webnovel

Alta dan Allamanda

Philosophy Color Series 1 ## Bagi Lamanda, Alta adalah pembawa masalah dalam hidupnya. Tapi, bagi Alta, Lamanda adalah sebuah petaka, pembawa sial yang harus segera ia lenyapkan. Perjalanan cerita mereka penuh misteri, penuh dendam, dan.. luka. Hingga, pada akhirnya, salah satu dari mereka kalah telak dan merasakan beratnya penyesalan. Selamat membaca

yupitawdr · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
149 Chs

Bab 26 | Album Foto

26. Album Foto

Dendam tidak akan membuatmu menyelesaikan masalah. Ia hanya akan membuatmu terikat dengan masalah baru. Setelahnya, hidupmu akan bertambah sulit.

***

Lorong depan kelas lantai bawah terlihat sepi ketika Lamanda melewatinya saat ia hendak menghampiri Kaila dan Arsya yang berada di kantin. Tadi Lamanda lupa membawa tugas dan mengharuskannya mengerjakan ulang di perpustakaan untuk dikumpulkan. Ia patut bersyukur karena tidak dihukum lari lapangan ataupun membersihkan toilet sekolah.

Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu 17 menit untuk makan. Lamanda mempercepat langkahnya hingga ia terperajat dan mundur selangkah ketika sosok lelaki jangkung berdiri dan menghalangi jalannya saat hendak berbelok.

Lelaki itu maju selangkah lalu mengulurkan paper bag ke arah Lamanda. "Ganti rugi hp lo."

Meskipun ragu, Lamanda menerimanya. Ia melongok ke dalam dan mendapati dusbook merk ponsel seperti miliknya yang rusak.

Lamanda memandang Vero di depannya.  Ia sudah berburuk sangka pada Vero. Setelah kejadian itu Lamanda pikir Vero hanya main-main untuk mengganti ponselnya tapi sekarang lelaki itu benar-benar menggantinya.

"Kenapa? Lo nggak nyangka bakal gue ganti beneran?"

Lamanda diam dan menunduk. Ia memainkan tali paper bag untuk mengalihkan diri dari pertanyaan Vero.

"Gue emang bangsat tapi gue anti ingkar janji," tukas Vero.

Lamanda mendongak. Menyelipkan anak rambut kebelakang telinganya lalu tersenyum. "Makasih, Roo."

Vero menjulurkan tanganya ke arah Lamanda. "Siniin tangan lo," perintah Vero yang dibalas tatapan bingung bercampur takut oleh Lamanda.

"Jangan nunggu sampai gue maksa lo."

Meskipun ragu Lamanda menuruti perintah Vero. Vero menyambut telapak tangan Lamanda, menggenggamnya erat lalu menariknya melangkah.

"Lo mau bawa gue kemana?" tanya Lamanda sedikit panik saat Vero menariknya menaiki tangga menuju lantai dua.

Vero menghentikan langkahnya lalu menarik Lamanda agar berjalan sejajar dengannya. "Ruang musik."

Ingatan akan kejadian buruk yang menimpanya karena ulah Vero langsung berkelebat di pikiran. Lamanda langsung mencoba melepaskan diri namun Vero mencekalnya cukup kuat.

"Gue nggak mau!!" seru Lamanda sambil terus menarik tangannya agar terlepas.

"Diem atau gue bakal berbuat lebih," bisik Vero tajam karena beberapa murid mulai mengikuti setiap pergerakan mereka. Lamanda akhirnya pasrah dan memilih diam. Ia berdo'a dalam hati, semoga Vero tidak macam-macam.

Vero terus menarik Lamanda. Mereka menaiki anak tangga menuju lantai tiga, menyusuri koridor kembali hingga mereka sampai di ruang musik dan masuk ke dalamnya. Vero mendudukkan Lamanda di sofa sedangkan ia berdiri sambil bersedekap.

"Ambil dusbooknya," perintah Vero.

