webnovel

Alta dan Allamanda

Philosophy Color Series 1 ## Bagi Lamanda, Alta adalah pembawa masalah dalam hidupnya. Tapi, bagi Alta, Lamanda adalah sebuah petaka, pembawa sial yang harus segera ia lenyapkan. Perjalanan cerita mereka penuh misteri, penuh dendam, dan.. luka. Hingga, pada akhirnya, salah satu dari mereka kalah telak dan merasakan beratnya penyesalan. Selamat membaca

yupitawdr · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
149 Chs

Bab 20 | Kotak Musik

20. Kotak Musik

Cemburu itu wajar dan nggak ada yang ngelarang. Yang nggak wajar adalah ketika kamu marah-marah karena cemburu. Memangnya kamu siapa?

***

Hampir setengah jam Alta duduk didepan kemudinya sambil memperhatikan rumah bergaya American Colonial di sebelah kanannya. Ia melihat Casio G Shock yang melingkar dipergelangan tanganya. Masih jam 5 pagi. Dan di luar embun masih menggelayut membuat sekitarnya terlihat merabun.

Alta menguap untuk yang kesekian kalinya karena ia benar-benar tidak tidur semalaman. Tadi, sebelum subuh ia sudah berada di apartemennya sendiri untuk mandi dan berganti pakaian lalu langsung melesat menjemput Lamanda. Suatu kebodohan membayangkan gadis itu pasti masih meringkuk di balik selimut tebal.

Sambil menyandarkan kepalanya, Alta meraih ponselnya lalu menghubungi seseorang. Ia mulai mendekatkan ponsel tersebut ketelinganya berharap ada jawaban dari seberang sana.

Nomor yang anda tuju sedang tidak ak-

Alta mengumpat dan memutuskan sambunganya langsung. Padahal ia mengingat bahwa Lamanda tidak mematikan ponselnya tadi malam tapi entah kenapa sekarang malah tidak aktif.

Perlahan ia membuka pintu mobilnya dan berjalan keluar. Alta sedikit bergidik ketika angin bertiup ke arahnya. Pagi ini sangat dingin, udara bekas hujan semalam masih membekas hingga sekarang bahkan tanah masih basah dan menyisakan banyak kubangan di sekitar. Untung Alta memakai jaket.

Ia sudah berdiri tepat di depan gerbang kayu berwarna putih yang hanya sebatas perutya. Tanpa sadar ia tersenyum melihat pemandangan didepannya. Alta menyukai rumah Lamanda sejak kali pertama melihatnya. Meskipun tidak sebesar rumahnya, tapi rumah ini memberikan ketenangan.

Alta menggeser kuncian pagar dan mendorongnya ke dalam. Ia menoleh sebentar ketika matanya menangkap sebuah trampolin berwarna biru yang diletakkan di dekat pagar. Kemudian ia melangkahkan kakinya kembali memasuki area halaman rumah Lamanda. Ia melewati jalan setapak yang dipaving selebar jalan mobil. Kanan kiri jalan tersebut dihampari rumput teki yang dipinggirannya berjejer bunga aster dan krisan warna warni. Halaman rumah Lamanda sudah terlihat seperti taman bunga melihat banyak bunga ditanam dan tertata rapi disini. Ada primrose, anyelir, mawar, dahlia, lavender, daffodil, bugenvil dan banyak lagi yang Alta tidak ketahui namanya.

Lelaki itu dapat mencium aroma mawar bercampur lavender dan bebungaan lain yang bercampur dengan petrichor. Ia terlalu menikmati pemandangan sekitarnya hingga tidak terasa ia sudah sampai di dekat tangga teras rumah. Alta langsung menaikinya, dan disuguhi pemandangan anggrek-anggrek bulan yang diletakkan menggantung. Kemudian ia mulai memencet bel yang terletak disamping pintu.

