Apabila kemuliaan dan kemegahan yang sebenarnya ialah yang bersendikan atas ketentuan-ketentuan keagamaan dan pandangan kemanusiaan yang sempurna, di mana unsur-unsur inilah yang membawa kepada kebahagiaan dunia akhirat, maka adalah kebalikannya pula dengan kemuliaan dan kemegahan yang sifatnya tidak kekal, tetapi adalah sementara saja.
Untuk mengetahui apakah ada pada kita gambaran-gambaran kemuliaan dan kemegahan yang kekal abadi itu? Imam Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkan tanda-tandanya dalam Kalam Hikmahnya yang ke-87 sebagai berikut:
"Kecepatan yang hakiki bahwa anda lipat jarak perjalanan dunia dari anda, sehingga anda lihat akhirat lebih dekat kepada anda dari diri anda sendiri."
Kalam Hikmah ini mengandung pengertian-pengertian sebagai berikut:
I. Apabila cahaya keyakinan telah bersinar dalam hati kita, maka jarak perjalanan dalam hidup di dunia yang fana ini, perjalanan yang bersifat dunia yang mengandung banyak liku-likunya, simpang-simpangnya dan naik turunnya akan dapat kita perpendek perjalanan tersebut itu. Cahaya keyakinan yang telah cemerlang sedemikian rupa dalam hati kita membuat kita untuk tidak tenggelam masyghul dengan kelezatan 'aunia dan syahwatnya. Meskipun mata kita melihat gemerlapan dunia aneka warna, tetapi hati kita tidak tunduk pada rayuan dan godaan dunia tersebut. Meskipun dunia itu dipakainya dalam hidupnya, tetapi hatinya tidak terpengaruh kepada keindahannya.
Meskipun dalam hidup dan kehidupan dia tidak berpisah dengan dunia, bahkan pekerjaannya malah mencari dunia, tapi ketahuilah bahwa hal keadaan itu sekedar usaha lahiriahnya saja, sedangkan hatinya memimpin dunianya itu karena yang benar dan ke jalan yang lurus dengan niat yang benar untuk keselamatan dirinya dunia akhirat.
Pada ketika itu hilanglah pengaruh dunia itu dari hatinya, dan timbullah tonggak baru terhunjam dalam hatinya di mana merupakan mercu suar yang menerangi jalan-jalannya ke akhirat.
Pada ketika itulah tidak luput dari pandangan hatinya keindahan jalan-jalan akhirat. Pada ketika itu pula mulailah hatinya selalu melihat bagaimana keindahan hidup di negeri akhirat, hidup hakiki dan abadi. Dia melihat akhirat lebih hampir kepadanya, sebab dia merasakan, dan dia mengetahui dengan bukti-bukti nyata bahwa alam mayapada ini, bagaimanapun sifatnya dan bagaimanapun gambarannya adalah tidak kekal, tetapi selalu berubah.
Asalnya dari tiada, dan akan kembali kepada tiada pula.
II. Perhatian kepada akhirat sangat dekat dalam perasaannya. Dan untuk itulah hamba-hamba Allah yang saleh berlomba-lomba beramal dan beribadat, kapan saja dan di mana saja. Mereka itu berkejar-kejaran dengan waktu. Mereka bertekad untuk tidak dikalahkan oleh waktu, tetapi merekalah yang menguasai waktu. Mereka tidak bermaksud mendapatkan keramat seperti keramat pendek bumi, dan kecil bumi dalam langkah-langkah perjalanan mereka. Atau dengan kata lain terlipat bumi bagi mereka, yakni ke mana saja mereka pergi meskipun perjalanan mereka itu jauh, mereka sampai di mana-mana jauh sebelum orang lain sampai ke tempat itu. Wali-wali Allah yang diberikan keramat yang demikian oleh Allah s.w.t. disebut dalam istilah tasawuf dengan "Ahlul Khuthwah", yakni orang-orang yang cepat langkah dan jalannya disebabkan berkah dan kemuliaan yang diberikan Allah s.w.t. Demikian juga mereka tidak menghendaki keramat pada cepat malam dan siang, yakni mereka merasakan sangat sebentar perputaran malam dan siang, karena itu mereka tidak absen dari mengisi malam dengan sembahyang dan lain-lain, dan mengisi siang dengan ibadah puasa dan lain-lain.
