webnovel

Bab 14. Perlaine (I)

Ia tidak menyangka bahwa sungai kering itu sangat luas. Ana melihat jembatan panjang itu dengan mata nanar. Jembatan itu terbuat dari kayu berjejer yang diikatkan oleh tali-tali yang tersimpul mengunci kayu-kayu itu. Angin yang kencang mengoyangkan jembatan itu perlahan dan menimbulkan suara berderit.

"Jembatan ini?" tanyanya tidak percaya.

Terbersit di pikirannya, jika sebelumnya ia mengambil jalan melewati Kota Iberia, maka ia tidak akan melewati desa dan jembatan panjang itu.

"Hem!" Tobias memecah keheningan di antara mereka. "Tidak perlu khawatir, Ana, jembatan ini sangat kuat."

Ana melongok ke bawah ke sungai yang kering. Sungai kering itu cukup dalam. Ia mengerutkan alisnya sejenak kemudian menggelengkan kepalanya mencoba membuang ketakutannya. Diangkatnya tas ransel di punggungnya dan melangkahkan kakinya dengan pasti.

"Ayo!" serunya bersemangat. Kakinya melangkah menginjak kayu pertama dari jembatan itu.

Tobias tersenyum lebar sambil berjalan menyalip Ana. Ia melangkahkan kaki lebar-lebar dan berjalan di depannya. Mereka berjalan dengan santai sambil berpegangan pada tali di sekeliling mereka. Tak diduga jembatan itu ternyata cukup kuat. Segera rasa aman saat menginjakan kaki di jembatan itu memenuhi hati Ana.

"Jadi ayahmu bekerja di Perlaine?"

Tobis menengok ke belakang dan mengangguk.

"Ia bekerja sebagai pandai besi di kota. Permintaan senjata akhir-akhir ini meningkat dan ayah sering lembur tidak pulang."

Ana menganguk-angukkan kepalanya memahami hal itu.

"Siapa yang akan kau temui di Perlaine, Ana?"

"Hanya ingin ke kota itu saja."

"Baguslah, kalau begitu aku bisa mengajakmu berjalan-jalan di kota," ujar Tobias dengan semangat. Ana ikut tersenyum lebar dengan semangat.

"Baiklah. Aku juga belum pernah melihat kota besar."

Mereka sampai di tepian jembatan. Begitu kaki Ana menginjak di tanah kota itu. Perbedaan struktur tanah sangat terasa dengan desa tanpa nama. Hampir sama dengan Kota Wayshire, tanah di Kota Perlaine terlihat hitam dan subur. Pepohonan rindang di sekitar sungai kering berderet dengan rapi. Tobias langsung menarik tangan Ana berlari memasuki kota itu. Di dalam kota itu, pemandangan ramai kota sangat terlihat. Langkah kakinya terhenti. Mulutnya terbuka lebar dan mata Ana terbelalak.

"Wooow… !" seruan kekaguman keluar dari bibir merahnya.

Ia melihat orang-orang yang berjalan menggunakan baju-baju yang indah. Kain yang halus dengan warna-warna yang indah dan terlihat mahal. Para wanita menggunakan gaun cantik seperti yang biasa dikenakan Jenice. Hiasan mutiara di kepala mereka berjuntai dan pita-pita menghiasi kepalanya. Model rambut yang bermacam-macam, dikepang belakang dengan hiasan mutiara mengelilingi kepangan itu, sanggul kepala yang tinggi dengan bunga di sudut telinganya, pita yang menghiasi ujung rambut mereka dan make up yang tebal.

Ia tertegun melihat seorang wanita cantik yang menggunakan payung berenda berjalan di depannya.

Laki-laki di kota itu menggunakan pakaian yang terkesan mahal. Kemeja putih dengan tali atau pita di bagian krah bajunya, rompi berwarna gelap atau biru, celana panjang dan sepatu kulit. Mereka semua terlihat sangat modis dalam berpakaian.

