webnovel

Amerta

"Pergi dan gak usah kembali!" -Fabian Aziel Keenan "Jangan salahkan aku. Takdir yang mempertemukan kita kembali." -Michaella Krystalin Aphrodite Mereka bersama sejak kecil. Berbagi canda, tawa, suka, duka, dan tangis. Namun, karena suatu alasan, Ella harus pergi. Meninggalkan Biannya dan segala kenangannya di Indonesia. Hingga suatu hari, Ella kembali disaat semua yang telah ditinggalinya telah memiliki hidup yang baru. Setelah bertahun-tahun ia berjuang untuk dirinya sendiri, haruskah Ella kembali berjuang? Apakah ada yang menjamin kalau perjuangannya ini tak akan sia-sia? Yang pasti, semua janji itu akan menemani dalam rindunya.

chelendrawasih · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
17 Chs

Karena dia

Ujian Akhir Semester.

Suasana hening mendominasi di seluruh penjuru SMA Garuda Sakti. Perpustakaan di saat-saat seperti ini pun lebih banyak dikunjungi daripada hari biasanya. Hampir semua murid kelas 10 dan 11 bertekun dengan lembaran kertas maupun buku di tangannya.

Seorang gadis berambut hitam kecoklatan itu bangkit setelah melihat seseorang yang sedari tadi ia perhatikan diam-diam menghilang dari jangkauan pandangannya. Ia menutup buku di tangannya dan segera menyusul pemuda itu.

"Kenapa kemarin ga dateng?" Pemuda itu menghentikan gerak jemarinya yang sedang memilah-milah buku di rak 36-3. Ia mengambil salah satu buku dengan asal dan membuka halaman tengah buku itu

"Bi–"

"Berisik!"

Michaella berdecak kesal. "Ih, Bian kenapa labil banget si? Kemarin baik, sekarang cuek, palingan besok juga–"

"Gak akan lagi."

Gadis itu mengerutkan dahinya. Otaknya berpikir keras akan apa maksud dari kalimat yang diucapkan pemuda dihadapannya. 'Gak akan lagi?'

Ziel menutup buku di tangannya. Matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya. "Gua gak akan lagi pura-pura baik sama lo."

Bohong. Michaella bisa melihat kilatan rindu di mata pemuda itu saat ia berinteraksi dengannya walau hanya sesaat.

"Pura-pura udah lupain tentang lo yang ninggalin bocah laki-laki yang selalu percaya sama sahabatnya apapun yang terjadi 10 tahun lalu."

Michaella menunduk. Menatap hampa sepatunya. Kini ia tau alasan mengapa Ziel membencinya. Karena kepergiannya dulu.

"Gua benci sama lo. Lo udah sia-siain kepercayaan gua, gua yang waktu itu masih belom tau apa-apa tentang pentingnya arti kepercayaan dan penghianatan."

"Gua–"

"Ella pergi karena ada alasan, Bian!" Michaella mengangkat wajahnya yang sembab. Matanya memerah menahan cairan bening yang terus mendesak keluar.

"Alasan apa?!" Ziel menaikkan nada bicaranya.

Michaella meremas rok abu-abunya. Bola matanya bergulir ke segala arah berusaha menghindari tatapan tajam Ziel. Tapi tidak bisa. Pandangannya selalu jatuh ke iris hitam pekat milik Ziel.

"Jawab! Gak bisu kan?!" bentak Ziel.

"Gabisa.." ucapnya memelas sambil menatap pemuda itu. Bahu gadis itu bergetar. Isakan kecil keluar dari bibir tipis Michaella.

"Ella gabisa kasi tau. Ella belum siap."

Michaella menutup wajahnya. Ia tak siap. Ia sama sekali tak menyangka akan berada di situasi ini dengan begitu cepat. Saat Ziel menanyakan alasan kepergiannya dahulu. Ia takut.

"Kapan?"

Diam. Michaella tak menjawab. Sampai kapan pun ia tak akan siap. Bahkan ia sendiri pun belum menerima seluruhnya tentang hal itu.

Gadis itu mengangkat wajahnya. "Kenapa? Kenapa baru sekarang Bian permasalahan itu lagi? Kenapa ga dari awal aja Bian tutup semua celah biar Ella ga masuk ke kehidupan Bian lagi? Seenggaknya Ella ga akan terlalu berharap banyak tentang–"

"Tentang apa? Tentang hubungan kita yang membaik? 'Bian dan Ella, sahabat yang terpisah 10 tahun lalu kini kembali bersama'? Mustahil."

"Dan lo tanya kenapa?" Ziel terkekeh kecil. Pemuda itu menatap lurus melalui celah rak yang tak terisi buku. Memperhatikan gerak gerik seorang gadis yang terlihat terganggu ketika sahabatnya menyala-matikan kipas angin yang membuat rambut gadis itu berantakan dan mengganggu belajarnya.

