Cica yang melihat aksi Antariksa yang mengikuti Rinai pun bertindak. Ia menarik Antariksa menjauhi cewek cupu itu. Antariksa menatapnya tajam. "Ngapain sih deket-deket dia. Kan ada aku yang lebih cantik, mata kamu sliwer ya?" ucap Cica berani, Antariksa berdesis memang ia lebih memilih Rinai daripada Cica.
Antariksa menyingkirkan Cica secara halus, ia tak akan main kasar jika belum melunjak.
Cica tetap mengikuti Antariksa, mengambil posisi duduk di sebelahnya. Rinai bingung, sejak kapan Antariksa mengikutinya?
"Ngapain lo disini?" Rinai berani, tanpa menyebut embel-embel kak. Biarlah, sudah terlanjut benci pula.
Cica tersenyum menang, akhirnya hama satu sudah musnah. Ada yang membenci Antariksa. "Pindah aja yuk, ntar kamu di makan lagi," Cica menarik lengan Antariksa, namun cowok itu mulai main kasar dengannya.
Tangan Cica kebas, Antariksa menepisnya kuat. "Kok kamu kasar sih?" ucapnya dengan nada manja agar Antariksa simpati.
Rinai berdecih. "Sok drama lo,"
'Ayo Rin, gitu dong. Jangan mau di tindas,' batin Adel menyemangati.
Cica berpindah ke Rinai, ia menarik rambut Rinai. Namun cewek itu mencengram tangannya. "Maaf, saya tidak ingin ribut dengan anda,"
Rafi, Agung dan Brian yang baru saja selesai bermain basket sekdar olahraga pun syok melihat kantin kini yang ramai mengalahkan seluruh pasar di Indonesia. Rafi dulu yang membelah jalannya, Brian sebagai bahan tameng agar mereka tak berontak. Agung santai di belakangnya, tak lupa sambil menyapa para hawa yang terkesima dengannya.
"Kok Agung aja yang akrab? Antariksa dong,"
"Ini mah abang gue,"
Brian segera menarik tangan Agung mejauhi kerumunan, ia sudah berada di tempat kejadian yang sedang berlangsung. Rinai menantang Cica? Apakah baru saja mengibarkan bendera permusuhan? Cica bukanlah cewek biasa yang seenaknya menindas, Cica adalah anak dari IT serta ibu yang memiliki pesuruh preman di beberapa lokasi.
Brian meraih tangan Rinai, menghentikan cewek itu yang terlalu menyiksa Cica. "Jangan di lanjutin," peringat Brian dengan suara tegasnya, Rinai terdiam Brian lebih menyeramkan di banding Antariksa yang kini hanya melijat saja, tak ingin turun tangan.
Antariksa menarik tangan Rinai, sama halnya Brian. "Gak usah ganggu Rinai," Antariksa melayangkan tatapan tajamnya.
Brian mengangguk, bukan semudah itu melepaskan Rinai untuk Antariksa. "Rinai, ayo ke kelas. Bentar lagi bel,"
Adel ingin sekali membuat momen lucu di antara dua banteng yang sedang berseteru. Rinai belum beranjak, Adel tak sabar memunggu bunyi bel, biarlah masalah harga diri yang terpenting Antariksa atau Brian bisa tertawa.
Kriing..kriingg
'Bel istirahat telah berakhir, silahkan masuk ke kelas masing-masing,'
Adel mengarahkan tangan kanannya ke telinga, dengan mulut menyengir dan mata yang penasaran dengan bunyi apakah itu?
Sontak Antariksa dan Brian tertawa lepas, ribuan siswi yang melihat dua primadona sekolah tertawa mengabadikannya, menganga tak percaya.
"Adel pinter banget buat Antariksa dan Brian senyum, aduh ademnya hatiku,"
"Stop, kau mencuriku hatiku-hatiku..."
Cica bahkan terpaku, sungguh ini Antariksa?
Setelah bel habis melontarkan perintah, Adel kembali normal. Dengan polosnya ia bertanya. "Kalian kenapa? Udah bel loh, masuk gih," suruhnya, Antariksa mengangguk tanpa bisa berhenti menahan senyumnya. Brian kembali normal, sial reputasi cowok es yang di sandangnya luntur sudah.
Antariksa mengacak-acak rambut Adel gemas. "Lucu sekali, dapat darimana lawakan itu?"
Rinai saja tak percaya, Antariksa? Nanti ia salah orang, bisa saja ini arwahnya.
"Yuk, balik." Antariksa mengajak Rafi dan Agung, untuk Brian ia masih di sebelah Rinai.
Antariksa ingin video Adel seperti itu lagi.
Agung belum menutup mulutnya, Rafi masih belum terkumpul nyawanya, bisa di duga Rafi belum membuka mata sepenuhnya. Efek Antariksa tertawa sangat dahsyat sekali. Antariksa menyentil dahi Rafi, cowok itu tersadar. Antariksa menutup mulut Agung.
"Lo berdua lebay, emang gak pernah liat cogan mesem kan?" lihat, Antariksa sekarang terlalu santai jika mengobrol, biasanya selalu serius.
Agung mengangguk pilu. "Kakau keajaiban di dunia di tambah, gue ikhlas kalau Antariksa jadi taruhannya,"
Rafi melamun sejenak, merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. "Kalau temen gue Antariksa yang dulu lagi mudik, tolong kembalikanlah dia," Rafi menyatukan kedua tangannya, memohon pada sang kuasa. Antariksa mengeluarkan jurus gelitikannya untuk Rafi.
"Mampus kan lo? Gak ada yang kw, gue Antariksa Zander Alzelvin,"
Brian masih sibuk dengan Rinai, mengantarkan adik kelasnya itu hingga ke kelas. Adel di suguhi ponsel senagai mikrofone, penasaran dengan sosok Adel yang cupu berubah menjadi pelawak. Sangat langka sskali, menonton dua primadona sekolah sekali seumur hidup baru tertawa lepas, bukan senyum biasa.
Adel menyingkirkan ponsel-ponsel yang menganggunya. "Aduh, biasa aja dong."
Rinai tak habis pikir, inikah temannya? Adel Esmeralda?
Tau Rinai melamun, Brian mencubit gemas hidung Rinai. "Jangan di pokirin, anggap aja tadi buka opera van java dadakan,"
Hingga di kelas, Rinai menatap lekat Adel. Rinai menyentuh dahi Adel, hangat. "Kenapa lo sekolah? Kan sakit,"
Adel menyingkirkan tangan Rinai risih. "Waras nih, emang cuman lo aja yang gak nyakitin jati gue,"
Caca yang tadi melihat aksi heroik Adek menghampiri cewek itu, Dinda? Lebih baik diam di temoat daripada membangunkan singa. Caca bertepuk tangan. "Bagus, bakat lo. Lain kali, gitu ya del. Biar bisa liat Antariksa tertawa lagi,"
'Males, gak gratis. Bayar dulu, harga diri juga nih.' ucapan Adel ia tahan saja dalam hati, cukup membuat satu personilnya, Dinda mati kutu.
☁☁☁