webnovel

Alta dan Allamanda

Philosophy Color Series 1 ## Bagi Lamanda, Alta adalah pembawa masalah dalam hidupnya. Tapi, bagi Alta, Lamanda adalah sebuah petaka, pembawa sial yang harus segera ia lenyapkan. Perjalanan cerita mereka penuh misteri, penuh dendam, dan.. luka. Hingga, pada akhirnya, salah satu dari mereka kalah telak dan merasakan beratnya penyesalan. Selamat membaca

yupitawdr · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
149 Chs

Bab 15 B | Bulliying

Meskipun Lamanda bersikeras agar tidak membawa masalah tadi ke guru namun Raskal kekeuh apalagi tadi ia mengadu pada Arsya. Dan sekarang disinilah Lamanda, duduk bersisian dengan Liora di ruang Konseling setelah keadaanya stabil kembali. Hanya bertiga karena Raskal dan Arsya sudah diusir untuk ikut pelajaran yang sedang berlangsung.

"Bisa jelaskan kenapa kamu sampai melakukan hal rendahan semacam ini, Liora?"

Liora diam membiarkan Bu Ramti berbicara.

"Kamu itu sekretaris OSIS harusnya kamu berlaku baik pada anak baru seperti Lamanda, bukan malah memperlakukan dia seperti ini."

Kemudian hening.

Hanya suara detak jam dinding yang masih terdengar dengan jelas.

"Saya tidak mau berpihak atau membela siapapun. Jadi, besok bawa orangtua kalian ke sekolah," putus Bu Ramti.

Liora kemudian melirik sekilas Lamanda yang sedari tadi hanya diam. Kemudian ia meletakkan sebuah foto di meja Bu Ramti. "Mungkin ibu bisa mempertimbangkannya."

Meskipun bingung, Bu Ramti tetap mengambilnya. Kemudian matanya melebar mendapati foto Lamanda dan Vero. Ia memandang Lamanda dengan tatapan mengintimidasi. "Apa-apan ini, Lamanda?!"

Lamanda gugup dan malu. "Itu nggak seperti yang ibu pikirkan. Vero yang paksa saya," cicit Lamanda. Bibirnya masih terasa sakit saat ia berbicara.

"Saya juga kaget waktu dia tiba-tiba masuk ke ruang musik dan hampir melecehkan saya," jelas Lamanda.

Bu Ramti beranjak dari duduknya dan mendekati mikrofon di sudut ruangan.

Dan memanggil Vero.

Tidak ada percakapan setelahnya sampai suara decitan pintu mengalihkan ketiganya.

Vero.

"Apaan?" tanya Vero dengan malas.

"Duduk!" perintah Bu Ramti yang membuat Vero menarik kursi lipat di dekat pintu kemudian duduk di sebelah Lamanda. Tangannya mulai jahil memainkan rambut Lamanda dari belakang membuat Lamanda risih.

"Apa ini?" tanya Bu Ramti sambil meletakkan foto di hadapan Vero.

Vero mengangka sebelah alisnya. "Foto saya sama Lamanda lah," jawabnya enteng.

"Ro, kamu itu anak ketua yayasan harusnya kamu bersikap baik bukan malah melakukan hal senonoh seperti ini. Kam---"

"Lamanda yang mancing saya, yaudah saya jabanin," ucap Vero memotong perkataan Bu Ramti. "Makanya Lam, jangan main-main sama nafsu cowok. Gue 'kan hampir aja kelepasan waktu itu," Vero menyikut lengan Lamanda sambil menyeringai membuat Lamanda ingin menamparnya sekarang juga.

Bu Ramti melotot mendengar ucapan frontal Vero kemudian ia menoleh ke arah Lamanda, "Benar begitu Lamanda?"

Lamanda menggeleng, "Saya masih punya harga diri untuk melakukan hal seburuk itu. Saya aja nggak kenal Vero," jawab Lamanda tegas.

"Ibu lebih percaya sama anak baru apa sama Vero yang selama ini tidak pernah tercatat melakukan hal-hal seperti kali ini. Ibu 'kan tahu sendiri Vero seperti apa orangnya," bela Liora tersenyum penuh kemenangan.

"Nah bener kata Liora," timpal Vero.

Sekarang Lamanda tersudutkan.

Terdengar helaan napas dari Bu Ramti. Ia sudah frustasi menghadapi masalah yang terasa muter-muter nggak jelas ini. Tapi, perkataan Liora ada benarnya juga. Vero memang tidak pernah tercatat berbuat hal-hal menjijikkan seperti kali ini. Kenakalan Vero yang paling parah bahkan hanya telat masuk sekolah, tidak lebih.