Beberapa kali tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Alta berniat memencetnya lagi ketika kenop pintu bergerak dan pintu perlahan terbuka. Dihadapannya seorang lelaki dengan baju koko dan kopiah mengangkat kedua alisnya, seperti kebingungan. Namun, hanya sebentar karena ia paham ketika mengamati seragam Alta yang persis sama seperti milik Lamanda.

"Temen Lamanda ya?" tanya Kalka pada akhirnya.

Alta langsung mengangguk. "Mau jemput, udah bangun nggak, Ka?"

Lagi-lagi Kalka bingung karena Alta mengetahui namanya. Tapi ia tidak ambil pusing mungkin Lamanda pernah menceritakan tentang dirinya. Lalu ia menyuruh Alta untuk masuk dan menunggu di sofa.

Kalka berjalan ke kamar Lamanda hendak membangunkannya, tapi ternyata gadis itu sudah rapi dengan seragam melekat ditubuhnya. Raut wajahnya sangat pucat, bahkan Kalka dapat melihat tubuh Lamanda yang semakin kurus.

"Ada temen lo dibawah. Katanya mau jemput."

Lamanda hanya mengangguk. Ia mulai mengikat rambutnya jadi satu dengan pita. Kemudian memandangi wajahnya di cermin. Menyedihkan. Efek obat tidur tadi malam masih berimbas sampai sekarang membuat Lamanda merasa sedikit pusing dan mengantuk. Lamanda memejamkan mata sebentar dan meraih tasnya.

Lamanda turun ke bawah dan mendapati Alta sedang mengobrol dengan bundanya. Kemudian, perhatian mereka teralih ketika mendengar suara langkah kaki Lamanda.

"Good morning little girl." Flora meraih tubuh Lamanda untuk duduk dan mengecup singkat kening gadis itu. "Mimpi indah?" tanya Flora seperti biasa ketika Lamanda baru bangun tidur.

Lamanda hanya tersenyum menjawab pertanyaan Flora.

"Kamu mau berangkat bareng Alta?"

Lamanda melirik sekilas Alta yang hanya diam saja. Kemudian ia mengangguk. "Iya, bunda."

Flora tersenyum lembut. Ia melihat jam dinding di dekat tangga lalu memandang Alta dan Lamanda bergantian. "Yaudah kalau gitu kita sarapan dulu," ajak Flora. Tidak ada respon, ia kembali memandang Alta yang masih diam. "Jangan sungkan, anggap aja rumah sendiri," ucap Flora membuat Alta tersenyum canggung.

"Lamanda, ajak Alta sarapan ya. Bunda tunggu di ruang makan."

Flora mulai melangkahkan kakinya ke ruang makan dekat dapur setelah sebelumnya berteriak memanggil Kalka untuk sarapan. Sedangkan Lamanda masih di ruang tamu bersama Alta. Entah kenapa suasana menjadi canggung.

"Buruan sarapan!! Jangan berduaan mulu!!" teriak Kalka yang sedang berlari menuruni tangga dengan seragam lengkap. Lamanda memutar kedua matanya. Kalka menyebalkan.

Lamanda memandang Alta. "Al.." ucapnya seakan mengajak.

Alta mengangguk dan mengikuti langkah Lamanda.

Akhirnya, mereka berempat duduk dan sarapan bersama di ruang makan. Alta menikmati sarapannya kali ini karena sudah lama ia tidak sarapan dengan normal. Biasanya ia hanya sarapan roti atau mie instan atau lebih seringnya tidak sarapan karena malas sekedar memasak air. Sejak tinggal di apartement ia sering makan fastfood karena lebih praktis meskipun tidak baik untuk kesehatan.

"Kamu satu kelas sama Lamanda?" tanya Flora ketika melihat Alta selesai mengunyah dan menelan makannya.

Alta menggeleng sopan. "Enggak, tan."

Flora membulatkan mulutnya sambil mengangguk paham.

