webnovel

BAB 2

Jam sudah menunjukan pukul enam sore kini aku telah berada dirumah, tempat kerjaku dan rumah hanya berjarak beberapa ratus meter.

Sehabis mandi aku tertidur, entah jam berapa aku terbangun karena bunyi dari ponsel jadulku.

Kriring kriring....

Nomer tidak dikenal menelponku.

"Hallo."

"Hallo, nih aku yang tadi minta nomer kamu pas diwarung makan."

"Oh, iya mbak."

"Siapa nama kamu aku lupa tadi nanya."

"Namaku Sariatun mbak."

"Oh, ya Sariatun. Namaku Lia panggil aja mbak Lia."

"Iya mbak Lia."

"Gimana soal pekerjaan yang ku tawarkan kamu mau nggak?"

"Pekerjaannya apa mbak, aku aja nggak tau mbak menawarkan pekerjaan apa." Jawabku.

"Aku mau nanya dulu nggak papakan?"

"Iya mbak, nggak papa, mau nanya apa?"

"Kamu masih perawan nggak?"

"Hah,,,maksudnya kenapa mbak nanya masih perawan apa nggak?"

"Ada yang nyari gadis masih perawan dan mau membayar lima juta untuk sekali melayani."

Didalam hati ingin menolak tapi mendengar nominal uang yang belum pernah ku lihat membuat aku ragu.

Lima juta bukan nominal yang sedikit, bahkan gajiku sebulan hanya lima ratus ribu belum lagi membantu bayar uang sewa rumah. Nasip ibuku menikah lagi dengan laki-laki miskin yang tidak menentu kerjaannya.

"Aku pikir-pikir dulu ya mbak."

"Oke,,,jangan lama-lama ya."

Telpon pun terputus. Pikiranku dilema ingin ku tolak sayang sekali diterima takut dosa.

Hampir semalaman aku berpikir dan tidak bisa tidur.

Hari ini aku terlambat masuk kerja, jam setengah tujuh aku harus sudah ada di tempat kerja. Gara-gara begadang jadi telat bangun.

"Kenapa terlambat, tuh cucian menumpuk." Kata bos ku.

Bosku sejak dini hari telah memasak jadi saat pagi makanan sudah siap tertata di etalase. Tinggal peralatan habis memasak aku yang mencuci.

Disini ada dua pegawai aku dan Dina. Dina bertugas melayani pembeli, karena warung buka dari pagi jadi banyak yang sarapan disini.

Cucian yang menumpuk lekas kucuci. Kadang saking banyaknya peralaan makan yang kucuci membuat tanganku iritasi. Belum lagi kaki yang jamuran akibat salu basah karena kena genangan air di tempat cucian.

Lelah aku capek seharian bekerja, ku rebahkan diri di kasur tipis rumahku.

Saat memeriksa ponselku Ternyata ada pesan dari mbak Lia.

(Hei, bagaimana tawaranku mau nggak, lumayan loh.?) Isi pesannya.

(Aku takut mbak) balasku.

Tak berapa lama ponsel ku berbunyi panggilan dari mbak Lia.

"Hallo." Kataku.

"Hei takut apa? Nggak ada yang perlu ditakutin. Nanti bakal ketagihan loh uangnya juga nggak sedikit belum lagi kalau banyak yang mencari kamu, nanti ku carikan pelanggan."

"Gimana ya mbak."

"Hei Sari coba pikir dari pada nanti tuh keperawanan kamu di ambil pacar kamu misalnya dengan gratis lebih baik kamu jual biar nggak rugi."

Ada benernya juga sih teringat dulu punya pacar hampir kebablasan untung belum sempat terjadi.

"Berapa memang mbak bayarannya?"

"Lima juta kalau masih perawan, kalau nggak ya lima ratus ribu."

"Aku masih perawan mbak."

"Nah bagus, lebih mahal gimana kamu mau."

"Emm kapan mbak."

"Nanti aku kabarin orangnya dulu, kamu siapkan kalo ku jemput nanti."

"Iya asal pas aku sudah off kerja."

"Okeh.."

Telpon terputus, ada rasa sesal saat mengiyakan tapi sudah terlanjur.

Keesokannya saat masih bekerja aku ditelpon oleh mbak Lia.

"Sari nanti pas kamu sudah pulang kerja aku jemput ya."

"Mau kemana kak?"

"Mau kerja yang semalam kita omongin itu loh."

"Kok cepat banget mbak."

"Orangnya pas aku kabarin ada barang baru langsung mau, jadi dia ngajak ketemu malam ini."

"Astaga mbak aku belum siap."

"Jangan dilewatin loh kesempatan ini, nanti juga kamu lakuin juga."

"Yah nanti ku jemput jam lima."