Meskipun bingung Lamanda menurut. Ia mengeluarkan dusbook ponsel dan meletakkan di pangkuannya.

"Buka terus ambil hpnya," perintah Vero lagi

Lamanda membuka dusbook ponsel tersebut lalu mengeluarkan ponsel dan beberapa buku panduan didalamnya.

Tidak sampai sedetik ponsel itu sudah beralih ke tangan Vero. Lamanda menggeser tubuhnya ketika merasakan Vero duduk disampingnya.

Lamanda diam sejenak memandangi Vero yang sedang mengutak-atik ponselnya. Ia mencoba memikirkan hal apa yang sedang Vero lakukan.

"Ini udah gue pasangin memory sama SIM card," tutur Vero. Lelaki itu menoleh ke arah Lamanda.

"Makasih," ucap Lamanda tulus.

Vero menyerahkan ponsel itu kembali.

"Sebenernya kata 'terimakasih' dari lo itu nggak berarti buat gue." Vero merebahkan tubuhnya di sofa. Sebenarnya tidak masalah kalau saja Vero tidak menjadikan paha Lamanda sebagai bantalannya.

"Roo, jangan gini," pinta Lamanda. Tangannya mencoba menyingkirkan kepala Vero dari pangkuannya. Ia risih.

Namun Vero keras kepala. Lelaki itu malah memejamkan matanya dan melanjutkan perkataannya tadi. "Lo tau, ada yang lebih berarti dari ucapan terimaksih. Ciuman terimakasih misalnya," ujar Vero. Ia membuka matanya lalu mengusap pipi Lamanda namun segera ditepis gadis itu. "Karena gue lebih butuh dari sekedar ucapan."

Tubuh Lamanda menegang melihat sorot mata Vero. Ia tahu bahwa setelah ini semuanya tidak akan baik-baik saja.

Vero bangkit lalu mengukung tubuh Lamanda. "Ayo lanjutin yang kemarin," bisik Vero, ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan bibir tepat di tangan Lamanda yang menutupi bibirnya.

"Buka dong, biar gampang." Vero meraih paksa tangan Lamanda. Membuat gadis itu berteriak dan terus memberontak.

"Vero lepasih gue!!"

"Vero!!"

Lamanda semakin histeris ketika Vero meraih lehernya, lalu menariknya mendekat. Ia merasakan tangan Vero mengusap pipinya perlahan sebelum menyibak rambutnya ke belakang.

Beberapa saat Vero tenggelam dalam pikirannya. Bagi Vero, Lamanda cantik. Tidak banyak yang berubah dari gadis itu. Hanya saja memang ada yang berbeda. Mata abu Lamanda. Vero memandangnya lama. Apakah gadis itu memakai contact lens? Karena terakhir kali Vero melihatnya dulu bukan warna itu. Melainkan biru.

Menyadari Vero lengah, Lamanda langsung mengambil kesempatan itu dan mendorong Vero hingga terjerembab jatuh ke lantai. Lamanda langsung berdiri dan berlari ke arah pintu. Ia memutar handle berulang kali, namun pintunya enggan terbuka.

"Lo butuh ini?" tanya Vero sambil memperlihatkan kunci pada Lamanda. Ia berjalan mendekat membuat Lamanda menghindar.

"Berhenti Vero!" perintah Lamanda ketika Vero berjalan santai ke arahnya. Tubuh Lamanda bergetar karena ketakutan. Jantungnya mulai berdetak tidak beraturan.

"Lo harus nerima hukuman karena udah berani ngelawan gue."

Saat Vero terus mengikuti pergerakannya, Lamanda berlari cepat melewati grand piano yang pernah dimainkan Alta lalu membuka jendela dan begegas keluar. Ia menahan jendela besar itu dengan kedua tangannya agar Vero tidak bisa menyusul ke balkon.

Lamanda menoleh ke sekitar. Sepi. Karena ruang musik bersisian dengan ruang laboratorium dan ruang pendukung sekolah lainnya. Bukan ruang kelas.

