webnovel

AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN

Rakha kedatangan gadis yang begitu familiar di kantor tempatnya bekerja. Bukan mantan atau sejenisnya, melainkan dia hanyalah adik dari sahabatnya sendiri, Edwin. Gadis itu cuek, pemarah dan cenderung benci bersosialisasi. Dia bahkan pura-pura tidak mengenal Rakha, ketika diajak berbicara untuk pertama kali. Hanna memiliki kekasih yang berhasil merantai geraknya sejak dia kuliah. Bersama Tristan itu sakit, tapi tidak bersama Tristan jauh lebih sakit, lantaran pria itu memegang banyak rekam jejak hubungan intim mereka. Dia diperlakukan buruk, tapi bodohnya, Hanna tetap mencintai sang kekasih. Sampai pada suatu ketika Hanna kewalahan menghadapi Tristan, dia dibuat terluka parah secara tidak sengaja akibat obsesi pria itu. Lalu Rakha yang menemukan Hanna berantakan, berinisiatif untuk menawarkan bantuan. "Gua bakal bantu lo lepas dari cowok bejat itu, dengan satu syarat. Gimana?" "Boleh, setuju." Meskipun ragu, tapi tidak ada salahnya bagi Hanna untuk mencoba. Sekalipun syarat yang diajukan Rakha tidak ada bedanya, sama gilanya dengan mengajak 'berteman' dalam tanda petik termasuk di atas ranjang. "Hanya sebatas teman, tidak boleh ada cinta bukan?" Rakha yang si anti komitmen, langsung mengangguk. Sedangkan Hanna merasakan kesepakatan ini pelan-pelan merobohkan pertahanan dirinya. Seperti kebodohan yang terulang, Hanna malah mencintai bajingan lain, dan itu Rakha orangnya. Teruskan membaca pergerakan mereka, untuk mengetahui kelanjutannya. Eksklusif! Hanya di AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN.

GUMMYP · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Required

Jika mau membahas apa yang terjadi pada Hanna, mari kita interogasi dia setelah tiba di rumah. Layaknya pelaku kejahatan, pada siang harinya—selepas Rakha mengabarkan kalau sang adik tiba-tiba ada di depan pintu apartemen dia, Edwin langsung pergi ke sana.

Menarik ujung kerah baju Hanna, menyuruh anak itu untuk segera pulang. Terlebih, sebelum Elisa mengetahui bahwa adiknya ini malah party tidak jelas, bersama orang lain yang bukan Edwin lagi. "Eits, Edwin gue gak bisa jalan dengan bener!"

"Kenapa? Lo diapain aja sama si Rakha?" Makin panik lagi Edwin mendengar pernyataan Hanna. Posisinya mereka sedang saling diseret dan menyeret di sepanjang koridor, hendak pergi ke dalam lift. "Jawab, Na!"

"Ngegas mulu kenapa sih?" Hanna merasakan pipinya turut memanas. Terbakar emosi, karena mereka sama-sama memiliki bad temprament. Edwin yang anak pertama, kemudian Hanna yang kebetulan berzodiak Aries. Setiap hari mereka tidak pernah melewatkan yang namanya perang urat saraf. "Berhenti dulu narik-narik baju guenya. Baru dijelaskan. Baru gue bisa ngomong baik, Edwin."

Edwin berhenti detik itu juga. Mukanya kelihatan seperti kanebo kering; kusut sekali, sekaligus tidak bisa diajak kompromi karena cowok itu terlanjur bete maksimal. Dilihatnya, kini sang adik yang mati-matian menyembunyikan wajahnya.

"Gue tahu lo terluka..."

"Iya, makasih buat gak nanya-nanya."

"Bohong kalau gue bakal tinggal diam aja melihat lo diperlakukan begini, Na. Gue saranin lo putus secepatnya dari tuh orang, sejak awal gue udah feeling buruk sama tuh si Tristan—"

Hanna menyela dengan segera, "Bukan dia pelakunya."

"Gak mungkin..." Siapa lagi memang yang bisa menyakiti dalam cintanya sekaligus orang itu? Edwin bisa menebak bagaimana Tristan dulunya dibesarkan, bergelimang harta dengan apa yang diinginkan selalu tercapai saja tidak selalu menjamin bahwa orang itu bahagia. Bisa saja keluarganya tidak harmonis.

Bisa saja masalah yang kita kira sepele, akan teramat berat untuk bagi lain. Kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa terjadi, bahkan di luar perkiraan kita. Masalah yang sebenarnya tidak pernah kau duga sebelumnya, dapat hadir begitu saja, tanpa permisi. Mengejutkan realitas dengan cara yang tidak terduga. "Jadi siapa dong, Na?"

"Nan mollayo."

"Bahasa apaan tuh, anjir?!"

"Artinya, gue juga kagak tahu..."

Edwin spontan membuang napas panjangnya. Dia memutuskan untuk berjalan lebih dulu, meninggalkan Hanna yang kini mengumpat kata-kata kasar di belakang punggung Edwin. Edwin pasrah saja. "Terserah lo!"