"Lamanda, jujur sama saya, saya tidak akan marah," ucap Bu Ramti pada akhirnya.

"Saya sudah jujur, Bu. Vero yang paksa saya," rasanya Lamanda ingin menangis sekarang. Tapi ia tahan.

"Kalau terpaksa kenapa lo nikmatin sampai lo foto segala," Vero menunjukkan fotonya kemudian tersenyum meremehkan. Bu Ramti yang melihat itu langsung mengalihkan pandangannya dan menelisik fotonya.

Di foto itu memang tidak jelas tangan siapa yang mengambil gambar karena posisi Lamanda berbaring dan Vero yang menindihnya. Dan saat Vero mengatakan bahwa Lamanda yang mengambil gambarnya, terlihat jelas bahwa Bu Ramti mulai ragu padanya.

"Kalian rumit. Tunggu sebentar, saya masih pusing." Bu Ramti memijat pelipisnya.

"Saya akan buktikan kalau saya nggak salah," Lamanda beranjak dari kursinya dan keluar ruangan sebelum Bu Ramti menyuruhnya duduk kembali.

Tadi ia dapat melihat dengan jelas bahwa Bu Ramti sudah termakan perkataan Liora dan Vero meskipun guru tersebut tidak mengatakannya secara langsung. Tapi Lamanda dapat melihat dari raut wajahnya.

Ia harus membuat Bu Ramti percaya kepadanya karena ia tidak ingin bundanya dipanggil ke sekolah yang nantinya akan berakhir dengan paksaan homescholling yang selama ini ia hindari.

Sekarang hanya satu orang yang bisa membantunya.

Alta.

Koridor sepi saat Lamanda melewatinya karena sekarang memang masuk jam pelajaran. Ia berhenti di kelas paling ujung. XI IPA 4.

Lamanda beruntung karena kelas tersebut tidak ada guru yang mengajar.

"Permisi," ucapnya setelah mengetuk pintu yang terbuka terlebih dahulu.

Lamanda menarik napas menenangkan degup jantungnya karena sekarang ia menjadi pusat perhatian. Ia mengedarkan pandangannya sampai menemukan sosok Alta yang duduk di sebelah Satya.

Lamanda menghampirinya, tidak peduli jika sekarang semua siswi menatapnya dengan tatapan garang.

"Alta, ikut gue."

Alta diam di tempat, tidak menjawab ataupun berniat keluar. Ia sedang sibuk dengan catatan di hadapannya.

"Alta," panggil Lamanda.

"Gue lagi sibuk, Lam," jawab Alta.

Lamanda pesimis. Tapi entah dapat kekuatan dari mana ia menarik lengan Alta agar berdiri.

"Lamanda!!" Alta menyentak tangan Lamanda kasar.

Kelas hening.

"Mau lo apa sih? !!" bentaknya. Lagi.

"Ikut gue sebentar,  please," pinta Lamanda.

"Giliran butuh lo ke gue," cibir Alta.

Lamanda diam. Ia melihat Alta yang memandangnya dengan kesal. Seharusnya Lamanda tahu bahwa sampai sekarang hubungannya dengan Alta masih kurang baik.

Alta keluar kelas. Karena tidak ada pilihan lain, Lamanda membututinya dari belakang. "Alta!"

Lamanda mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Alta. "Lo boleh marah dan bilang gue nggak tahu diri. Tapi gue butuh lo sekarang."

Alta tidak mendengarkan juga tidak menjawab.

"Dengerin gue, Alta!!" bentak Lamanda refleks karena sedang kalut. Ia meringis menahan sakit di sudut bibirnya.

Alta menghentikan langkahnya diikuti Lamanda. Kemudian ia menghadap orang disampingnya.

Lamada menunduk. Ia takut Alta marah karena membentakknya tadi.

"Apa mau lo?" tanya Alta. Ketus.

"Ikut gue ke ruang BK," cicit Lamanda.

"Terus?"

"Jelasin ke Bu Ramti tentang kelakuan Vero kemarin."

"Apa untungnya buat gue?"

Lamanda menghela napas dan menatap Alta. Sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya ke fokus lain. "Lo boleh minta apapun."

"Apapun?"

Lamanda mengangguk tanpa pikir panjang. "Apapun."

"Oke."

Lamanda menarik kedua sudut bibirnya ketika Alta berjalan menuju ruang BK. Tidak ada pembicaraan setelahnya. Masing-masing memilih diam.

Saat sampai di depan ruang BK Lamanda masuk terlebih dahulu dan mendapati Bu Ramti yang sepertinya masih menunggunya-bersama Liora dan Vero.