Lamanda fokus pada jendela lagi dan terkejut ketika Vero tepat berada dihadapanya. Hanya dibatasi kaca. Lelaki itu menyeringai dan mendorong jendela itu dengan kuat membuat Lamanda mengerahkan banyak tenaga untuk tetap menahan jendela itu agar tidak terbuka.

Brakk

Lamanda sedikit terjungkal ke belakang ketika Vero berhasil membuka jendela itu dan keluar.

Vero menarik lengan Lamanda lalu mendekatkan ke tubuhnya. Ia menarik pinggang Lamanda. Tanpa banyak bicara ia mendaratkan bibirnya di kening Lamanda, kemudian turun ke hidung lalu pipi. Lamanda berontak. Ia berteriak sekeras mungkin berharap ada yang mendengar lalu menolongnya.

Lamanda menutup mulutnya, melindungi bibirnya dari sentuhan Vero. Lamanda terisak.

"Dont worry, i prefer to kiss your neck than.. your lip."

Setelah itu Vero menyorongkan kepalanya di ceruk leher Lamanda, menghembuskan napas hangatnya membuat Lamanda bergidik. Ia menjulurkan lidahnya, menyecap setiap inchi permukaan leher didekapannya, menggigitnya kecil membuat Lamanda memekik.

Lamanda terus berontak dan menangis membuat Vero kesulitan melanjutkan kegiatannya.

"Bisa diem nggak sih?!" geram Vero. Ia menatap tajam Lamanda.

"Kenapa lo lakuin ini sama gue? Karena lo benci Kalka? Lalu lo jadiin gue sebagai pelampiasan?" ujar Lamanda dengan suara bergetar karena isakan.

Perkataan Lamanda membuat Vero mengendurkan cekalan tangannya. Lamanda memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan diri dan mundur menjauhi Vero.

"Gue nggak tau masalah apa yang udah terjadi antara lo, Kalka, Raskal dan Alinka," papar Lamanda. "Yang gue tau, nggak seharusnya lo masukin gue dalam lingkaran masalah lo dan membuat masalah itu semakin rumit."

"Diem, Lamanda!!"

Lamanda menatap sendu Vero. "Gue mau semuanya berakhir. Lo, Kalka, Raskal dan Alinka temenan lagi kayak dulu. Dan gue hidup tenang tanpa gangguan lo."

"Gue bukan temen mereka!!"

"Waktu itu gue lihat foto kalian di laci Kalka. Lo masih mau ngel--"

"Cukup! Gue nggak mau denger!"

"Kenapa? Lo pengecut tahu nggak dengan ngelampiasin kemarahan lo ke gue tanpa mau menyelesaikannya."

"Brengs*k lo banyak ngomong." Vero menarik kemeja Lamanda membuat beberapa kancingnya terlepas. Lamanda terperangah dan langsung merapatkan kemejanya dengan kedua tangan. Ia mundur ketika Vero mendekat. Terus begitu hingga tubuhnya tidak bisa lagi bergerak karena telah berada di pinggiran balkon.

"Lo udah terlalu banyak ngomong tentang hal yang paling nggak gue suka maka gue juga bisa ngelakuin hal yang nggak lo suka."

"Kalau lo maju selangkah lagi gue bakal loncat!!" ancam Lamanda.

"Oh ya?" Vero maju selangkah lagi.

Lamanda melangkah menghindar ke samping dengan tangan mencengkram railing besi balkon. Ia memijakkan kakinya pada celah railing.

"Ya."

Setelah berkata begitu Lamanda membalikkan tubuhnya. Ia melongok ke bawah mengamati tempat ia akan landing jika ia benar-benar terjun ke bawah.

Bagi Lamanda tidak terlalu buruk jika ia mendarat dengan tubuh hancur daripada ia harus hancur gara-gara Vero.

Vero berjalan mendekati Lamanda. "Turun, Lamanda!"

