"Mesya, saranku hanya satu,"
"Apa, Kak?"
"Tinggalkan keluarga, Davies, dan jalani kehidupan barumu,"
Mesya termenung, "Bagaimana bisa aku meninggalkan mereka, bagaimana aku bicara dengan Ayah dan Ibu sertanya yang lainya. Sudah pasti mereka akan melarangnku,"
"Aku mengerti perasaanmu, Mesya, aku harap suatu saat akan ada keajaiban yang bisa menunjukkan akan suatu hal kepadamu dan juga jalan yang bisa membawamu pergi dan meninggalkan mereka," ucap Marry.
"Semoga saja, Kak Marry. Dan terima kasih ya, Kak. Sudah peduli denganku,"
"Iya Mesya, Sama-sama." Marry menepuk-nepuk pelan puncak Marsya.
"Tadi, Kak Marry, hendak kemana?"
"Ah, sebenarnya aku kemari karna sedang mencari Salsa. Dari tadi aku tidak menemukannya,"
"Kak, Salsa?"
"Iya,"
"Tadi dia baru saja kemari, dan dia berlari begitu saja tanpa menegurku. Padahal kami berpapasan,"
"Benarkah? Lalu kemana arah dia pergi?"
"Ke sana!" Mesya menunjukkan arah di mana Salsa berlari tadi.
"Ah, begitu ya. Yasudah kalau begitu aku akan mencarinya dulu,"
"Baik, Kak!"
Mesya melihat Merry yang tengah berlari mencari Salsa. Hubungan mereka sangat baik, Mesya begitu iri.
Andai saja ada Zahra di sisinya, mungkin akan terasa nyaman memiliki seorang teman sesama perempuan.
Zahra entah dimana, bahkan dia menghilang begitu saja bak di telan bumi.
Untunglah ada Romi yang saat ini selalu menemaninya.
"Mesya," Suara orang yang ia pikirkan tengah memanggil.
"Iya, Romi,"
"Ayo ke kelas, aku lihat dari tadi kau melamun."
"Yah, aku melamun karna memikirkan nasibku yang benar-benar tidak jelas ini,"
"Sabar ya, Mesya. Aku menyesal telah sempat iri kepadamu, karna waktu itu kau diadopsi oleh Ny. Arumi, padahal jelas-jelas dulu aku yang ingin diadopsi bukan dirimu. Tapi beliau malah memilihmu untuk dijadikan anak. Jujur aku kesal sekali waktu itu. Tapi setelah melihatmu seperti ini, aku merasa lebih beruntung darimu, dan justru aku jadi prihatin melihat mu," tutur Romi yang menjelaskan dengan detail segala perasaannya.
"Yah, aku tahu itu ... bahkan raut sedih dan kesalmu masih ku bawa dalam ingatanku hingga kini,"
"Wah, benarkah? Maafkan aku ya, Mesya.,"
"Hehe, iya tidak apa-apa, Romi,"
***
Setelah kejadian di taman belakang sekolah, Salsa memutuskan untuk pindah dari sekolah itu.
Bahkan dia tak berpamitan dengan Marry terlebih dahulu padahal hubungan mereka itu cukup dekat.
Marry begitu heran dengan keputusan dari sahabatnya ini, berkali-kali dia datang ke rumah Salsa, tapi Salsa selalu saja tidak ada.
Hanya bertemu dengan seorang asisten rumah tangganya saja, lalu orang itu berkata bahwa Salsa sudah pindah ke Surabaya ikut dengan neneknya di sana.
Sementara kedua orang tuanya tengah berada di luar negeri.
Sempat terpikir di benak Marry untuk pergi ke Surabaya menemui Salsa.
Dia ingin tahu apa alasannya pindah sekolah begitu saja.
Tak biasanya Salsa menjadi tertutup seperti ini, harusnya dia berbicara dulu dengan Marry, toh pada kenyataannya Marry selalu menjadi teman curhat terbaik.
Tapi akhir-akhir ini semua berubah, semenjak dia mengenal Arthur lebih dekat.
Ingin sekali Marry bertanya langsung dengan Arthur, tapi tentu saja bukan hal mudah.
