Ceklek
"Ayo pergi, aku antar—"
"Kak Ana! Lho? Sama pacarnya?"
Tubuh Ana menegang, dan Denish pun menatap wanita yang barus saja keluar dari dalam rumah dan membuka pintu dengan tatapan yang menuju ke arahnya.
…
"Dia siapa? Pacar kamu, kak?"
Ana melirik Dipa dengan sangat tajam, adiknya duduk sangat menempel pada tubuhnya seolah-olah sedang memberitahu pada Denish kalau mereka sangat dekat.
Ia tidak suka, paling tidak suka berada di posisi yang seperti ini. Dipa mulai caper, dan dirinya gatal untuk menampar wajah adiknya jika Denish bisa di rebut juga walaupun Dipa sudah memiliki kekasih yang lebih dari kata brengsek.
Apalagi saat Dipa berbisik banyak pertanyaan, membuat kepala Ana mendidih.
"Tiap ada laki-laki yang gue bawa, lo selalu kayak gini. Bisa gak sih, gak perlu kegenitan? Kayak ulet bulu keket." Ana berkomentar, namun ini adalah bisikan dan sedikit mendesis kesal.
Sedangkan Denish yang sedang minum jus kemasan yang di sajikan oleh Dipa, melihat ke arah kedua adik kakak yang seperti sedang mempeributkan sesuatu.
"Aku tidak gatal, tapi dia sangat tampan, kak."
"Dasar gak tau diri,"
Ana langsung saja beranjak dari sofa yang bersebelahan dengan Dipa, kini dirinya langsung menghampiri sofa yang di duduki oleh Denish. "Dia milik ku," ia langsung meng-klaim tanpa basa-basi. Bahkan, kini dirinya duduk di pangkuan Denish.
Tenang saja, kedua orang tuanya tidak ada di rumah. Lagipula, ia tidak mau mengurusi hal-hal yang bersangkutan dengan kedua orang tuanya.
Dipa merenggut, baru saja ia ingin mengeluarkan kata-kata dari dalam mulutnya, tiba-tiba saja terdengar ada yang memanggil namanya.
"Dipa sayang, kenapa kamu lama banget? Aku— loh? Ada tamunya Kak Ana?"
Ana menolehkan kepala ke sumber suara dan disana ada Gibran. "LO?!" Bagaimana ia tidak marah? Adiknya, perempuan, bersama dengan seorang pria mesum yang hasratnya tidak pernah habis. Terlebih lagi, mereka hanya berduaan di rumah ini. "Sialan."
Denish hanya memperhatikan karena sepertinya kedua wanita yang memiliki satu hubungan darah itu suka adu mulut, belum lagi sekarang ia menolehkan kepala ke arah Gibran yang bisa dirinya simpulkan bukan bagian dari rumah ini apalagi melihat reaksi Ana yang kesal.
"Apa? Gue di undang sama adik lo, kak." Gibran menjawab dengan senyuman yang terlihat… entahlah, ia masih tertarik dengan Ana yang memiliki aura liar yang membuat jiwanya melonjak drastis naik turun.
Gibran berjalan ke arah Dipa, namun matanya tetap mengawasi Ana.
Dipa tau, walaupun laki-laki yang Ana bawa selalu bisa ia pikat, namun tidak dapat di sangkal kalau mereka semua selalu mengawasi Ana secara blak-blakan. Jujur ia kalau di body karena body kakaknya jauh lebih padat daripada dirinya, di lihat dari segi nafsu.
Denish melihat itu dan dirinya tidak suka. Ia langsung melingkarkan tangan kirinya di pinggang Ana, bahkan ibu jarinya bergerak naik turun mengelus perut rata wanita itu. "Kalau begitu aku ingin pulang, terimakasih atas kunjungannya." Ia berniat mampir ingin basa-basi mengenal orang tua Ana, namun ternyata mereka tidak ada di rumah ini.
Ana menganggukkan kepala setelah kesulitan bernapas. Tubuhnya masih di bandrol dengan harga mahal oleh pria kaya raya dan tentu mendapatkan banyak sentuhan. Namun, baru kali ini ia merasa di kendalikan. "Sisahkan uang mu di dompet ku, setelah itu kamu boleh pulang." Ia berkata seperti ini. Ia mengganti kosa kata menjadi sopan karena ingin menunjukkan kepada adiknya kalau laki-laki satu ini tidak bisa di sentuh.
