntut. Jadi yang kerja perempuan. Suami urus anak, jaga rumah dan jemput istri. Nah, sawah kan jadi tidak terurus, makanya dijual ke perusahaan."
Rei masih takjub dengan kelincahan perempuan-perempuan berseragam yang keluar dari pagar yang menyatu tembok tinggi. Tidak semuanya keluar, ada juga yang masuk. Mesin tak seperti manusia. Mesin bisa bekerja 24 jam. Tapi mesin tetap manusia sebagai penjaga. Dan sekarang giliran mereka yang menjaga mesin-mesin itu. Buruh yang bekerja di SIP 3.
Mobil yang membawa Rei melintasi kerumunan berhenti di rumah Pak RW. Tempat Rei dan Mbak Zia menumpang malam ini. Masih ada waktu sejenak diskusi dengan beberapa warga yang ikut datang di tempat Pak RW. Seorang anak kecil riang menyapa Rei.
"Aduh, cantik sekali. Siapa namanya?"
Bapak si anak menjawab. "Lilis, Teh..."
"Yang jaga Lilis Bapaknya, Teh. Ibunya lagi dapat jatah SIP 3 di pabrik tekstil." Pak RW menambahkan.
Rei hanya tersenyum sambil mengangguk. Untung tadi Pak Supir sudah cerita di jalan. Dia tak lagi terlalu kaget. Bahkan selama menginap dua hari, Rei mulai terbiasa. Mulai mengerti posisi bapak rumah tangga yang menggantikan peran ibu—yang tengah bekerja di pabrik.
Inilah wajah di balik fashion industri. Inilah yang tak ikut dipertontonkan di atas panggung runaway yang selalu megah. Inilah kenyataan yang tak terliput dari gemerlapnya tren yang datang dan pergi.
Bukan tanpa kebetulan, mesin pertama yang ditemukan di era revolusi industri adalah mesin pemintal benang. Ya, revolusi industri dimulai dari dunia fashion. Sejak mesin pertama itu ditemukan, dunia seperti berlomba adu cepat. Jam kerja ditambah, pekerja perempuan dan anak menghiasi pabrik-pabrik di Inggris. Mesin yang terus berputar meninggalkan jejak di udara, mencemari langit dan pelan-pelan mengubah iklim. Merekam kisah kelam yang jadi catatan sejarah.
Sudah lewatlah kisah itu? Belum. Perbudakan, perdagangan manusia dan eksploitasi anak masih mewarnai dunia fashion sampai hari ini. Rei sadar, sehelai baju yang melekat di tubuhnya bisa jadi sudah melewati puluhan bahkan ratusan kilometer.
Baju dibuat dari serat alam dan sintetis. Serat alam dari kapas misalnya, mungkin ditanam di Tiongkok atau India. Lalu dipintal menjadi benang di Turki. Diubah menjadi produk garmen di Indonesia. Didesain di Eropa. Diproduksi secara massal di Bangladesh. Lalu dijual ke seluruh dunia. Kelak, sampahnya barangkali dibuang ke salah satu negara di benua Afrika.
Ada begitu banyak kisah di sehelai baju. Ada segudang cerita yang luput dari bidikan kamera fashion photographer atau liputan media. Masih segar dalam ingatan peristiwa runtuhnya Rana Plaza di tahun 2013. Dalam gedung yang berdiri di Bangladesh itu, ada lima pabrik garmen.
Runtuhnya Rana Plaza menewaskan 1138 jiwa dan membuat 2500 orang terluka. Mayoritas korban adalah para buruh yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan fashion di Eropa.
Lagi, Rei menutup matanya. Mengambang bening air yang tertahan di pelupuk. Kini bukan lagi di Bangladesh, di bumi tempatnya berpijak pun ada ribuan perempuan yang menggantungkan nasib mereka di dalam tembok tinggi pabrik tekstil. Semoga perempuan-perempuan tangguh ini bisa sejahtera, dihormati hak-haknya, mendapat upah yang layak dan punya jam kerja yang jelas.
Tempatnya sekarang berpijak pun tengah krisis air bersih. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang mengeksploitasi beberapa sumur di daerah ini ditunjuk sebagai biang keladi. Masalahnya di sini bukan cuma satu perusahaan AMDK, tapi banyak.
Perusahaan AMDK tidak mau disalahkan sendirian. Mereka tuding juga pabrik-pabrik tekstil sebagai penyebab krisis air dan pencemaran. Memang masuk akal juga. Bukan rahasia lagi, industri fashion dari hulu sampai hilir adalah proses yang boros air.
Menurut penelitian, dibutuhkan 2.720 liter air untuk membuat kaus katun. Ini setara dengan kebutuhan minum seorang manusia selama kurang-lebih 3 tahun. Belum lagi limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan pakaian, jika tidak diolah dengan tepat, bisa dipastikan merusak air bersih.
Saat ini produk fashion dibuat dengan sistem sizing (S,M,L) dalam partai besar untuk menekan harga. Orang membuat pakaian lebih dari yang dibutuhkan. Begitu tren lewat, produk baru dibuat. Produk lama yang tak laku dan fashion item yang sudah usang dibuang begitu saja. Masalahnya selesai? Tidak.
Satu atasan berbahan linen mungkin butuh waktu 3 minggu untuk hancur dan menyatu dengan tanah. Tapi celana berbahan nilon butuh 30-40 tahun. Satu set pakaian olahraga berbahan lycra bahkan butuh waktu 20-200 tahun.
Huff...Rei mengelus dadanya. Inilah alasannya. Ini sebab utama Ia mempertahankan SEMI. Bagi Rei, ini masalah keberpihakan. SEMI, walau masih seumur jagung, tapi jadi ruang untuk bicara tentang sisi lain industri fashion.
