webnovel

Ardiansyah: Raja dari Neraka

Dunia yang kalian semua kenal telah lama hancur, teman dan keluarga kalian kini entah bertamasya di Surga atau membusuk di Neraka. Namun bagi yang terpilih, Sang Pencipta telah membangunkan Dunia baru untuk mereka yang di dasarkan atas sihir dan sains. Dunia yang diisi oleh tiga bangsa, dengan rumah dan tubuh yang berbeda. Ilmuan cerdas di Angkasa, pengrajin kreatif di Daratan, serta seniman yang bermandikan keindahan di Lautan. Kisah Dunia baru ini terlalu panjang untuk kuceritakan dalam satu kali pertemuan. Jadi untukmu temanku, akan kubagi mereka menjadi beberapa bagian. Part 1: Prologue (Vol 1 & 2) Takdir Amartya untuk menjadi raja atas Bumi ini sudahlah ditetapkan. Demi mengagungkan kelahirannya, Sang Pencipta mengalirkan api neraka di dalam darahnya. Namun hatinya jatuh cacat sebagai bayarannya, dan satu-satunya yang bisa menyempurnakannya hanyalah seorang gadis es, dengan kunci di hatinya. Part 2: A Party of 8 (Vol 3 - 7) Makhluk-makhluk nista datang mencemari Daratan, dan atas nama kemurnian tanah suci ini, Mereka yang Abadi mengumpulkan prajurit-prajurit terbaik dari generasi termuda. Manggala dan rekan-rekannya harus bisa menghadapi tantangan ini, dan menyelamatkan apa yang berhak diselamatkan. Part 3: Throne of the Ocean (Vol 8 - 10) (Warning 18+ only) Perang tiada akhir terus melanda seisi Samudra, yang sudah teramat ganas dari detik dirinya dilahirkan. Gumara yang ditinggalkan keluarganya terpaksa mengemban tanggung jawab untuk bangkit, dan kembali membangun kejayaan itu atas nama sang pembawa ular. Dunia ini dipenuhi aturan yang nista, namun bukan berarti kita harus tenggelam di dalamnya.

PolarMuttaqin · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
413 Chs

Chapter 20: Ladies of the Woods

Sementara Amartya sibuk berbincang dengan Ibunda Ratu Zoastria, Naema pergi berjalan mengikuti gadis panggilan Ibunda menuju kamar yang disediakan untuk mereka.

"Maaf kakak pemandu." Panggil Naema pada gadis pemandunya.

"Naon, teh?" Kemudian balasnya.

"Hmm, itu... aku agak penasaran dengan suku kalian. Boleh tidak aku mendengar sedikit soal suku Alam?"

"Sok atuh, mau nanya tentang apa, teh?"

"Uhh..."

Naema cukup kesulitan menyerap kata-kata para gadis Alam. Dirinya agak tak terbiasa dengan gaya bahasa mereka, beruntung otak cerdasnya setidaknya cukup mampu untuk memahaminya.

"Seperti asal-usul kalian, dan... mengapa aku tidak melihat ada satupun laki-laki dan orang tua? (Bahkan Ibunda terlihat muda)."

"Orang tua? Hmm, kami mah semua nu aya didieu setua kakek dan nenek teteh…"

"Eh!? Beneran?"

"Hihi, izinkan diriku bercerita ya, teh." Dari sana, si gadis pemandu pun memulai ceritanya.

Dahulu kala, sewaktu dunia ini pertama kali diciptakan oleh Sang Pencipta, datanglah seorang gadis ke Dunia ini. Dia berjalan menelusuri seisi Selebes, mencari-cari kawan dan informasi tentang Dunia yang baru ditempatinya.

Sampai suatu hari, tibalah ia pada sebuah sungai di Utara. Dia pun minum dari air sungai tersebut dan turut membersihkan tubuhnya. Dan di sana pun, ia melihat refleksi wajahnya, kian menyadari hal yang berbeda dari dirinya.

"Sejak kapan rambutku… jadi begitu putih dan bersih? Mataku... merah muda!? A-Apakah aku terkena suatu wabah? Atau Dia menjadikanku seperti ini?" Gadis itu termenung dalam benaknya.

Dia mulai meraba-raba wajahnya dan sisi lain di kepalanya, hingga akhirnya ia pun menyentuh daun telinganya. Ada yang salah, kuping ini terasa lancip dan panjang, dan karenanya, ia pun berusaha melihatnya melalui pantulan air sungai.

"Aku... aku berubah jadi elf!? Aduh bagaimana ini..." Gadis itu semakin bingung.

Kini dengan berjuta pertanyaan ia lekas berkelana tanpa tujuan demi mencari-cari seseorang yang bisa menjelaskan tentang apa yang terjadi kepada dirinya dan Dunia ini. Tetapi tiada satupun manusia yang bisa ia temui. Hingga akhirnya, perjalannannya pun berujung pada sebuah pohon besar yang kita kenal sebagai Pohon Kehidupan.

Pohon itu berbicara kepada si gadis melalui jiwanya. Dia menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan oleh perempuan itu dengan lengkap dan jelas.