Ia memutarkan tubuhnya. Pandanganya menyapu sekelilingnya. Rumah-rumah cantik yang berdekatan dan bercat warna-warni terlihat. Bunga-bunga cantik menghiasi setiap sudut rumah. Jalanan yang terbuat dari blok yang tebal. Kolam air mancur berbentuk bulat dengan sebuah patung seorang wanita membawa kendi air di tengahnya. Dari kendi air itu mengeluarkan air yang jernih ke bawahnya. Wajahnya menengadah melihat ke atas dan melihat melintang tali-tali dengan bendera-bendera kecil yang berwarna-warni melintang di segala penjuru kota. Kota itu sangat ceria, seakan-akan sedang terjadi perayaan. Mata Ana tidak pernah lepas melihat pemandangan di kota. Baru kali ini ia pergi ke salah satu kota besar di benua itu.

"Indah sekali."

Kakinya mundur beberapa langkah dan terdengar seruan orang di belakangnya.

"Awas!"

Ana berpaling ke belakang dan melihat sebuah kereta kuda melintas. Kereta kuda itu berwarna coklat dan memiliki ukiran berwarna emas di tepi pintu keretanya. Kuda yang membawa kereta itu juga terlihat gagah berlari menjauhi tempat Ana berdiri. Mata Ana tak bisa lepas dari pemandangan itu.

"Ramai sekali bukan?"

Suara Tobias membuatnya tersadar dari kekaguman kota itu. Wajahnya berpaling dan mengangguk.

"Aku akan ke tempat ayah dulu, setelah itu aku bisa mengantarmu berkeliling."

Mereka berdua melewati jalan-jalan yang ramai dengan toko bunga berderet-deret. Warna-warni bunga di dalam pot dan keharumannya menyerbak sepanjang jalan. Seorang pemilik toko bunga itu melihatnya dan tersenyum manis padanya. Ana membalas senyumannya dan mengangkat tangannya menandakan bahwa ia tidak membutuhkan bunga. Tobias berjalan di depan sebagai pemandu jalan. Mereka keluar dari gang itu dan masuk jauh di tengah kota itu menuju selatan kota. Jalanan yang sedikit lengang dan suasana kota itu pun sedikit berbeda. Jika di pusat kota terlihat sangat ceria, tetapi di jalanan itu terlihat lebih sederhana dengan cat dinding yang berwarna putih meskipun tali-tali yang melintang di atas tetap menggunakan bendera kecil berwarna-warni.

Mereka melihat sebuah toko pandai besi di depannya. Di depan toko itu menggantung berbagai macam peralatan, dari alat pertanian yang terbuat dari logam maupun senjaga pedang dan kapak. Seorang lelaki bertubuh besar dan berjanggut panjang sedang memukulkan palunya di depan sebuah pedang. Ia sedang menempa sebuah pedang. Peluh keringat terlihat di tubuhnya yang berwarna coklat. Di sudut ruangan bagian dalam, seorang lelaki sedang mengambil sebuah pedang dan memasukannya ke dalam tunggu api yang panas. Mereka yang bekerja di toko itu pun terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Ana dan Tobias masuk ke dalam toko itu. Sang pemilik toko yang sedari tadi hanya duduk dan melihat-lihat cara kerja pekerjanya memandang mereka berdua. Ia mengenali Tobias sebagai anak salah seorang pegawainya dan menghampiri mereka. Tobias menyapanya.

"Kau datang lagi? Bukankah kemarin baru saja datang?"

"Iya, Tuan. Aku mengantarkan makanan yang sudah dibuatkan ibuku pada ayah."

"Ayahmu sedang bekerja, sebentar aku panggilkan."

Segera setelah itu sang pemilik toko pun masuk ke dalam ruanganya. Ana melihat-lihat isi toko itu. Deretan pedang panjang yang berjejer rapi di sebuah meja kaca. Pedang-pedang itu terlihat sangat indah dengan gagang berbagai macam bentuk. Melengkung, berputar, tajam di satu sisi, atau bergerigi. Pola-pola rumit pun menghiasinya. Bahkan beberapa pedang menggunakan batu permata di bagian tangkai pedang. Dari pedang yang runcing sampai pedang tumpul. Matanya memandang ke dinding sudut ruangan. Kakinya melangkah ke arah deretan pedang yang berjejer-jejer bergantung di dinding itu. Pedang itu terlihat lebih sederhana tanpa hiasan. Model sederhana yang banyak digunakan oleh para pasukan keamanan di kotanya. Seorang lelaki bertubuh besar, berkulit coklat, dan berjanggut pendek keluar dari dalam ruangan. Matanya memandang Ana.