webnovel

Sunyi

Penjara khusus tahanan politik, Jakarta, April, 1946

Setelah hampir 8 bulan terkurung tanpa sipir penjara, kondisi fisik Irwansyah sudah sangat mengenaskan, ia mirip orang terkena gangguan jiwa yang telantar di jalanan.

Tubuhnya sangat kurus, rambutnya gondrongnya acak-acakan, kumisnya telah menutupi mulut, cambangnya menutupi pipi dan janggutnya telah menjuntai menutupi leher. Ia tergeletak lemah di atas dipan dengan tatapan mata yang kosong.

Irwansyah sedang bicara pada Jajat dengan suara pelan, padahal ia tahu, agar suaranya terdengar ia harus agak berteriak. Jajat pun sudah sejak kemarin tidak pernah terdengar suaranya lagi. Artinya Irwansyah bicara sendiri.

Kondisi kedua tahanan itu menjadi sangat lemah karena tidak punya persediaan makanan dan air lagi. Musim kemarau membuat pohon pisang yang mereka andalkan mengering sehingga tidak mengeluarkan buah. Begitu pula ember untuk menampung air, juga sudah tidak menyisakan air walau hanya setetes.

"Kang Jajat ... jika sebentar lagi kita dipanggil Allah ... apakah perjuangan kita punya nilai pahala? ... Bagaimana jika mereka ... yang sekarang berkuasa setelah merdeka ... malah membuat rakyat sengsara?" tanya Irwansyah terbata-bata.

Jajat diam. Matanya terpejam, bibirnya yang kering masih melengkungkan senyuman setelah menghembuskan nafas terakhirnya kemarin.

"Kenapa Kang? ... Oh, begitu. Betul, Kang ... selagi nafas masih berhembus ... lebih baik kita terus memohon ampunan pada Allah ... Astaghfirullahaladzim ... Astaghfirullahaladzim ... Astaghfirullahaladzim ... Alladzi laa ilaha illa huwal hayyul qayyum wa atubu illaih," ucap Irwansyah seolah Jajat menjawab pertanyaannya.

*****

Pasar Senen, Jakarta.

"Cari bunga apa, Bang?" tanya seorang perempuan pemilik kios bunga.

"Hmm, bunge ape yang cocok untuk dekorasi acare?" tanya Asril.

"Untuk acara resmi, hiburan, pernikahan atau yang lainnya?"

"Untuk acare rapat pemerintah."

"Ada banyak pilihan. Abang mau pilih sendiri atau saya saja yang pilihkan?"

"Pilihkanlah, Dek. Abang tak pandai soal bunge."

Pemilik kios bunga yang cantik itu tersenyum. "Baik, Bang." Ia memilihkan bunga-bunga yang cocok. Asril mengikutinya.

"Abang orang Melayu, ya?" tanya pemilik kios bunga.

"Betul, Dek. Padahal saye dah lame di Jakarta, tapi payah betul mengubah logat ni. Asal saye dari Langkat"

"Oh, dari Langkat. Saya justru senang mendengar logat Melayu. Bunga-bunga yang ini bagaimana?" tanya pemilik kios bunga sambil menunjuk koleksi bunganya.

"Apapun yang Adek pilih, Abang setuju," sahut Asril.

"Baik, Bang. Jadi, Abang orang dari pemerintah?"

"Betul. Abang membeli bunge karene kami memang nak rapat membahas tentang hilangnye Bung Sjahrir."

Pemilik kios bunga itu tersenyum. "Rapat seperti itu kenapa perlu dekorasi bunga, Bang?"

"Abang sengaje, biar suasane rapat tak terlalu panas macam biasenye."

"Oh, begitu. Negeri ini akan damai, jika semua orang pemerintahan punya hati yang lembut seperti Abang," puji pemilik kios bunga.

Asril senang dipuji pemilik kios bunga. "Akan lebih lembut lagi, bile Abang telah punye pendamping, Dek."