Denish mendengus nakal, ia tidak pernah keberatan. "Aku akan mengirimkannya untuk mu, ah tidak, transfer." Ia menjawab sambil mengecup pipi Ana dengan sangat lembut.
Dipa yang melihat itu agak panas, walaupun Gibran di sampingnya sedang menempel dengan sangat manja. 'Denish, ya? Ganteng, udah gitu tajir juga. Liat banyak barang bawaan Kak Ana dari beberapa store terkenal bisa di bilang kalau laki-laki itu konglomerat' ia membatin.
Bahkan, baru kali ini juga Gibran merasa tersaingi. Ia yang derajatnya kaya, bisa meminjamkan banyak uang kemana-mana pun rasanya akan kalah telak dengan laki-laki yang di bawa oleh Ana.
"Ya udah yuk aku anterin ke luar,"
"Ayo, next kesini lagi."
"Gak,"
Ana jelas menolak dan selalu menolak, tapi memang Denish-nya saja yang sering menggoda dirinya dan melakukan hal-hal atas dasar kemauan sendiri.
Sampai pada akhirnya, motor besar Denish sudah meninggalkan rumah Ana dan pemilik rumah pun kembali masuk. "Seneng banget." Ana bergumam, ia kembali ke ruang tapi dan melihat Dipa yang kepo melirik-lirik totebag bawaannya.
"Hadiah party dari teman-teman, kak?" Ini pertanyaan dari Dipa yang akhirnya keluar dari mulutnya.
Mendengar itu, Ana yang kini sudah menautkan tali tote bag ke tangannya pun menatap Dipa, bahkan ia juga menenteng helm yang di berikan oleh Denish kepadanya. "Gak, dari Denish semua."
Dipa melongo. Ia melihat Ana yang berlalu begitu saja, padahal biasanya sang kakak akan memaki dirinya habis-habisan.
"Kakak kamu selalu pinter pilih laki-laki." Gibran menanggapi. Hei, ia bukan laki-laki yang jarak rumahnya jauh dari kekasih, bisa di bilang jalan sebentar dari rumahnya kesini dekat. Jadi, ia tau laki-laki tipe seperti apa yang selalu di bawa oleh Ana kesini.
Dipa memutar kedua bola mata. "Berisik, daripada kamu kaya doang tapi gak pernah nyisihin untuk beli sesuatu ke aku."
"Kamu lupa? Fungsi kamu kan cuma buat lunasin utang-utang ayah mu, kalau aku ngasih sesuatu ke kamu, sama aja bangkrut."
"Ah lupa, aku hanya alat."
Kembali lagi ke Ana yang kini full senyum. Ia langsung membereskan semua barang yang di berikan Denish kepadanya, bahkan dirinya mulai menyusun perhiasan yang di belikan untuknya ke brangkas yang tidak pernah tersentuh.
"Kalau begini caranya aku kaya mendadak, ternyata enak juga jadi cewek matre, kayak biasanya."
Ana tersenyum miring. Di belikan hp bagus, banyak barang mewah dan kejutan romantis dengan barang-barang mahal, siapa yang tidak mau berada di posisi Ana?
"Aku akan mempertahankan Denish,"
Ting
Ting
Dan tiba-tiba saja, terdengar notifikasi yang masuk ke ponselnya. Ini menjadikan Ana langsung memeriksa dan terlihat ada nama 'Sasa' yang mengirimkan pesan kepadanya.
| ruang pesan |
Sasa
Besok di jadwal kita libur, kan? Bisa main dan bertemu di suatu tempat?
Ana yang membaca pesan yang di kirimkan oleh Sasa langsung saja menjadikan dirinya menaikkan sebelah alis, tidak biasanya Sasa tak menyebutkan kemana tujuan mereka dan malah menyebut 'ke suatu tempat'.
Ana
Boleh aja, chat atau gak share location.
Sasa
See you tomorrow!
| ruang pesan berakhir |
…
Next Chapter