Setelah ribuan tahun akhirnya berlalu, pohon itu menawarkannya untuk menjadi ibu dari anak-anak yang nantinya akan merawat dirinya dan dunia ini. Gadis itu tanpa ragu menyetujui tawaran Pohon Kehidupan. Kesepian sudah terlalu lama menghantuinya, ia membutuhkan manusia atau makhluk sejenisnya untuk bisa diajak bicara dan berteman.

Pohon Kehidupan pun meminta gadis itu untuk duduk di sebuah kursi, yang terbentuk dari akar dan ranting, menyatu dan terletak di dalam dirinya.

Menurutinya, si gadis kemudian masuk kedalam Pohon Kehidupan dan menduduki bangku tersebut. Lalu seketika, akar-akar kecil pun bermunculan dan menancapkan diri mereka pada tangan, kaki, dan punggung gadis itu, mengambil semua informasi yang ada padanya melalui 1000 tetes darah. Kursi itu kini berubah menjadi singgahsana dan gadis itu terduduk di sana menyatu dengan Pohon Kehidupan.

Buah-buahan raksasa mulai tumbuh dari ranting-ranting Pohon Kehidupan. Setelah tujuh hari lamanya, mereka pun matang, dan jatuh secara perlahan ke tanah. Sihir Pohon Kehidupan tentunya membuat mereka aman.

Pohon Kehidupan kemudian meminta gadis itu untuk berjalan keluar dari tubuhnya, lalu dari sanalah ia menyaksikan, 1000 buah raksasa yang telah matang, tergeletak di hadapannya.

Gadis itu cukup takjub dan terkejut melihat jumlah dan ukuran mereka, dia mengangkat salah satu dari buah tersebut dan mengelusnya lembut, merasakan tiap tekstur yang ada padanya. Tapi tahu-tahu kulit buah itu pecah, membuatnya kaget dan lekas melindungi matanya.

Kemudian sesuatu yang aneh pun terjadi. Dari dalam buah itu, mendadak terdengar rengekan tangis. Rasa penasaran pun merasuk dan menuntun gadis itu melihat ke dalam buah yang dipegangnya. Di sana terbaring bayi perempuan yang sehat, tengah menyuarakan tangisan pertamanya. Bayi itu memiliki rambut dan warna mata yang sama dengan si gadis, kupingnya juga lancip, sama seperti dirinya.

Lalu satu demi satu bebuahan yang lain pun ikut pecah dan menjadi bayi-bayi perempuan yang sehat, sama seperti buah yang sedang digendongnya. Si gadis tak kuasa terpukau dengan apa yang dilihatnya, tetapi dia juga turut prihatin.

"Siapa yang akan merawat 1000 bayi ini?"

Namun Pohon Kehidupan langsung menjawab pertanyaannya.

Datanglah para hewan, manusia pohon dan peri kepada dirinya, merekalah yang akan membantunya membesarkan bayi-bayi ini menjadi sekumpulan gadis yang kelak akan melindungi dan merawat alam ini. Dan atas tujuan itu pula, Ibunda Zoastria akan terus kekal selama Pohon Kehidupan masih tetap hidup. Semenjak hari itu, 7776 orang generasi pertama mulai berjatuhan dari Langit, berhamburan turun ke Bumi, bagai hujan meteor yang menghias Angkasa.

"Lalu jika kalian dilahirkan oleh Pohon Kehidupan, kenapa kalian semua perempuan? Atau mungkin pertanyaan lebih bagusnya, mengapa memiliki jenis kelamin?" Tanya Naema.

"Ibunda pernah berbicara tentang manusia merupakan bagian dari alam, dan mencegah mereka agar tidak punah merupakan tugas kami." Jawab gadis pemandu, bahasa Buminya mebaik, nampaknya ia cukup berbeda dengan Ester. Atau mungkin karena ia sedang mengutip Zoastria.

"Maksudmu?"

"Teteh teh tahu teu? Bedana perempuan sami laki-laki?" Si pemandu mengangkat jarinya ke atas.

"Kemaluannya?" Naema mencoba menebak.

"Eta fungsina adalah?"

"Melahirkan anak...? Kalian akan melahirkan anak dari suku lain!?" Mata Naema melebar tersambar kaget.

"Tepat sekali! Istimewa cerdas teh emang Ilmuan Langit mah." Si pemandu terlihat kagum dan menampakkan ekspresinya yang berlebihan.

"Bagaimana caranya? Bukankah bayi yang dilahirkan akan terkontaminasi oleh elemen alam kalian?"

"Nah pertanyaan bagus teh, sok aku jelasin ya." Sang pemandu memulai kembali penjelasannya.

Para gadis suku alam berbeda dengan gadis-gadis lain di dunia ini, terutama di Daratan. Seorang manusia perempuan membutuhkan waktu kurang lebih 9 bulan untuk melahirkan bayinya, sementara gadis suku alam hanya perlu waktu kurang dari 93 hari untuk melahirkan.