"Lho, kok malah bilang gitu?" Hanna berupaya sangat keras untuk menyusul langkah kaki panjangnya sang abang. Laki-laki ini betulan marah ternyata. Di basement, sudah terlihat mobilnya Edwin. Tapi laki-laki itu malah menyeberang ke arah lain. "Katanya mau pulang, kok malah jalan ke sana. Mobilnya di depan situ Edwin!"

"Gue mau menyelamatkan kewarasan dulu."

Hanna berlari menyusul. "Dengan ke McD?"

"KELIHATANNYA?" Edwin menyolot.

"Sudah, sudah, sudah." Dia mendorong bahu kokoh Edwin untuk duduk di salah satu meja, Hanna yang memesankan agar cowok itu dapat menetralkan dulu semua aura negatif yang mendominasi dirinya. Dilihatnya Edwin yang di belakang sana, entah mengapa terlihat begitu mengkhawatirkan. Mereka bungkam.

Sekitar sepuluh menit kemudian, datanglah satu burger double cheese lengkap dengan cola. Jaga-jaga butuh camilan untuk teman ngobrol, Hanna ikut memesan McFlurry dan tiga bungkus nugget. "Makannya bisa aja, gak usah kayak orang PMS gitu dong Yang Mulia."

Edwin hanya menghadiahkan tatapan menikam.

"Jadi gini..." Hanna menunggu reaksi Edwin. Pria berkaos gelap dengan celana cargo warna mocca itu tetap diam. Menikmati makanannya secara terpaksa, meskipun terlihat jelas kalau dia belum sarapan sama sekali. "Aku—maksudnya gue, dini hari tadi gak bisa tidur. Sehabis dari Diggity hampir tengah malam bareng lo, gue hanya bisa sekurangnya istirahat selama tiga jam saja."

"..." Edwin kelihatannya masih mendengarkan.

"Itu pun gak sepenuhnya tidur. Kayak cuma merem, terusan masih bisa menangkap suara-suara lain kayak detik jam, suara AC dan sebagainya. Ada SMS masuk nih, ceritanya. Kayak link begitu." Hanna menikmati McFlurry-nya sedikit untuk mengais cerita lebih jauh. "Gue kliklah tanpa pikir panjang. Di sana langsung ada telepon anonim yang otomatis masuk ke hape gue."

"Coba tebak apa?" tanya Hanna ke Edwin.

Berhubung masih kesal, jadi Edwin hanya menarik satu alisnya ke atas sebagai tanggapan agar Hanna tetap melanjutkan, "Itu suara Mama. Sumpah demi Alex, itu beneran mirip banget sama suara Mama. Dia teriak-teriak minta tolong, katanya mau aku jemput di dekat Transmart. Soalnya ditahan seseorang yang gak dikenal."

Alhasil, tanpa ba-bi-bu lagi Hanna langsung berlari keluar kompleks, tangannya berkeringat dingin dengan sedikit tremor yang tahu-tahu tercipta di ujung jemarinya. Dia ke Transmart yang dimaksud oleh orang yang mengaku sebagai Elisa tadi.

"Gak ada siapapun di sana?" Edwin akhirnya mengajukan pertanyaan.

Hanna menggelengkan kepala. Karena ponselnya ditinggal di rumah, ketika muncul seseorang dari kegelapan yang mendadak menghajar Hanna. Gadis itu tidak bisa menghubungi Edwin. "Lo liat mukanya, gak?"

Untuk kedua kalinya Hanna menggelengkan kepala.

"Tapi gue, kayak punya feeling kalau dia adalah perempuan. Kelihatan dari rambut panjang yang agak mencuat dari topi yang dia pake pun bau strawberry sama kayak creambath yang lagi viral di Shopee.

Dia baru berhenti menghajar wajah gue, saat gue lari cepat ke tong sampah dan ngambil botol kaca bekas sirup Marjan dan dihantamkan ke kepalanya dia," cerocos Hanna.

Edwin terdorong untuk menepuk puncak kepala adiknya sebanyak dua kali, sebagai ungkapan rasa bangga. Kalau begini ceritanya, ia jadi tidak terlalu marah-marah banget ke Hanna. "Hanya saja, kenapa anda bisa berakhir di rumah si codot?"

"Gue gak siap mendengarkan khotbah dari lo, Edwin. Bayangin aja, jam segitu adik lo yang paling cantik ini tiba-tiba pulang dengan wajah bonyok. Makanya, di saat begitu entah kenapa gue kepikiran kalau reaksi Rakha masih jauh lebih mending, daripada—"

"Stop, Hanna!" Edwin memotong. "Gue tahu apa maksud lo. Maaf karena gak bisa ada ketika lo membutuhkan bantuan. Tapi gue kayak pernah deh, menemukan kasus yang serupa. Lo kayaknya kena voice phising."