"Tapi aku pulang dulu mbak nanti ibuku khawatir."

"Oke,"

Pukul lima sore saat mau pulang ternyata mbak Lia sudah menunggu di depan warung.

"Sudah lama mbak?"

"Belum, pas aku baru nyampe kamu keluar."

"Oh,,aku pulang kerumah dulu mbak langsung mandi."

"Iya." Jawab mbak Lia singkat.

Mbak Lia mengantar aku sampai kerumah, setelah mandi dan berpakaian aku pamit dengan ibuku.

Ku lihat ibuku ngobrol dengan mbak Lia.

"Mak, aku mau jalan kerumah temen dulu, ya." Sambil mencium tangan ibuku.

"Iya. Jangan kemaleman pulangnya."

"Iya mak."

"Kita kerumahku dulu." Lata mbak Lia.

"Iya." Jawabku singkat.

Sesampai dirumah mbak Lia, aku disuruh mengganti bajuku dengan baju milik bella.

Bella juga mendandaniku dengan make upnya. Aku terlihat sangat berbeda dengan pakaian dres selutut tanpa lengan dan make up tipis. Kaki putih mulusku yang sering tertutup celana panjang kini terlihat nampak.

"Wow cantik." Puji mbak Lia.

Aku tersipu mendengar pujian dari mbak Lia.

"Kita duduk dulu santai sambil menunggu kabar bang Burhan, katanya jam delapan baru cek in." Kata mbak Lia.

"Nih kenalin dulu, ini namanya Bella, yang ini Wanda." Kata mbak Lia memperkenalkan Bella dan Wanda.

"Dan itu anak dan suami mbak." Sambungnya lagi sambil menujuk pria dan anak kecil yang duduk di depan televisi.

"Ngobrol dulu disini ya biar lebih akrab, mbak mau kedapur dulu." Kata mbak Lia seraya bangkit.

"Hei gugup nggak." Tanya Bella.

"Gugup kenapa?" Tanyaku.

"Katanya kamu masih perawankan?"

"Iya."

"Kalau pertama kali itu sakit loh." Katanya sambik tertawa.

"Hei kak Jangan nakutin gitu nanti malah takut dia." Sahut Wanda.

"Emang sakit banget yah?"

"Enggak, sakit sedikit aja kok kayak digigit semut, hehe." Ujar Bella.

"Hmm." Balasku

"Kamu umur berapa?" Tanya Wanda.

"Tujuh belas tahun, kalau kalian?"

"Aku juga tujuh belas tahun." Ujar Bella.

"Kalau aku lima belas kak, hehe." Jawab Wanda.

Asik ngobrol mbak Lia tiba-tiba menyela.

"Sari, yuk kita berangkat orangnya sudah cek in."

"Iya, mbak." Seketika badan ku gemetar.

"Jangan takut nanti pasti keenakan, hahaha." Kata Bella

"Tuh lo Bell, yang suka keenakan." Sahut mbak Bella.

Mereka tertawa mendengar omongan mbak Lia. Hanya aku yang tidak paham disini.

Sesampai di halaman hotel.

"Sari nanti kalau om Burhan nanya nama bilang aja nama kamu Sisil, soalnya tadi aku bilang nama kamu Sisil." Jelas mbak Lia.

"Emang kenapa, mbak?"

"Yah buat nama samaran aja, Bella sama Wanda juga bukan pakai nama asli."

"Oke mba."

Mba Lia mengetuk pintu kamar hotel, dan keluar lah pria paruh baya.

"Masuk." Ujar pria yang bernama Burhan.

Aku sangat gugup melihatnya walau badannya terlihat putih dan bersih.

"Cantik juga." Ujar om Burhan sambil melihatku dari atas sampai bawah.

"Ya iyalah, aku mencari yang terbaik."

"Ya sudah pulang sana, uangnya nanti aja pas tau dia beneran masih gadis atau nggak." Ujar nya.

"Ya sudah, aku pergi dulu ya Sil."

"Iya."

"Nih gimana mau pergi tanganku masih kamu pegangin." Ucap mbak Lia.

"Aku takut." Lirihku kepada mbak Lia.

"Nggak papa, nanti juga keenakan." Bisik mbak Lia.

Setelah kepergian mbak Lia aku hanya berdiri sambil menunduk.

"Sini duduk disini." Kata pria didepanku sambil menepuk pinggiran kasur.

Aku duduk sambil gemetar.

"Nama kamu Sisil kan?"

"Iya, om." Jawabku sambil menunduk.

"Jangan panggil om panggil abang aja biar kedengeran mesra." Ujarnya.

"Iya om, eh bang." Sahutku gugup.

Om Burhan menyentuh tanganku yang berkeringat dan menciumnya.