"Oh, Abang masih bujangan. Padahal orang seperti Abang pasti mudah mendapat pasangan."

"Ah, belum tentu. Ape Adek sudah punye pasangan?" tanya Asril yang tampaknya menyukai pemilik kios bunga itu.

"Ah, Abang ada-ada saja. Bang, apa saya boleh bertanya tentang hal yang berhubungan dengan rapat tadi, Bang?" tanya pemilik kios bunga.

"Boleh. Ape yang nak Adek tanye?"

"Saya dengar yang melakukan penculikkan pada Bung Sjahrir, adalah para tokoh pergerakan dari Persatuan Perjuangan, Tan Malaka, Achmad soebardjo, dan Sukarni. Betul itu, Bang?"

"Wah, Abang tak menduge, ternyate Adek mengikuti perkembangan berite. Memang betul, Dek. Lalu?"

"Saya heran. Bukankah Bung Sjahrir, Tan Malaka, Achmad soebardjo, dan Sukarni itu berteman dan setahu saya mereka pun satu kubu. Kenapa itu bisa terjadi?"

"Itulah politik. Tidak ade teman atau musuh abadi. Seringkali orang-orang politik itu jadi berkawan hanye karene sedang punye musuh yang same atau jadi bermusuhan hanye karene sedang punye kepentingan yang berbede."

"Sayang sekali ya, Bang. Saya sedih jika sesama pejuang akhirnya malah saling menjatuhkan setelah kita merdeka. Oh, ya. Abang kan orang Melayu, pasti juga sudah dengar peristiwa di Sumatera Timur, apa pendapat Abang?"

Asril menghela nafas berat. "Abang tentu sangat marah, tetapi itulah sulitnya hidup di dunia politik. Sebagai orang Melayu, rasanye Abang ingin menuntut balas, tetapi sebagai orang yang ikut mengurus negeri, tak mungkinlah kami memotong satu tangan yang tersise."

"Abang memang tidak perlu menuntut balas, tetapi menuntut keadilan."

"Sulit. Negare ni masih sangat mude, belum pun satu tahun. Masih banyak pekerjaan yang belum selesai, ade pulak kelompok yang melakukan pembunuhan massal. Entah siape yang bise kuharap, bile aku mau menuntut keadlian? Ku tengok orang-orang penting malah sedang sibuk saling menjatuhkan, bahkan perdane menteri yang memimpin kabinet saje pun diculik."

Pemilik kios bunga mengangguk-anggukkan kepala.

"Bagaimane Adek bise sangat paham tentang segale berite ni?"

"Saya tidak paham, hanya sekedar mendengar cerita perkembangan politik dari pembicaraan warung kopi sebelah. Mumpung ada orang pemerintah yang baik seperti Abang, maka saya ingin bertanya langsung."

"Tak masalah. Maaf, Dek. Boleh Abang tahu nama Adek?"

"Nama saya Dewi Cempaka. Ini Bang, bunga-bunga pilihan saya," ujar Dewi sambil memberikannya pada Asril.

"Name saye, Asril. Terime kasih, Dek. Oh, iya. Ape masih ade yang masih ingin Adek tanye? Saye akan berusahe menjawab sebisenye."

"Tidak ada, Bang. Saya hanya masih merasa seperti ada yang mengganjal di hati. Apa yang terjadi di Sumatera Timur itu sangat keji, Bang. Sayang, Mat Klewang sudah tertangkap dan tidak ada yang tahu nasibnya sekarang. Saya yakin, orang seperti dia tidak akan tinggal diam, mendengar saudaranya di tanah Melayu diperlakukan seperti itu."

Asil diam.

"Maaf, Bang. Apa saya salah bicara?"

"Sebagai orang Melayu, saya merasa seperti baru ditampar."

"Maaf, Bang. Saya sama sekali tidak bermaksud begitu."