SEMI hanya menjual kain batik tulis yang dibeli langsung dari pembatik di daerah. Pakaian diproduksi sesuai pesanan untuk mencegah produksi massal yang kelak hanya jadi sampah. Desain pakaian selaras dengan kebutuhan pelanggan, agar lebih pas dan awet.
Rei terhubung dengan semua yang mengerjakan produk SEMI. Mulai dari pembatik sampai penjahit. Rasa terhubung ini pula yang ingin Rei tularkan ke banyak orang. Sebab terlalu banyak cerita di balik sehelai kain yang melekat di tubuh. Bahkan di tempat kini Rei melihat, mendengar dan merasa, sekelumit bagian industri fashion sudah ikut mengubah budaya yang ajeg selama bertahun-tahun.
Tetapi kecintaannya pada dunia fashion itu pula yang membawa langkahnya ke tempat ini. Beberapa kilometer dari pabrik Korea yang mempekerjakan ratusan perempuan, seorang lelaki—berbaju pangsi khas leleaki Sunda—tekun berkisah kelahiran batik Sukabumi.
Dalam satu ruang besar dari kayu yang kokoh, ragam kerajinan tangan diletakkan menawan. Juga beberapa helai batik khas Sukabumi yang baru diambil dari pembatik.
"Batik Sukabumi memang belum lama. Baru-baru ini dibuat dan diperkenalkan. Paling terkenal yang ini. Motif penyu, menggambarkan Sukabumi sebagai daerah pesisir yang ramah dan peduli dengan keberlangsungan penyu."
Mang Udin, lelaki berbaju pangsi itu, memberikan sehelai kain batik tulis bermotif penyu pada Mbak Zia. Warnanya oranye bercampur ungu. Semarak warna pesisir. Sementara Rei tertarik pada kain yang lain.
"Motif batik Sukabumi lainnya terinspirasi dari dongeng dan hikayat yang hidup di masyarakat Sunda. Ini namanya motif Leungli, dari dongeng Si Leungli. Dongeng ini mengisahkan pertemanan anak perempuan bungsu dengan seekor ikan ajaib bersama Leungli.
Mang Udin kembali mengambil kain batik dari rak. Lalu beranjak ke rak yang lain. Masih merapal dongeng di sehelai kain batik.
"Ini motif Candramawat. Si Candramawat ini kucingnya Nini Anteh. Dikisahkan, Nini Anteh adalah seorang perempuan tua yang senang cerita dengan bulan. Kalau sekarang mah namanya curahan hati...begitu...alias curhat. Kalau lagi curhat sama bulan, Nini Anteh pasti ditemani Candramawat."
"Orang Sunda suka curhat sama alam ya, Mang? Sama ikan, sekarang sama bulan."
Rei geleng-geleng mendengar cerita Mang Udin. Si Mamang malah tertawa.
"Hahaha... begitulah Teh, orang Sunda hidupnya berdampingan dengan alam. Bergantung pada alam. Ada masalah, ya balik lagi ke alam. Nah, soal alam, nih ada lagi batik motif Rereng Ciwangi. Dari dongeng juga. Ceritanya tentang Nyimas Ciwangi yang memerangi raksasa perusak alam. Raksasa ini suka mengunduli gunung dan merusak pohon. Tapi Nyimas Ciwangi bisa mengalahkan raksasa hanya dengan lembaran daun suji yang membuat kulit raksasa jadi hijau. Raksasa pun kaget dan jatuh ke dalam air panas."
Rei ikut tertawa mendengar kisah Nyimas Ciwangi dan raksasa. Sungguh kisah yang sangat menginspirasi tentang kehebatan daun suji sebagai pewarna alami. Jangankan makanan atau kain, kulit raksasa saja bisa jadi hijau. Di dalam dongeng, selalu ada keyakinan, pesan dan cara hidup yang ikut diturunkan.
Dan di Sukabumi Rei melihat dua sisi dunia fashion. Satu ada dalam tembok tinggi pabrik tekstil yang menyerap budaya K-POP. Satu lagi tersimpan di galeri kayu yang berusaha terus mengabadikan kisah dongeng masa kecil dengan media sehelai kain. Mana yang lebih populer? Rei tersenyum miris. Rasanya tak perlu penelitian ilmiah untuk tahu jawabnya.
Beberapa hari kemudian, pijakannya sudah ada di kota yang berbeda. Pusat fashion Indonesia. Paris van Java. Rei menemui Sin, Ben, Rana dan Restu yang ada di kota itu. Hanya Distya saja yang absen.
Sayang, pertemuan langka mereka tak terasa seperti bunga di musim semi. Di kota Bandung, tempat aneka fashion outlet bergeliat dan mode terbaru dipajang di etalase, Sin resmi mundur dari SEMI. Tentu alasannya karena Sin ingin fokus dengan kursusnya di London.
Permintaan Sin tak bisa diamini Ben. Akhirnya mereka sepakat untuk membekukan SEMI sampai Sin pulang dari London. Dada Rei terasa sesak, ada banyak harap diukir pada satu mimpi bernama SEMI. Mimpi Rei tentang fashion yang ramah budaya dan lingkungan. Mimpi Rei tentang kesejahteraan pembatik di daerah. Mimpi Rei tentang menjaga warisan tutur cerita leluhur. Haruskah semuanya berakhir?
Bandung malam hari. Terasa dingin menusuk meski secangkir kopi panas hadir di atas meja. Sin akan terbang ke kota yang lebih dingin lagi. Kian berjarak, semakin jauh. Dalam hati, Rei berdoa, moga hubungannya dengan Sin tak ikut jadi dingin.