Ya, karena dia.

~~~

"Ella, udah afal gerakannya kan?" tanya Allya ketika Michaella bergabung kembali dengan mereka.

"Ini apa?" Allya bertanya sembari memainkan kunciran hitam di pergelangan tangannya.

"B," jawab Michaella.

"Kalo ini?" Allya menggosok pelan hidungnya dengan jadi telunjuk.

"C."

"Ok, bagus." Allya tersenyum senang. Ia menepuk pundak Kagendra yang ada di sebelahnya. "Gen, udah afal kan? Nanti kayak pas ujian kemarin lagi, C sama D kebalik."

"Udah kok, santai aja," yakin Kagendra.

Langit membereskan buku-buku dan menumpuknya menjadi satu. "Ayo balik ke kelas, lima menit lagi bel."

Keenam orang itu mengangguk dan langsung membereskan barang bawaannya lalu menyusul Langit yang telah keluar lebih dulu. Jarak antara kelas mereka dan perpustakaan memang lumayan jauh. Keduanya terletak di gedung yang berbeda.

"Mata lo kenapa? Merah," ujar Dave pelan.

Michaella melirik ke arah Dave yang berjalan di sampingnya. "Hm? Oh, itu tadi aku ngambil buku di rak atas, banyak debu ternyata. Jadi kelilipan."

Gadis itu mengusap matanya. "Masih merah ya?"

"Emang masih ada yang ganjel?" tanya Dave ketika Michaella mengangkat tangan untuk mengucek matanya.

Michaella mengangguk. Kali ini ia tidak berbohong. Mengingat jalan penghubung antara perpustakaan dan gedung utama yang telah dialihfungsikan menjadi tempat menyimpan barang-barang tak terpakai membuat banyak debu yang beterbangan.

Gerak tangan Michaella terhenti. "Jangan dikucek. Sini gua tiup."

Dave segera memposisikan dirinya di hadapan Michaella. Gadis itu membuka lebar matanya agar Dave lebih mudah untuk meniup.

"Udah?" Dave memperhatikan gerak mata Michaella yang beberapa menit lalu berkedip dengan tak nyaman.

Michaella memundurkan kepalanya. Ia mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali lalu mengangguk, merasa lega. "Makasi."

"Ayo, ke kelas! Nanti keburu bel," ajak Dave sembari mendorong pelan pinggang ramping Michaella agar mulai melangkah.

Bersamaan dengan masuknya mereka ke dalam kelas, bel tanda dimulainya pembelajaran berbunyi. Semua siswa-siswi segera menduduki tempat duduknya masing-masing. Beberapa dari mereka terlihat gugup dengan ujian fisika yang akan dimulai beberapa saat lagi.

Suasana menjadi hening ketika pintu terbuka. Mereka harap-harap cemas dengan pengawas ujian kali ini.

"Selamat siang anak-anak," sapa seorang pria berkacamata. Para siswa dan siswi di kelas XI-IPA 2 bernapas lega mengetahui Pak Bams yang menjadi pengawas kali ini. Setidaknya tidak akan terlalu kaku dan masih bisa diajak bercanda.

"Letakkan barang-barang yang tidak diperlukan ke dalam tas. Di atas meja hanya ada alat tulis dan kartu ujian. 5 menit lagi kita mulai."

Waktu menunjukkan pukul 10 pas. "Sebelum bapak bagikan lembar jawab dan kertas soal, silahkan berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Bapak harap kalian mengerjakan dengan jujur, ya."

Kalimat terakhir yang Pak Bams ucapkan mampu membuat beberapa murid tersindir dan merasa tak enak hati. Contohnya seperti Kagendra yang menghentikan gerak tangannya yang sedang mengikat tali sepatunya.

Lembar jawab berikut soalnya mulai Pak Bams bagikan. Mereka segera melengkapi kolom identitas lalu sibuk mengisi jawaban. Ruangan kelas seketika menjadi sunyi. Hanya terdengar goresan pensil di kertas dan tentu saja hembusan napas lelah ketika mereka tak menemukan jawaban yang cocok.

80 menit telah berlalu. Beberapa murid telah duduk santai karena sudah mengisi jawaban dengan lengkap. Hanya tersisa 10 menit lagi. Di saat-saat seperti ini, mata Pak Bams mulai sering meneliti anak muridnya seperti alat scan.

Michaella mengetuk-ngetuk pelan mejanya ketika ragu dengan salah satu jawaban di pilihan ganda. Ia memperhatikan Allya dan Kagendra yang sedang saling memberitahu jawaban dengan gerakan yang sangat natural. Netra hitamnya melirik ke arah Dave yang sedang melipat kertas coretannya menjadi perahu.

Gadis itu mengayunkan kakinya pelan hingga melewati batas meja yang membuat Dave menengok ke arahnya. Michaella sempat kesusahan ketika ingin menunjukkan nomor yang akan ia tanya. Hingga akhirnya gadis itu melepas kunciran hitam di tangannya, menyilang bagian tengah lalu mendekatkan 1 pulpen di sampingnya. Nomor 18.

Dave melihat jawaban miliknya. Ia melirik kesana kemari sembari menyugar rambut hitamnya. Michaella mengangguk. Jawabannya A. Sama dengan jawaban yang sempat ia ragukan tadi.

Tak lama kemudian bel berbunyi. Pak Bams mengumpulkan lembar jawaban dan segera meninggalkan kelas setelah memberi salam. Para murid pun beranjak menuju kantin untuk istirahat sebelum mulai membahas materi untuk ujian di keesokan harinya selama 30 menit.

~~~

Gadis berambut hitam kecoklatan itu mematut dirinya di depan cermin. Ia mematikan air keran di wastafel lalu mengambil tissue untuk mengeringkan tangannya. Ia memperbaiki kerah seragamnya yang sedikit berantakan sebelum keluar dari toilet sekolah.

"Bagus, ya. Bian gak ada, sekarang Dave yang dideketin."

haii, support me by send a powerstone to my book, Amerta. thankyouu

chelendrawasihcreators' thoughts