webnovel

EGREK

Sesampainya di terminal Jambi mereka di jemput oleh Deni, adik dari Mbak Widiya sekaligus teman masa kecil Mas Rohman. "Tin-tinn.. " Suara klakson mobil Deni mendekati rombongan Mas Rohman.

"Siapa itu Mas?" Tanya Mas Rohman ke Mas Hari.

"Deni, adiknya Mbak Yu mu." Jawab Mas Hari.

Deni turun dari mobil dan menyapa Mas Rohman.

"Loh Man,?! Gimana kabarmu Man?" Tanya Deni sambil menjabat tangan Mas Rohman.

"Alhamdulillah baik Den, Lama gak ketemu kita Den..." Jawab Mas Rohman dengan senyum sumringah bertemu teman masa kecilnya.

"Ini anakmu Man?" Tanya Deni sambil mencubit manja pipi anak Mas Rohman.

"Iya baru satu, dan ini Istriku juga baru satu." Jawab Mas Rohman dengan berbisik agar tidak terdengar oleh Mbak Ni'ma.

"Ah bisa aja kamu Man.." Timpal Deni.

"Sudah temu kangennya nanti saja,! Ayo pulang dulu,!" Sahut Mbak Widiya dengan jengkel sambil membuka pintu mobil.

Mereka semua sejenak menghentikan percakapan dan lekas memasuki mobil. Sepanjang perjalanan menuju rumah Mas Hari dan Mbak Widiya, Mas Rohman dan Deni mengobrol panjang lebar mengenang masa lalu mereka. Setelah keluar dari kota, mereka menuju desa tempat tinggal Mas Hari dan Mbak Widiya, yang terlihat di kiri kanan jalan hanya kebun sawit dan karet, sedangkan kondisi jalan yang hancur membuat perjalanan terasa sangat lama. Jarak antar desa di sini sama halnya jarak antar kecamatan di Jawa Timur dan jarak antar kecamatan di sini sama halnya jarak antar kota atau antar kabupaten di Jawa Timur. Tak terasa empat jam perjalanan mereka lalui, hingga sampailah mereka di depan rumah Mas Hari dan Mbak Widiya. Teka-teki dalam benak Mas Rohman dan Mbak Ni'ma saat dalam perjalanan semakin kuat saat melihat kenyataan rumah Mas Hari, jauh dari yang di ceritakan saat di rumah Mas Rohman kala itu, rumahnya tak jauh beda dengan rumahnya orang tua Mbak Ni'ma bahkan lebih baik dari rumah orang tua Mas Rohman dan Mbak Ni'ma.

"Wes Bu' siapkan mental dan jiwa ragamu bakal ketemu lakon apa nanti." Bisik Mas Rohman ke Mbak Ni'ma.

"Iya Yah," Jawab Mbak Ni'ma.

Saat sampai di rumah Mas Hari waktu sudah mulai siang. Deni yang tidak tinggal serumah dengan Mbak Widiya dan Mas Hari hanya mengantar mereka sampai depan pintu masuk dan lantas pulang ke rumahnya sendiri.

Sesampainya di dalam rumah, Mas Rohman beserta anak dan Istrinya di suruh menempati kamar paling belakang dekat dengan dapur. Setelah membersihkan tubuh dan menata barang bawaan di dalam kamar, tiba-tiba Mbak Widiya menghampiri kamar Mas Rohman.

"Dek Ni'ma..!" Panggil Mbak Widiya dari balik pintu kamar.

"Iya Mbak sebentar.." Sahut Mbak Ni'ma sambil membuka pintu kamar.

"Kamu bisa masak to?" Tanya Mbak Widiya ke Mbak Ni'ma.

"Bisa Mbak." Jawab Mbak Ni'ma

"Itu di lemari kulkas ada sayuran sama telur, bumbu-bumbunya ada di dapur terus itu berasnya di samping kulkas. Alat menanak nasinya di sana." Ucap Mbak Widiya sambil menunjuk ke arah dapur.

"Terus Mbak?" Tanya Mbak Ni'ma tidak mengerti maksud Mbak Widiya.

"Masak.o kamu itu,, suamimu lho tadi ngeluh ke Mas Hari, katanya mana cukup nasi sebungkus,?! Yo memang gak cukup wong uang nya ngepres, itupun masih untung kalian berdua bisa dapat nasi sebungkus..!" Perintah Mbak Widiya dengan nada judes ke Mbak Ni'ma.

"Iya Mbak tak masak." Jawab Mbak Ni'ma sambil menutup pintu kamar.

Dengan badan yang masih lelah karena perjalanan jauh, Mbak Ni'ma memaksakan diri menuju dapur untuk memasak. Mas Rohman yang mendengar percakapan itu dari dalam kamar, lantas menyusul istrinya guna membantunya, sedangkan anak mereka sudah tertidur lelap karena kelelahan dalam perjalanan. Mereka berdua tak mementingkan perut mereka sendiri melainkan mereka memasak untuk satu rumah.

" Bu', jangan di ambil hati sikap Mbak Widiya tadi," Nasehat Mas Rohman ke istrinya.

"Inggih, yah. " Jawab Mbak Ni'ma.

Akhirnya mereka berdua bisa makan dengan kenyang dan lantas beristirahat. Malam harinya saat mereka berbincang-bincang di ruang tamu. Mas Hari dan Mbak Widiya bergantian mendoktrin Mas Rohman dan istrinya bahwa di lingkungan sini rata-rata adalah orang jahat, hukum rimba yang mereka pakai. Mas Rohman pun dilarang untuk silaturahmi ke tetangga atau berbicara dengan orang lain, yang Mas Hari dan Mbak Widiya katakan jangan percaya dengan siapa pun kecuali mereka berdua.