"Kenapa bawa Alta kesini?" tanya Bu Ramti. Ia jadi semakin pusing apalagi melihat warna rambut Alta yang sudah ganti warna biru pekat dibagian ujungnya.

"Alta tahu apa yang sebenarnya terjadi karena dia yang nolong saya. Jadi, saya bawa dia kesini untuk menjelaskan semuanya," Lamanda melirik Alta. "Iya kan, Alta?"

Alta diam. Tidak menjawab. Ia memilih merapikan rambutnya dengan tangan. Sengaja memancing emosi Bu Ramti.

"Alta," panggil Lamanda.

"Apa?"

"Jelasin," pinta Lamanda.

"Jelasin apaan?"

"Masalah di ruang musik kemarin," jawab Lamanda.

"Apaan gue nggak tahu apa-apa."

Lamanda melongo. "Al, gue serius. Please, jelasin ke Bu Ramti waktu Vero hampir aja perkosa gue," seru Lamanda frontal karena sedikit emosi.

Alta tersenyum, sinis. "Ngaco lo."

Saat melihat Liora dan Vero menyeringai. Lamanda tahu akhir dari scene kali ini.

***

"Kenapa lo nggak jelasin yang sebenarnya ke Bu Ramti?"

"Karena gue nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, bisa aja emang lo duluan yang godain Vero," jawab Alta tanpa menghentikan langkahnya. Tangannya masih menyeret Lamanda di belakang.

Setelah Alta 'pura-pura' tidak tahu apa-apa, Bu Ramti memutuskan dan menyuruh Lamanda dan Liora untuk membawa orangtua masing-masing ke sekolah, tetap dengan keputusan awal. Kemudian mereka -Lamanda, Alta, Liora, dan Vero- dipersilahkan keluar setelah Bu Ramti menceramahi dan menyuruh Alta ganti warna rambut.

Sekarang Alta malah membawa Lamanda ke taman belakang sekolah. Mereka berdiri di bawah pohon flamboyan yang saat ini berbunga sedikit lebat.

"Lo sengaja bikin gue nggak dipercaya. Iya kan?" tuding Lamanda.

Alta tidak menjawab. Ia memasukkan tangannya di saku celana. Ia membiarkan Lamanda berpendapat sesukanya tapi setelah ini Lamanda harus mendengarkan dan mempercayainya.

"Lo pengecut tau nggak!" teriak Lamanda

Alta meraih tangan Lamanda yang menyentuh bibirnya. Ia menekan luka di bibir Lamanda membuat Lamanda menjerit dan mundur selangkah. "Itu karena lo berani bentak gue."

Lamanda semakin mundur ketika Alta mendekat ke arahnya. "Mau apa lo?"

Alta meraih pinggang Lamanda, ia mendekatkan wajahnya namun Lamanda mendorongnya.

"Lo nolak gue?" Alta menaikkan sebelah alisnya.

Lamanda diam dan memandang Alta dengan mata berkaca-kaca. Alta begitu menakutkan.

"Gue ada salah ke lo ya,  Al?" tanya Lamanda dengan suara pelan. "Gue nggak ngerti lo sebenernya mau apa.  Tapi,  kali ini lo keterlaluan. Lo ngaku sebagai Davino,  dan sekarang lo malah bikin Bu Ramti nggak percaya ke gue." Lamanda menangis. Ia mencengkram kemeja bawah Alta dan memberanikan diri memandang Alta di hadapannya.

"Nggak cukup bikin gue dibenci banyak orang di sekolah ya, Al? Lo mau bikin satu sekolah mandang gue cewek murahan, termasuk guru-guru?" tanya Lamanda.

"Lo nggak tahu seberapa stressnya gue dibully setiap hari,  dibilang jalang,  murahan, bahkan--"

"Bukannya lo emang murahan ya,  Lam?"

Pelan namun membuat jantung Lamanda berdetak cepat. Lamanda menatap tajam Alta yang saat ini menampakkan ekspresi tanpa dosa.

"Apa namanya kalau bukan murahan, udah punya pacar tapi masih jalan dan mau dicium cowok lain? Kayak lo waktu pacaran sama gue tapi masih sama Aksa misalnya?" tanya Alta enteng.

Lamanda melepaskan pegangannya pada kemeja Alta. Perkataan Alta tepat mengenai hatinya.

"Gue nggak pernah pacaran sama lo."

"Serius lo nggak pernah pacaran sama Davino?" Alta berdecih. "Berarti bener,  selama ini lo nggak pernah nganggep Davino."

"Lo bukan Davino,  Alta!!! Davino udah meninggal!!" teriak Lamanda. Ia terisak hebat.  Tanpa peduli balasan Alta. Ia berbalik dan berlari meninggalkan Alta yang masih tinggal di tempat.