webnovel

Bab 4. Crying Out Loud

Monster itu melompat menerjang tubuh Ana. Ana segera menghindarinya dan menghempaskan tubuhnya berguling di tanah.

Bam..!

Kaki monster itu mendarat di tanah yang kosong. Monster itu memekik dengan kesal. Ana segera berdiri dan berlari sambil mengayunkan pedang itu ke arah monster yang sedang kesal. Tebasan itu mengenai kaki monster. Cairan berwarna hitam keluar kaki monster itu. Sang monster berpaling dengan marah dan menerjang ke arah Ana sambil memuka mulutnya lebar-lebar bersiap menerkamnya. Ia berusaha menghindarinya namun salah satu cakar dari monster itu mengenai lenganya dan membuat goresan panjang. Ana mengeryitkan dahi menahan sakit. Darah pun keluar dari lengannnya namun tak dihiraukannya. Tak sampai sedetik kemudian, Ana langsung berpaling dan berlari menuju monster itu. Ia mengangkat pedangnya bersiap mengenai tubuh monster. Namun, sang monster itu melayangkan cakar dan ekornya berusaha menyambarnya. Mata Ana terbuka lebar terkejut dan mundur beberapa langkah. Tubuhnya pun terhempas ke tanah menghindari sabetan ekor monster. Sang monster semakin marah karena tidak berhasil menerkam Ana. Monster itu melompat ke arahnya saat ia berusaha berdiri. Tiba-tiba sebuah batang kayu yang besar melesat dari arah belakang melewati sisi kiri kepalanya, membuat hembusan angin yang mengibarkan rambutnya. Batang kayu itu tepat mengenai kepala monster itu dengan keras dan membuatnya terhuyung kebelakang. Ana segera menoleh dan melihat Nell Swagyer dengan tangan yang mengarah ke monster itu. Mata Nell yang menatap lurus ke arah monster.

"Nell!" seru Ana.

Nell langsung berlari menuju Ana dan menarik tangannya. Mereka berlari menjauhi monster saat monster itu sedang kesakitan. Mereka berdua berusaha berlari sekuat tenaga menuju ke belakang bangunan akademi sedangkan monster itu masih terus mengejarnya. Mereka berbelok arah menuju gudang kosong yang berada jauh di belakang bangunan. Masuk ke dalam gudang, menutup pintu, dan menguncinya. Mereka berdua bersembunyi di belakang tong dan meja besar.

"Ana, kau terluka,"

Nell melihat luka di lengan Ana dengan pandangan khawatir. Ana hanya melihat lukanya sekilas sambil mengerutkan alisnya. Baru saja ia akan membuka mulutnya membalas ucapan Nell, telinganya mendengar suara monster yang menuju gudang tempat mereka bersembunyi. Ia segera mengangkat jari tangannya meminta Nell tak bersuara.

"Sttt..!"

Mereka berdua terdiam dan menahan napas saat suara langkah kaki monster itu terdengar di luar gudang. Desisan monster itu nyaring dari luar gudang. Monster itu mengendus-endus bau tubuh manusia yang ada di sekitarnya. Hidungnya bergerak saat monster itu membau sesuatu kemudian tubuhnya mulai dibenturkannya ke pintu kayu gudang.

Brak!

Nell dan Ana terlonjak kaget melihat pintu gudang yang tergoncang. Pintu bergetar dan berderit-derit seakan tidak kuat menahan serangan. Ketakutan menyelimuti mereka berdua.

Brak!

Sebuah hantaman yang keras membuka lebar pintu gudang itu. Ana dan Nell terbelalak melihat monster itu berada di depan pintu gudang yang terbuka dari sela-sela meja besar yang melindungi mereka. Ketegangan mulai merayap di hati mereka berdua. Mereka mengepalkan tangan sambil menunggu monster itu muncul dan bersiap melakukan serangan. Perlahan-lahan sosok monster itu berjalan masuk ke dalam gudang. Kesunyian yang menghanyutkan memenuhi ruangan itu. Yang terdengar hanya suara desis monster dan sesekali hidungnya mengendus ke lantai gudang. Monster itu berjalan mendekati tempat Ana dan Nell bersembunyi. Ana menatap lekat-lekat moster itu dari balik celah kayu. Pedang ditangannya digenggam erat-erat sedangkan Nell sudah bersiap dengan tinjunya yang kuat. Saat jarak monster itu dengan mereka hanya tinggal beberapa langkah, tiba-tiba monster itu mendongak ke atas lalu kepalanya menoleh ke arah di luar pintu. Seakan-akan seseorang memanggil monster itu pergi, monster itu pun berlari keluar dari gudang.

Ana dan nell langsung membuang napas yang sejak dari tadi ditahannya agar tidak mengeluarkan suara. Mereka terengah-engah menenangkan rasa ketakukan mereka. Mereka berdua terduduk di lantai. Ana berpaling ke arah Nell.

"Nell, sebenarnya apa yang terjadi?"

"Aku tidak tahu. Aku juga baru datang dari kota. Begitu sampai, keadaan sudah sangat mengerikan," ujar Nell menggelengkan kepala sambil mengatur pernapasannya. "Kau tahu kenapa monster tadi pergi?"

Ana menggelengkan kepalanya.

Mereka berdua berdiri lalu keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka melangkahkan kaki perlahan-lahan melewati gudang itu dan mengintip sejenak ke luar bangunan gudang. Pekikan monster-monster sudah tidak terdengar. Langit yang berwarna gelap dan lingkaran hitam itu pun lenyap. Hanya sisa-sisa kilatan lingkaran kehitaman yang perlahan-lahan memudar. Ana dan Nell keluar dari gudang itu. Mereka berjalan perlahan-lahan menuju ke halaman akademi yang sebagian bangunannya sudah runtuh.