Selama tiga hari Mas Rohman hanya berdiam diri di rumah, sebab ketika ia ingin keluar rumah untuk melihat keadaan lingkungan sekitar, Mas Hari maupun Mbak Widiya melarangnya. Empat hari berlalu sejak kedatangan mereka Mas Hari mulai mengajak Mas Rohman untuk bekerja di kebun sawit miliknya. Pagi hari setelah mempersiapkan bekal dan peralatan, berangkatlah keduanya. Sedangkan Mbak Ni'ma sendiri di perlakukan layaknya pembantu rumah tangga oleh Mbak Widiya.

Kebun sawit Mas Hari tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sesampainya di kebun, Mas Hari menunjukan ke Mas Rohman apa yang harus di kerjakan nya.

"Yang namanya pohon sawit tu ya ini Dek, di Jawa gak ada to kebun sawit kayak gini,?" Tanya Mas Hari ke Mas Rohman.

"Tahulah aku Mas kalau ini pohon sawit, lihat di tv-tv itu sering muncul, tapi kalau kebun sawit di Jawa setahuku gak ada." Jawab Mas Rohman.

"Ya sudah sini aku kasih tahu kerjaanmu, ini nama alatnya egrek, bentuknya ya kayak gini, batangan besi viber panjang ujungnya ada pisau berbentuk sabit dan ini sangat tajam. Kamu hati-hati kalau kena pisaunya ini bisa gak jadi kerja nanti. Tugasmu turunkan itu pelepah daun sawit, yang dari bawah buah kamu sisakan satu pelepah saja." Sahut Mas Hari sambil memasang pisau egrek ke batang viber.

"Siap Mas, tapi tolong di contohkan caranya." Jawab Mas Rohman.

Setelah alat siap maka Mas Hari memberi contoh cukup dua kali praktek.

"Wes yo Dek, karena Mas banyak urusan tak tinggal dulu." Kata Mas Hari sambil memberikan alat dan langsung meninggalkan Mas Rohman.

Karena baru pertama kali Mas Rohman menggunakan egrek, hal itu membuatnya kebingungan bagaiman cara yang efektif menggunakannya, dengan susah payah Mas Rohman mencoba mempraktekan seperti yang di contohkan Mas Hari tadi. Berulang kali Mas Rohman mencobanya namun satu batang pelepah daun sawitpun tak kunjung teriris dan jatuh ke tanah.

"Mas Hari tadi kayaknya enak banget mraktekinnya, ternyata kok susah bener." Gumam Mas Rohman dalam hati.

Telapak tangan Mas Rohman mulai terluka karena bergesekan dengan batang viber, namun ia tetap berusaha terus mencobanya. Waktu terus berjalan, terik matahari mulai menunjukan kehebatan panasnya, maklum daerah Jambi dekat dengan garis katulistiwa. Seharian Mas Rohman hanya dapat tiga batang sawit, di rasa waktu sudah mulai petang Mas Rohman-pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di depan rumah senyum manis Mbak Ni'ma dan rengekan manja anak Mas Rohman membuat hati jengkel dan lelah saat berada di kebun hilang seketika.

"Pripun Yah, bisa to kerja di sawit?," Tanya Mbak Ni'ma ke Mas Rohman sambil menyerahkan anak yang dari tadi merengek mencari ayahnya.

"Mungkin belum terbiasa Bu'." Jawab Mas Rohman ke istrinya.

"Iya, wong biasanya megang pulpen ini langsung megang besi, hehehe..." Canda Mbak Ni'ma

"iya," Jawab Mas Rohman membalas senyuman Mbak Ni'ma.

Seminggu telah berlalu telapak tangan Mas Rohman terluka semakin parah, sebenarnya Mas Rohman menutupi hal itu dari Mbak Ni'ma, agar Istrinya itu tak terlalu mengkhawatirkannya. Akan tetapi Mbak Ni'ma merasa ada kejanggalan pada Mas Rohman. Saat di ajak makan bareng oleh Mbak Ni'ma, Mas Rohman selalu menghindar. Ketika itu ada rasa jengkel dan bingung pada Mbak Ni'ma, tidak biasanya Mas Rohman menolak saat di ajak makan bareng. Karena sudah berulang kali Mas Rohman menolak, dengan sepontan tangan Mas Rohman di tarik paksa oleh Mbak Ni'ma dan betapa kagetnya Mbak Ni'ma baru mengetahui bahwa telapak tangan Mas Rohman terkelupas, bahkan untuk memegang sendok makanpun ia tak sanggup karena perih dan kaku yang Mas Rohman rasakan. Air mata Mbak Ni'ma tak terbendung lagi menetes membasahi pipi.

"Ya Allah Yah… Tangan jenengan kok kayak gini,,?!" Kata Mbak Ni'ma, sambil memegangi tangan Mas Rohman, di iringi isak tangis.

"Aku tak ingin melihat air matamu menetes, dan juga sebagai Suami sangatlah tidak patut jika harus memberikan kesedihan pada Istrinya." Jawab Mas Rohman.

"Kamu tu yah, lha terus Jenenengan kalau makan gimana beberapa hari ini,?!" Tanya Mbak Ni'ma karena sudah beberapa hari tidak melihat Mas Rohman makan bareng dengannya.

"Ya gitu, makan sambil nahan sakit." Jawab Mas Rohman.

Isakan tangis berlinang air mata masih membahasi pipi Mbak Ni'ma, sesegera mungkin ia mengambil sepiring nasi dan lantas menyuapi Suaminya. Sebagai seorang Istri, Mbak Ni'ma sangatlah berbakti dan sayang pada Mas Rohman, karena kisah kasih masa lalu mereka hingga bisa bersama menjadi pasangan suami istri penuh dengan perjuangan.