Kecepatan dalam perjalanan seolah-olah terlipat bumi bagi mereka. Dan kecepatan bagi peredaran malam dan siang membawa asyik mereka dalam beribadah. Kemuliaan-kemuliaan yang begini tidak mereka harapkan, sebab mereka takut kalau-kalau kemuliaan-kemuliaan yang demikian itu boleh menghancurkan atau mengurangkan keikhlasan mereka dalam beramal, juga boleh menimbulkan riya', yakni show pada orang lain atau boleh juga menimbulkan 'ujub.
Artinya seolah-olah kita sudah beribadat sedemikian rupa, tapi pada hakikatnya ibadat itu belum berarti apa-apa. Dan jika demikian, tentu saja hasilnya adalah rugi. Rugi di dunia karena kita telah letih beramal sedemikian rupa. Dan rugi di akhirat karena kita tidak mendapatkan ganjaran pahala seperti yang diharapkan. ltulah rugi yang serugi-ruginya.
Inilah yang dimaksudkan oleh Syeikh Abul Abbas Al-Mirsy r.a. dengan perkataannya: "Tidaklah penting (bukanlah merupakan kemuliaan yang sebenarnya) bagi orang-orang yang bumi ini dilipatkan baginya, tiba-tiba dia berada di Makkah atau di negeri mana saja yang ia kehendaki. Hanya saja yang penting ialah orang-orang yang dapat melipat sifat-sifat nafsunya, karena pada ketika itu ia tetap berada dekat dengan Tuhannya."
Jadi menghilanglah nafsu-nafsu yang tidak baik adalah sangat penting sekali, jika kita bermaksud cepat selalu berada dekat Allah s.w.t. Meskipun ia tidak diberikan olehNya keramat apa pun saja yang bersifat duniawi semata-mata.
Dan itulah pula yang dimaksud dengan ucapan sebahagian guru-guru besar tasawuf, yaitu: "Jangan Tuan-tuan merasa aneh dan kagum pada orang yang tidak meletakkan di kantong bajunya sesuatu, lantas ia dapat mengeluarkan sesuatu yang ia kehendaki. Tetapi kagumlah pada orang yang meletakkan sesuatu, kemudian dimasukkan tangannya ke dalam kantong bajunya itu, lantas dia tidak mendapatkan apa-apa sedangkan dia sama sekali tidak berubah pendiriannya (bahkan lebih kuat dari biasa)."
Ini adalah kiasan bagi perbedaan antara dua macam manusia, yang satu sakunya kosong, tetapi tiba-tiba ia mendapatkan keinginannya dalam sakunya itu. Yang begini tidak perlu dikagumi. Adapun manusia yang lain, yang patut dikagumi ialah orang yang melihat ada sesuatu dan menjamahnya dengan pancainderanya sesuatu itu, tetapi pada waktu ia raba kemudiannya, rupanya sesuatu itu tidak ada lagi tetapi hilang dan lenyap. Sungguhpun demikian pendiriannya tidak berubah, imannya bertambah kuat dan ibadatnya bertambah-tambah.