Jika benar Arthur adalah orang yang begitu menyeramkan seperti apa yang di katakan oleh Salsa.
Tentu saja hal itu membuat Marry dalam bahaya.
Tapi mau bagaimana lagi, Marry tipikal orang yang selalu ingin tahu, dan tak suka memendam rasa penasarannya lebih lama.
Dan oleh karna itu dia memberanikan diri hendak bertanya kepada Arthur.
"Yah, aku memang harus bertanya dengan Arthur. Kalau sampai dia berbuat macam-macam dengan ku, aku akan melawannya!" Marry memasukkan sebuah stungun ke dalam tasnya.
Marry terkenal sebagai gadis yang nekat, bahkan dia tak peduli dengan keselamatannya sendiri.
Merry berjalan menyusuri gedung SMP untuk mencari Arthur.
Tak segan Marry memasuki kelas Arthur.
"Di mana, Arthur?" Marry bertanya dengan salah satu teman sekelas Arthur dan siswi itu berkata jika Arthur lebih sering menghabiskan waktu di lantai paling atas gedung ini.
Marry sedikit ragu mendengarnya, karna dia tahu jika di atas gedung itu sangat sepi. Tempat itu sebenarnya terlarang karna dapat membahayakan siswa-siswi yang berada di sana. Sebelumnya pernah ada kasus siswa yang terjatuh dari lantai paling atas itu.
Sehingga membuat tempat itu terbengkalai dan hanya digunakan untuk menaruh barang-barang yang tak terpakai.
Ctak! Ctak!
Marry mulai menaiki tangga. Menuju lantai atas yang konon sangat menyeramkan dan terkesan angker. Tapi Marry sama sekali tak peduli lagi.
Baru saja sampai, dia sudah di sambut dengan aroma busuk yang membuatnya ingin muntah.
"Huek! Bau apa ini? Apa benar anak itu berada di lantai ini?" tukas Marry yang mulai ragu.
Ada banyak sekali bangkai kucing di tempat itu.
Kucing-kucing itu mati dengan cara mengenaskan, tak jarang tubuhnya sudah tak utuh dengan beberapa terpotong-potong menjadi beberapa bagian.
Marry segera membuka ponselnya lalu menekan tombol kamera, dia mengambil foto dan membuat vidio untuk merekam kejadian menyeramkan ini.
Tak segan Marry membagikan foto-foto dan vidio itu ke dalam grup sokolah.
"Mereka harus tahu kalau ada hal menyeramkan di sekolah ini!" tukas Marry dengan yakin.
Konsentrasinya nyaris teralihkan karna melihat bangkai-bangkai kucing ini, padahal niat awal datang kemari adalah mencari Arthur.
"Aku benar-benar tidak yakin anak itu berada disini, aku yang berada disini hanya beberapa menit saja sudah tak tahan, bagaimana kalau sampai berjam-jam? Mungkin aku bisa pingsan karna sesak nafas," gumam Marry.
Heong! Kek...!
"Hah! Suara apa itu?!" Marry menghentikan langkahnya sesaat, terdengar suara kucing yang sepertinya sedang tertimpa sesuatu atau terkena benda tajam.
Yang jelas suara kucing itu seperti tengah kesakitan.
Marry penasaran, suara itu berasal dari sisi kanan.
Dia mulai memasuki sebuah ruangan gelap, dia yakin sekali jika suara kucing itu berasal dari ruangan ini.
Dan memang benar ada noda darah berceceran di lantai.
Lalu Marry melihat ada seorang anak lelaki duduk jongkok menanggunginya.
'Siapa dia? Apa benar dia Arthur?' batin Marry bertanya-tanya, namun jantungnya bergemuruh, takut sekali kalau anak itu benar-benar Arthur, namun dari perawakannya seperti bukan Arthur.
Tubuhnya agak kurus dan pakaiannya di penuhi noda darah.
Marry curiga, jika anak itu adalah pelaku dari pembunuhan kucing-kucing ini.
"Hay!" teriak Marry memanggil anak lelaki itu.
Lalu dia menoleh kearah Marry, wajahnya tampak sangat ketakutan dan di tangannya ada jasad kucing tanpa Kepala.
"Astaga! Jadi kau—"
To be continued