Dan di Daratan, karena semua kehidupan tergantung pada Pohon Kehidupan (terkecuali manusia suku Toksik), wanita Bumi terkecuali wanita Toksik dan Cahaya, hanya bisa melahirkan ketika Pohon Kehidupan dalam kekuatan penuhnya.

Dengan kata lain, pada saat dia bereinkarnasi sampai dua tahun setelahnya. Dan dengan itulah manusia di Daratan menentukan generasi mereka.

Orang-orang suku Es sejatinya merupakan Ilmuan Langit yang tidak terpengaruh oleh Pohon Kehidupan, akan tetapi untuk mereka yang berada di Daratan kasusnya beda. Ketika Fannar menyebarkan pengaruh es di Tarauntalo, ia juga turut membuat perjanjian dengan Pohon Kehidupan yang menjadikan orang-orang suku Es di Daratan kini menjadi bagian dari Pohon Kehidupan sama seperti manusia di Daratan lainnya.

Hal ini membuat ras mereka berubah menjadi Ilmuan Bumi.

Gadis Alam yang secara langsung merupakan buah dari Pohon Kehidupan, turut memiliki kekuatan tersendiri yang cukup kuat untuk membuat mereka bisa melahirkan di luar waktu reinkarnasi Pohon Kehidupan.

Dan juga sebagai buah Pohon Kehidupan, mereka dapat hidup selama lebih dari 500 tahun serta memiliki persediaan sel telur yang tidak akan pernah habis.

Rahim dan sel telur gadis Alam terancang secara khusus untuk menyesuaikan si bayi dengan gen dari ayahnya. Sehingga bayi tersebut tidak akan memiliki elemen dan warna rambut dari gadis suku alam yang menjadi ibu mereka. Tetapi kulit mereka akan sedikit lebih cerah dari yang seharusnya, dan mata mereka akan berwarna merah muda sampai mereka bisa sempurna menguasai elemen mereka.

Di dunia ini, seorang wanita Langit akan melahirkan 1 anak sekali melakukannya, dan jika beruntung, akan ada kemungkinan bayi yang terlahir kembar. Akan tetepi untuk Penempa Bumi, mereka secara mutlak selalu melahirkan 4 orang anak setiap kelahirannya.

Hal ini juga berlaku pada gadis suku Alam. Namun jika dibantu oleh Pohon Kehidupan, gadis suku alam bisa melahirkan bahkan lebih dari 4 orang anak.

"Kamu teh pasti bosan nya dengerin penjelasanku, hahaha." Canda si pemandu. Akan tetapi Naema lekas melirikkan matanya ke belakang dan sekilas mengepakkan sayapnya.

"Ah, benar juga, kalian Ilmuan Langit mah suka sami nu beginian."

"Tetapi penjelasanmu terlalu rapih, rasa seperti tutur kata yang biasa tertulis di buku." Tuduh Naema.

"Emang teh lagi baca buku ieu." Gadis itu menunjukkan buku yang dipegangnya, berjudulkan 'Panduan Umanacca untuk Sarma'.

Naema terhening sejenak, ia memutar matanya, menyesal sempat berpikir bahwa gadis tersebut menyimpan banyak ilmu di kepalanya.

"Ngomong-ngomong, kita teh dah sampai." Lanjut si pemandu.

Berhentilah mereka di depan sebuah rumah kecil. Tempat itu berada di atas dan menembus pohon yang terbentuk melengkung-lengkung dari lantai hingga atapnya. Dari tanah terdapat sebuah jalan terbuat dari serabut dan akar, memutari pohon tersebut menuju pintu rumah. Sementara dari dalam bangunan itu menggema cahaya dari jamur dan peri yang ada di dalamnya.

Naema masuk dan melihat-lihat sekitar. Di dalamnya terdapat beberapa barang dan makanan, lantai dan dindingnya dipenuhi oleh debu dan sarang laba-laba, serta lumut dan jejamuran yang memancarkan cahaya. Di sudut ruangan terdapat perumahan kecil tempat tinggal para peri yang menjaga pohon di sini.

"Gimana, teh? Lumayan bagus bukan?" Tanya gadis pemandu.

Naema mengangguk dua kali, walau dalam pikirannya ia harus membersihkan begitu banyak hal di rumah ini terlebih dahulu sebelum Amartya bisa menggunakannya.

"Oke teh, aku pergi dulu nya, jika kamu perlu sesuatu katakan saja, kami dengan senang hati akan membantu."

Gadis pemandu itu pun pergi sambil melambaikan tangannya, Naema membalas melambai kemudian menutup pintunya.

Naema membuka sebuah portal kecil dengan sihirnya dan mengeluarkan barang-barangnya dari dalam portal itu. Di antaranya adalah sebuah tongkat sihir yang terbuat dari platina, di atasnya melayang ratna sebesar genggaman tangan yang terus berputar bersama beberapa kristal es kecil, memancarkan hawa dingin. Naema kemudian menancapkannya pada lantai dan menaruh makanan yang ada di ruangan itu di sekelilingnya.

"Baiklah, tujuh tahun sudah aku berlatih, mari kita lihat hasilnya!" Gumam Naema yang saat ini tengah memegang setangkai sapu.