III. Apabila seseorang telah menghayati dengan perasaannya, keyakinannya dan keimanannya, bahwa akhirat itu adalah lebih dekat kepadanya, dan itulah yang selalu terbayang dalam ruang matanya; orang yang demikian itu seolah-olah mustahil pada akal, cinta pada dunia yang fana ini, dan ingin menukar dunia ini dengan mengambilnya, sedangkan ia meninggalkan akhirat. Jadi apabila ia cinta pada dunia hatinya terpengaruh pada kemilaunya dunia, menunjukkanlah bahwa hatinya sudah gelap-gulita, tidak ada lagi dalam hatinya pelita keyakinan yang menimbulkan sinar dan cahaya. Dia beriman, tetapi imannya keruh dan berdebu, sehingga tidak ada cahaya padanya. Dia yakin dalam hati, tetapi sekedar ilmu dan tidak merupakan keyakinan yang mantap dan berurat, maka keyakinan yang tipis ini adalah laksana kulit bawang. Keyakinan dan keimanan yang begini tidak ada artinya untuk mencapai tujuan yang bernilai tinggi dan mulia. Sebab keimanan dan keyakinan yang demikian harus diuji kekuatannya sampai di mana iman dan keyakinan itu berada dalam hatinya. Apakah ia bertentangan dengan hawa nafsunya, ataukah ia sejalan dan bergandengan tangan dengan hawa nafsunya.
Jika tidak sejalan, barulah orang itu termasuk dalam peribadi yang mulia dan jiwa yang tenang tenteram. lnilah kemuliaan yang besar, lebih besar dari keramat dapat berjalan di atas air, dan dapat terbang di udara.
Berkata seorang kepada alim besar tasawuf bernama Abu Muhammad Al-Murta'isy (wafat di Baghdad: tahun 328 H): "Si fulan boleh berjalan di atas air."
Beliau menjawab: "Orang yang dapat menguasai dirinya dan menentang hawa nafsunya adalah lebih agung dari orang yang sanggup berjalan atas air, dan sanggup terbang di udara."
Kesimpulan:
Wali-wali Allah dan hamba-hamba Allah yang saleh, mereka tidak menginginkan keramat yang bagaimanapun sifatnya, meskipun keramat itu kelihatan dalam bentuk ibadah dan amal kebajikan, seperti puasa setiap hari, tidak makan dan tidak minum, mengabdi kepada Allah. Demikianlah dalam siangnya dan malamnya. Mereka takut ini kalau-kalau boleh menimbulkan pengaruh dalam hati mereka, sehingga hati mereka disentuh riya' dan disenggol 'ujub.
Jadilah pengarahan ibadat yang sebenarnya kepada Allah sematamata sudah tidak murni lagi. Itulah sebabnya mereka melihat dunia ini adanya sama seperti tidak ada, bahkan memang tidak ada pada hakikatnya, sehingga hilanglah pengaruh dunia itu dalam hati mereka. Dan yang demikian itu membawa mereka melihat akhirat lebih dekat. Meskipun mereka masih hidup dalam dunia ini, berjalan atau belayar dalam alunan gelombang-gelombangnya dengan angin yang keras bertiup kencang dari kanan-kiri, mereka tidak kehilangan akal, sebab mereka melihat bahwa mereka sedang berada dalam kapal besar yang sedang berjalan dengan cepat, kapal ekspres yang tidak berhenti di jalan, selain cepat dalam perjalanannya menuju pulau tujuan. Itulah akhirat kekal-baqa, dengan segala keindahan dan kebahagiaan yang tidak akan hilang dan lenyap, tetapi kekal, dan abadi.
Senantiasa Ke situlah tujuan mereka dan itulah yang tergambar terus dalam ruangan mata mereka.
Suara merdunya yang selalu menyeru terus terngiang-ngiang di telinga mereka, di samping keindahan yang tak ada bandingannya, terus saja datang dalam impian mereka. Mereka tenggelam dalam perasaan dan pandangan batin mereka. Jasmani dan rohaniah mereka, lahiriah dan batiniah mereka bersatu dalam satu kesatuan berhadapan dengan wujud hakiki dalam arti yang luas dan mendalam.
Mudah-mudahan Allah memberikan kepada kita penglihatan dan perasaan dari keimanan dan keyakinan kepada keindahan wajah hakiki dari akhirat dalam serba keindahan dan kebahagiaannya.
Amin, ya Rabbal-'alamin .....