"Justru Adek betul. Bagaimane bise saye hanye berdiam diri, sementare Adek yang bukan orang Melayu justu lebih peduli. Ditambah lagi, Adek pun meyakini, bahwe Mat Klewang saje yang juge bukan orang Melayu, mau bertindak."

"Mat Klewang itu orang Melayu, sama seperti Abang. Nama aslinya sangat dikenal di Sumatera. Apa Abang tidak tahu nama aslinya?"

Asril menggeleng. "Siapa, Dek?"

"Irwansyah. Pemuda kebanggaan kesultanan Deli dan Langkat."

Asril bagai mendengar suara halilintar di siang bolong.

"Masya Allah! Mat Klewang tu Irwansyah? Dek, Irwansyah tu kawan baikku, tadinye sempat tinggal di rumahku. Dari mane Adek tahu, ape Adek pernah berjumpe dengannye langsung?"

"Pernah, Bang, sebelum dia lari ke Bandung."

"Abang dah lame mencari Irwansyah tanpa hasil. Bile die adalah Mat Klewang, berarti die sedang dipenjare. Kalau begitu, Abang bise bertanye, di penjare mane saje Jepang mengurung tahanan politiknye."

Dewi terlihat sangat senang.

"Abang sangat berterime kasih pade Adek. Nanti, Insya Allah Abang akan singgah ke rumah Adek Dewi Cempaka. Eh, tapi ape boleh? Takutnye Adek ni dah punye pasangan pulak. "

"Ah, Abang. Mampir ke sini saja." sahut Dewi Cempaka, perempuan korban Jugun Ianfu yang pernah menyelamatkan Irwansyah.

*****

Penjara khusus tahanan politik, Jakarta.

Dalam keheningan, Irwansyah mendengar suara mobil.

"Kang Jajat ... apakah saya berhalusinasi? ... sepertinya ... ada yang datang."

Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak. "Irwan! Irwan! Irwansyah!"

Asril dan para anggota TRI menghampiri ruang sel Irwansyah dan membongkar paksa pintunya. Sebagian tentara yang lain memeriksa ruang sel lainnya.

"Astagfirullahaladzim. Wan!" panggil Asril. Ia sangat sedih melihat kondisi Irwansyah yang mengenaskan.

*****

Rumah Asril, Tanjung Priok, Jakarta.

Asril menemani Irwansyah yang berbaring di tempat tidur. Kondisinya sudah agak membaik walau belum normal.

"Jadi apa rencanamu selanjutnya di Jakarta?" tanya Asril .

"Aku hanye ingin pulang kampung secepatnye," sahut Irwansyah.

Asril kuatir peristiwa kelam di Sumatera Timur akan mengguncang jiwa Irwansyah.

"Wan, menurutku, kau tak perlu nak cepat-cepat pulang. Nanti, orang di sane tekejut pulak melihat kau, kurus betul badanmu. Lebih baek, tunggu sekejap hingge kau agak tegap sikit macam dulu," bujuk Asril.

"Ril, tlah hampir sepuluh tahun Farisya menantiku. Ape aku masih perlu menambah waktu, untuk menyikse hatinye?" tanya Irwansyah.

Asril berusaha keras menutupi kesedihannya.

"Setidaknye, tunggu hingge ... "

"Ril, aku nak pulang!"

Asril merasa tidak bisa lagi menahan Irwansyah.

"Baiklah, Wan. Sekarang Asrul tlah menjadi Nakhode kapal penumpang. 3 hari lagi kapalnye yang dari Surabaye akan berlabuh sekejap disini lalu lanjut ke Belawan. Bile kau nak pulang kampung, aku akan menemanimu."

"Terimekasih atas segalenye, Ril."

Tiga hari kemudian, Irwansyah berangkat bersama Asril dengan kapal laut yang dinakhodai Asrul. Di sepanjang perjalanan mengarungi laut, Irwansyah heran melihat Asrul dan Asril yang biasanya senang bersenda gurau, kini jadi tidak banyak bicara.

*****