"Jadi, kalian lagi pendekatan apa udah pacaran?" tanya Kalka langsung to the point membuat Lamanda tersedak, berbeda dengan Alta yang terlihat santai saja. Lelaki itu bahkan dengan tenangnya mengulurkan segelas air pada Lamanda dan membantunya minum membuat Kalka gerah. Maklum jomblo.. Kalau lihat adegan romantis dikit langsung panas.

Suasana mendadak hening hanya terdengar suara denting sendok yang beradu dengan piring.

Lalu Kalka berdeham berusaha mencairkan suasana kembali dan bertanya. "Jadi lo yang waktu itu anterin Lamanda pulang?"

Alta hanya mengangguk dan kembali makan.

Suasana kembali normal dan menghangat. Flora beberapa kali mengajukan banyak pertanyaan pada Alta sambil makan begitupula dengan Kalka yang notabene kepo akan kedekatan Lamanda dan Alta sedangkan Alta menjawab seadanya. Lamanda lebih banyak diam. Ia merasa benar-benar tidak fit hari ini. Untuk bicara pun ia seperti tidak memiliki tenaga.

Sebenarnya ia ingin sekali memberitahukan bundanya kalau di hadapan mereka itu adalah Davino. Tapi, ia mengurungkan niatnya karena itu bukan haknya. Ia hanya perlu menunggu Alta siap dan membuka semua rahasianya.

Setelah menyelesaikan sarapan Lamanda membantu bundanya membawa piring-piring kotor ke dapur meninggalkan Alta dan Kalka yang mulai terlihat nyambung ngobrol berdua. Meskipun Kalka yang lebih mendominasi pembicaraan.

"Sejak kapan?" tanya Flora sambil meletakkan piring ke wastafel.

Lamanda menoleh. "Eh?"

"Deket sama Alta," ucap Flora yang kini telah beralih mencuci piring.

Lamanda berdengung. Lalu menunduk berusaha mencari pengalihan topik. Tapi gagal.

"Bunda seneng kamu bisa membuka hati lagi. Apalagi Alta anaknya baik meskipun pelit ngomong," ujar Flora terkekeh. Kemudian, ia menatap serius ke arah Lamanda. "Tapi, jangan deketin dia gara-gara dia mirip sama Davino.." lanjutnya.

Lamanda mengangguk saja. Bahkan bundanya peka kalau Alta seperti Davino. Lantas Lamanda tersenyum. "Lamanda berangkat dulu," pamitnya kemudian.

"Mau bawa bekal?"

Lamanda menggeleng. Ia mencium punggung tangan bundanya yang masih basah.

Flora mengusap lembut rambut Lamanda. "Kamu yakin mau sekolah? Kamu pucet banget."

Ia mengamati wajah Lamanda yang memang sangat pucat.

"Iya, bun. Soalnya Lamanda udah ketinggalan banyak pelajaran."

"Yaudah kalau gitu, hati-hati."

Lamanda mengangguk dan keluar dari dapur lalu langsung menghampiri Alta di ruang makan. "Berangkat sekarang?" tanyanya.

Alta langsung mengangguk dan berdiri, ia meraih tas Lamanda yang tergeletak di kursi lalu membawakannya. Kalka yang menangkap gerak-gerik keduanya langsung berdiri dan mengeluarkan beberapa rules yang menurutnya berfaedah.

"Jangan ngebut, jangan nerobos lampu merah, jangan suruh adek gue dorong mobil lo kalau mogok apalagi sampai bawa dia madol," cerocosnya panjang lebar.

Alta mengehela napas kemudian mengangguk.

"Satu lagi.. Jangan turunin adek gue di pinggir jalan."

Nggak gue turunin di pinggir jalan. Tapi di tengah jalan aja sekalian.

"Tenang aja." Alta menepuk pundak Kalka kemudian berjalan ke arah dapur dan berpamitan pada Flora.

Setelah itu mereka keluar dari rumah dan memasuki Chevrolet Camaro silver milik Alta. Sampai setengah perjalanan masih tidak ada pembicaraan. Padahal mereka masih lancar berbicara saat di telfon tadi pagi tapi ketika bertemu malah canggung begini.