Lamanda menoleh. "Kalau lo maju selangkah lagi. Gue bakal bener-bener loncat."

Vero diam di tempat. Ia menatap lurus mata Lamanda yang memancarkan kesungguhan. Yang Vero tahu, Lamanda tidak main-main.

Sekelebat bayangan melintas di pikiran Vero. Kilas balik akan kejadian buruk di masa lalunya satu-persatu bermunculan. Vero memejamkan mata.

Ia mengingat jelas bagaimana ia sudah berada di halaman sekolah dan menatap nanar darah yang menggenang disekitar tubuh seorang gadis yang baru saja menjatuhkan dirinya dari atas rooftop sekolah.

Ia mengingat jelas bagaimana ia menoleh ke atas lalu melihat lelaki seusianya memandang ke bawah.

Ia mengingat jelas bagaimana ia merengkuh tubuh gadis itu dan membuat seragam putih birunya berubah warna.

Ia mengingat jelas bagaimana hancurnya ia ketika mendengar vonis dokter bahwa gadis itu tidak selamat.

Ia mengingat jelas semuanya. Kejadian terburuk dalam hidupnya. Awal dari kehancuran pertemananya.

Vero membuka matanya. Ia berjalan cepat ke arah Lamanda lalu menarik tangannya. Setelah itu membawanya dalam dekapan.

Awalnya gadis itu berontak. Namun setelah itu ia menyerah membiarkan Vero melakukan apa yang lelaki itu inginkan. Lamanda pasrah.

Vero menunduk dan memperhatikan Lamanda yang sedang meringis dengan napas mulai pendek-pendek. Wajahnya pucat dan sembab. Ada gelayar aneh ketika menyadari kenyataan bahwa gadis itu tersiksa karena dirinya. Namun Vero segera menepisnya.

"Sst..sa..kitt, Roo," rintih Lamanda saat rasa sakit di dadanya semakin menjadi dan membuatnya sulit bernapas.

Lamanda semakin terisak. Matanya memburam. Ia mencengkram kuat kemeja Vero. Nyeri di dadanya semakin menjadi. Tubuhnya seperti meluruh ke lantai namun Vero menahannya. Ia merasakan Vero menuntunnya duduk perlahan.

Yang Lamanda yakini bahwa ini adalah hari terakhir ia bernapas karena semakin lama deru napasnya semakin pendek-pendek dan ia kesulitan meraup udara.

Vero yang melihat itu sekuat tenaga menahan diri menepis perasaan aneh yang menghampiri dirinya. Ia ingin menolong Lamanda namun ia hanya diam dan membiarkan Lamanda menikmati detik-detik terakhirnya. Lalu semuanya akan impas. Dan ia tidak perlu lagi membenci mereka.

Namun saat Lamanda mencengkram kemejanya semakin kuat. Vero yakin bahwa gadis itu teramat kesakitan. Vero memandang sendu Lamanda yang matanya setengah terbuka.

"Lamanda.." panggilnya.

Setelah itu Vero merasakan kerah belakang seragamnya ditarik lalu ia terhempas menabrak dinding. Vero melihat Alta meraih tubuh Lamanda lalu menendang jendela menuju ruang musik membuat jendela itu rusak lalu bergegas masuk. Lalu Vero tidak melihat mereka lagi.

"ALTA APA-APAN KAMU!!" teriak Bu Ramti di pintu masuk ruang musik saat melihat Alta merusak jendela dengan kurang ajarnya.

"Harusnya ibu berterimakasih sama saya karena sudah menolong salah-satu murid anda yang hampir saja mati," jawab Alta santai. "Minggir," ketusnya lalu bergegas melewati Bu Ramti.

Vero hanya mendengar sayup-sayup suara itu. Ia tidak peduli. Vero mencengkram rambutnya. Bayangan Lamanda terus-menerus mengahantuinya. Sejak dulu, gadis itu tidak pernah bisa membuatnya tenang.