Ana melihat pohon besar sycamore yang tumbang di depannya dengan sedih. Pohon itu selalu memberikan keteduhan dari teriknya matahari saat ia tidur di bawah pohonnya yang rindang. Pecahan-pecahan kaca berserakan di tanah. Dinding batu dan kayu-kayu bangunan akademi itu berserakan di mana-mana. Para pasukan keamanan kota yang selamat memandang satu sama lain dengan wajah yang sama terkejutnya dengan keadaan yang terjadi. Tidak ada seorangpun yang dapat membayangkan bahwa mereka akan mengalami suatu hal yang diluar akal sehat. Tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun hanya beberapa jam saja lingkaran hitam dan monster menyerbu kota, namun bagi penduduk kota itu seperti mengalami mimpi buruk yang panjang. Pemandangan bangunan kota yang runtuh dan terbakar. Para penduduk kota yang meninggal berserakan di jalan terlihat.

Mereka yang masih selamat dan terluka berdiri dengan linglung melihat ke sekelilingnya.

"Monster itu sudah pergi?"

Salah seorang pasukan keamanan kota bertanya dengan suara bergetar. Rekannya mengangguk dengan ragu.

"Sepertinya begitu, kita aman sekarang."

Mereka bernapas lega. Satu persatu para penduduk kota yang bersembunyi mulai muncul dari persembunyiannya. Para penjaga kota mengecek keadaan mereka. Tak sedikit orang-orang kota yang mulai mencari keluarga mereka.

Tuan Swagyer berjalan tertatih-tatih dengan kakinya yang pincang. Tubuhnya yang besar dan gagah, rambutnya yang coklat, wajahnya yang tampan dan dihiasi kumis tipis terlihat sangat lelah. Ia berjalan sambil dibantu oleh para pengawalnya. Nell yang melihatnya dari kejauhan berlari ke arahnya.

"Ayah!" serunya merasa lega karena melihat ayahnya masih hidup.

Tuan Swagyer berpaling dan melihat Nell yang berlari ke arahnya. Kelegaan terpancar di wajahnya. Saat Nell tiba dihadapanya, ayahnya langsung memegang kedua lenganya dan memandang wajah Nell dengan penuh kelegaan bercampur dengan kebahagiaan. Diperiksanya seluruh tubuh Nell.

"Nell, kau baik-baik saja?"

Nell segera mengangguk meyakinkannya.

"Ayah, kau terluka... "

"Ayah tidak apa-apa," ujar Tuan Swagyer menghembuskan napas dan mulai duduk di tanah. Seorang pengawalnya mulai mengobatinya.

Ana memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia teringat bahwa ibunya pergi ke rumah Tuan Swagyer untuk mengobatinya terakhir kali melihatnya. Matanya menyapu keseliling namun tidak terlihat ibunya. Segera ia berlari menghampiri mereka dan saat sampai di hadapan mereka, Ana bertanya, "Tuan Swagyer, apa tuan melihat ibuku?

Raut wajah Tuan Swagyers berubah menjadi sedih ketika memadang Ana. Suara prihatin yang lembut darinya terdengar.

"Aku minta maaf, Ana. Kami tidak bisa melindunginya. Dia terbawa masuk ke dalam lubang hitam itu."

Tangan Tuan Swagyer memegang bahu Ana dengan lembut. Mata Ana terbuka lebar, alisnya berkerut. Suara yang keluar dari kerongkongannnya terasa tercekat.

"Dan.. Jenice? apa tuan.. mengetahui di mana kakakku?"

Tuan Swagyer menggelengkan kepala dengan putus asa.

Salah seorang penjaga keamanan kota yang berdiri tak jauh dari tempat itu menyahut.

"Kilatan yang keluar dari lubang hitam itu membawanya pergi, gadis kebanggaan kota kita sudah lenyap. Kami minta maaf, Ana."

Wajah orang itu terlihat sedih menatap Ana. Ana menggelengkan kepalanya.

"Kalian semua berbohong!" serunya marah dan berbalik. Ia melangkahkan kakinya menjauhi tempat itu sambil berteriak.

"Ibu... ! Jenice... !"

Ia berlari menyusuri bangunan akademi itu. Dicarinya mereka berdua. Setiap orang yang berada di jalan ditanyainya mengenai keberadaan ibu dan kakaknya. Tak lupa ia mengecek orang yang tak bernyawa yang tergeletak di tanah. Seorang lelaki yang sedang mencari keluarga yang terpisah ikut terseok-seok berjalan di reruntuhan bangunan mencari keluarga mereka. Ana mengampirinya.

"Apa kau melihat ibuku dan kakakku?"

Lelaki itu menggelengkan kepala dengan sedih. Ana melangkahkan kakinya kembali sambil berusaha menahan air matanya. Kembali ia mencari sambil berteriak,

"Ibu... ! Jenice...!"

Sebuah tangan besar menarik tangannya. Nell berada di hadapannya dan menatap matanya dengan lembut tanpa bersuara. Ana mendongak melihat wajah Nell. Air mata yang sedari tadi ditahannya mulai membasahi pipinya. Nell langsung memeluknya erat. Tangisan Ana pun pecah. Suara isakan dan raungan tangisan terdengar dengan keras. Air matanya terus mengalir dan tidak mau berhenti. Entah berapa lama ia menangis dalam pelukan Nell tidak disadarinya. Kehidupannya yang damai dalam sekejap telah berubah.