webnovel

AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN

Rakha kedatangan gadis yang begitu familiar di kantor tempatnya bekerja. Bukan mantan atau sejenisnya, melainkan dia hanyalah adik dari sahabatnya sendiri, Edwin. Gadis itu cuek, pemarah dan cenderung benci bersosialisasi. Dia bahkan pura-pura tidak mengenal Rakha, ketika diajak berbicara untuk pertama kali. Hanna memiliki kekasih yang berhasil merantai geraknya sejak dia kuliah. Bersama Tristan itu sakit, tapi tidak bersama Tristan jauh lebih sakit, lantaran pria itu memegang banyak rekam jejak hubungan intim mereka. Dia diperlakukan buruk, tapi bodohnya, Hanna tetap mencintai sang kekasih. Sampai pada suatu ketika Hanna kewalahan menghadapi Tristan, dia dibuat terluka parah secara tidak sengaja akibat obsesi pria itu. Lalu Rakha yang menemukan Hanna berantakan, berinisiatif untuk menawarkan bantuan. "Gua bakal bantu lo lepas dari cowok bejat itu, dengan satu syarat. Gimana?" "Boleh, setuju." Meskipun ragu, tapi tidak ada salahnya bagi Hanna untuk mencoba. Sekalipun syarat yang diajukan Rakha tidak ada bedanya, sama gilanya dengan mengajak 'berteman' dalam tanda petik termasuk di atas ranjang. "Hanya sebatas teman, tidak boleh ada cinta bukan?" Rakha yang si anti komitmen, langsung mengangguk. Sedangkan Hanna merasakan kesepakatan ini pelan-pelan merobohkan pertahanan dirinya. Seperti kebodohan yang terulang, Hanna malah mencintai bajingan lain, dan itu Rakha orangnya. Teruskan membaca pergerakan mereka, untuk mengetahui kelanjutannya. Eksklusif! Hanya di AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN.

GUMMYP · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Pickled

"Edwin lo jadi jemput gue?" Hanna menyempatkan menelepon, untuk memastikan apakah Edwin akan datang atau tidak sore ini ke kantornya. Belum ada jawaban dari seberang sana, selain bunyi tuk-tuk-tuk sesuatu ke atas meja. "Edwin lo masih di sana kan?"

"Iya, bawel!" jawabnya kemudian.

Hanna bertanya lagi, "Jadi?"

"Jadi apa prok, prok, prok!" kata Edwin spontan.

Hanna memutar bola matanya dengan malas. Dia ketus, "Lo pikir gue Pak Tarno?!"

Merasa tidak berguna, jika harus bertanya pada kakak laki-laki yang modelannya seperti Edwin. "Ya Tuhan, mengapa abangku berbeda?"

Mendengar keluhan tersebut terlontar dari Hanna, Edwin kontan tertawa terbahak-bahak. Kini dia berganti posisi dari duduknya, jadi menghadap ke luasan jendela yang menyajikan kesibukan khas metropolitan. "Udahlah, gue matiin ya, Na. Tunggu aja di basement, nih Lia kebetulan telpon."

"Edwin, tunggu jangan dimatiin dulu. Edwin jam berapa tepatnya lo jemput gue, Edwin—tut..." Sambungan telah terputus, tanpa gadis bersetelan blazer cokelat itu kehendaki. Hanna hanya bisa mengumpat dalam batin, sembari mengunci kembali ponsel guna menuntaskan lagi sisa pekerjaannya.

***

"Iya Lia?" Berbeda nada suaranya ketika berbicara dengan sang adik, kepada Misellia, Edwin tentu bertutur dengan cara yang kelewat manis bahkan bisa dikatakan begitu manja. Tidak disangka, mbak pacarnya tersebut ternyata juga meminta untuk dijemput di studio hari ini.

Edwin bertanya, "Sekarang?!"

"Iya, sekarang Win." Misellia seperti jengah. "Bisa kan?"

Edwin menggaruk pelipisnya yang bahkan tidak terasa gatal. Dia terlihat melonggarkan dasi, seraya menghitung jarak antara kantor Hanna dan studio tempat kekasihnya itu biasa rekaman. Cukup jauh memang. Ada kemungkinan Edwin harus membatalkan salah satunya.

"Aku ke sana, sehabis jemput adikku dulu ya?" Edwin ragu Misellia akan keberatan.

Lagi pula gadisnya itu adalah perempuan paling pengertian yang pernah Edwin kenal. Misellia tidak akan marah pokoknya. Hanya, kali ini situasinya mungkin berbeda ketika Misellia tiba-tiba bersuara, "Jadi kamu lebih mementingkan Hanna dibandingkan aku?!"

"Gak gitu, Lia..." Karena kalian sama-sama penting untuk Edwin Xavier Hernandez. