webnovel

AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN

Rakha kedatangan gadis yang begitu familiar di kantor tempatnya bekerja. Bukan mantan atau sejenisnya, melainkan dia hanyalah adik dari sahabatnya sendiri, Edwin. Gadis itu cuek, pemarah dan cenderung benci bersosialisasi. Dia bahkan pura-pura tidak mengenal Rakha, ketika diajak berbicara untuk pertama kali. Hanna memiliki kekasih yang berhasil merantai geraknya sejak dia kuliah. Bersama Tristan itu sakit, tapi tidak bersama Tristan jauh lebih sakit, lantaran pria itu memegang banyak rekam jejak hubungan intim mereka. Dia diperlakukan buruk, tapi bodohnya, Hanna tetap mencintai sang kekasih. Sampai pada suatu ketika Hanna kewalahan menghadapi Tristan, dia dibuat terluka parah secara tidak sengaja akibat obsesi pria itu. Lalu Rakha yang menemukan Hanna berantakan, berinisiatif untuk menawarkan bantuan. "Gua bakal bantu lo lepas dari cowok bejat itu, dengan satu syarat. Gimana?" "Boleh, setuju." Meskipun ragu, tapi tidak ada salahnya bagi Hanna untuk mencoba. Sekalipun syarat yang diajukan Rakha tidak ada bedanya, sama gilanya dengan mengajak 'berteman' dalam tanda petik termasuk di atas ranjang. "Hanya sebatas teman, tidak boleh ada cinta bukan?" Rakha yang si anti komitmen, langsung mengangguk. Sedangkan Hanna merasakan kesepakatan ini pelan-pelan merobohkan pertahanan dirinya. Seperti kebodohan yang terulang, Hanna malah mencintai bajingan lain, dan itu Rakha orangnya. Teruskan membaca pergerakan mereka, untuk mengetahui kelanjutannya. Eksklusif! Hanya di AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN.

GUMMYP · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Screaming

"Hanna sayang, sarapan lo udah siap, anjir. Cepetan turun!" teriak Edwin dari lantai satu. Dia baru selesai membuat dua porsi nasi goreng lengkap dengan telur setengah matang, kesukaan adiknya tersebut. Tidak kunjung ada jawaban, Edwin memutuskan untuk naik ke lantai dua. "HANNA!"

"Lo itu lagi tidur apa simulasi mati? Kenapa gak nyaut sama sekali!" geram sendiri, Edwin akhirnya menatap pintu kamar Hanna dengan sejumput rasa kesal yang kian menjulang. Haruskah ada adegan mendobrak pintu season kedua di pagi ini? Edwin bermonolog.

Dia memutar kenop pintu yang dalam bayangannya, pasti selalu dikunci rapat oleh Hanna dari dalam sana. Akan tetapi ekspektasinya buyar, manakala pintu ini justru terbuka dengan mudah. Edwin menutupnya lagi, karena tadi lupa mengetuk pintu. Tok, tok, tok!

"Elsa?" Edwin menjeda guna mempersiapkan suara emasnya. Sudah lama ia tidak bernyanyi, "Do you wanna build a snowman?"

Sebagai penggemar serial Frozen, mereka hapal betul dengan dialog itu. Hanna biasannya turut merespon ketika Edwin memancing begini, tapi untuk satu sampai dua detik kemudian hanya ada angin yang meniupkan gorden di jendela yang menyahut.

Pikiran Edwin mulai keruh, dalam artian firasatnya menjadi buruk secara tidak dikehendaki. Ia melanggar daerah teritorial adiknya dengan menerobos pintu dan menghampiri ranjang yang ada. Tampaknya adiknya masih tidur. Edwin menyibak selimut yang masih tergulung acak di sana. "Bangun, ayo sarapan dulu!"

Lah, kok cuma guling? Edwin bergerak meneliti kamar mandi, lantainya masih kering pertanda belum dipakai. Dia merogoh kanton celana pendeknya guna menelepon adiknya yang satu itu. Satu kali nada sambungnya berbunyi, langsung terdengar benda yang bergetar di atas meja rias.

"Astaga, kenapa dia pake acara gak bawa hape segala sih?"

Ini masih pukul tujuh lewat beberapa menit, Hanna jelas bukan pribadi yang senang bangun pagi hanya untuk jalan-jalan santai di sekitar perumahan maupun berolahraga. Adiknya memang semalas itu dalam membentuk ototnya agar lebih padat.

Alasannya karena Hanna berperawakan mungil, ia memakai alasan bahwa dirinya tidak perlu diet maupun olahraga karena tubuhnya tidak akan pernah overwheight. Padahal, olahraga itu penting, makan makanan bergizi juga sama penting untuk tujuan kesehatan tubuh tentunya.

"Ma, kapan pulang?"

Edwin menelepon Elisa sembari menuruni anak tangga dengan gusar. Mungkin, jika Hanna dulunya tidak punya latar belakang pernah hilang mendadak atau bisa dikatakanlah semi penculikan, Edwin tidak akan sekhawatir ini. Elisa menjawab, "Sore barangkali. Apa di rumah ada masalah, Win?"

"N-nggak, kok Ma."

"Udah pada sarapan belum? Kalau malas masak, mama udah siapin masakan di kulkas. Kamu tinggal panasin ada di microwave..."

"Siap yang mulia!" Edwin patuh.

Elisa tersenyum di sana. "Rumah tumben sepi. Mama mau ngomong dong sama, Hanna. Switch ke video call ya, Win?"

"Lagi ada apa emang?"

"Masalah perempuan, Win. Lelaki tidak usah tahu." Mama tertawa renyah, sementara mata Edwin mulai membesar dengan sendirinya. Bingung harus bilang apa, lagipula kalau disebut Hanna hilang ini belum 24 jam. Semalam mereka pulang bareng ke rumah, kok. Sumpah. "Edwin?"

"Yes ma'am."

"Sudah dikasih belum ke Hanna? Mama telepon dia gak diangkat-angkat..."

"Dia lagi mandi, ma."

"Oh, gitu ya. Mama tutup dulu telponnya, Win. Banyak tamu yang dateng," bisik Elisa kemudian.

Untuk perihal pergi ke rumah saudara yang itu, memang Elisa dan Johnny sedang berada di Bandung. Adiknya papi ada yang menikah, kebetulan Elisa dipercayai jadi salah satu pengurus karena latar belakangnya dia yang dari jurusan tata boga. Edwin pening.

***

"Abangmu telpon," Rakha melaporkan pada Hanna yang asik menonton di ruang tengah, sedangkan Rakha ada di halaman belakang tengah menyiram tanaman kesayangannya. Entah kenapa bentuknya jadi lebih kurus, sejak terakhir kali dia melihat dia. Daunnya kering. "Hanna, ih!"

"Jangan bilang gue di sini..."

"Why? Kenapa gua harus nurutin apa kata lu?" Rakha tidak siap untuk hal semacam ini. Jika disuruh memilih, antara berbohong atau dibohongi jelas Rakha tidak suka dua-duanya. Untuk itulah dia menolak. "Lu harusnya minimal jelasin satu hal ke gue!"

"Apa lagi?" Hanna tidak berminat berdebat.

Tidak cukupkah Rakha menyiapkan makanan berikut camilan untuk Hanna berbicara? Apa yang terjadi padanya tadi, kemudian yang poin paling pentingnya ialah, siapa yang telah memukul Hanna sampai seperti itu. "Lagi, kata lu? Ah, gua angkat aja kali ya telepon si Edwin."

"JANGAN!" Hanna melarang dengan segera.

Rakha agaknya lumayan senang. "Kalau gitu jujur, siapa pelakunya? Biar gua beli pelajaran matematika tuh orang!"

"Kok matematika? Harusnya hajar balik dong!" Hanna sedikit kecewa.

Kata Edwin, Rakha ini katanya jago bela diri sejak kanak-kanak. Tapi kok, kelihatannya dia hanya modal tampang saja. Kemampuan berkelahinya tidak terlalu meyakinkan akibat sifatnya yang petakilan. "Ogah, ah. Apaan main hajar, buang tenaga. Lagi pula kalau tuh penjahat laki-laki akan saya jadikan saudara, kalau perempuan niscaya akan saya jadikan—"

"Permaisuri?" potong Hanna.

Rakha mengantongi sebelah lengannya ke saku celana. "Bukan!"

"Terus dijadikan apa dong?" Hanna terpancing percakapan tidak bermutu lagi.

Jujur saja, Rakha ini sebenarnya orangnya asik, hanya saja kegantengan yang dibawa dari ujung rambut hingga kaki itu membuat orang merasa segan bahkan untuk sekedar bertanya. Tipikal orang kaya yang bau duit. Pakai celana training dengan kaos hitam yang kerahnya agak kendor saja, masih saja rupawan.

"Born to be my private slut," jawab Rakha enteng. "Bagaimana? Apakah anda tertarik untuk melakukan registrasi, Hanna?"

"Amit-amit jabang bayi!" Hanna terbeliak sebal, sebelum kembali ke sebuah talkshow yang ada di kanal luar negeri. "Yang ada di pikiran lo, selangkangan semua ya?"

"Yang ada di pikiran gua, cuma Hanna seorang," sahutnya menggeser pintu sebelum masuk lagi ke dalam rumah.

Lalu pergi ke atas, entah mau ke kamar atau ke mana. Hanna tidak tahu selain mendapati dirinya kini tidak mempan dengan gombalan dari seekor buaya rawa lagi. "Silly!"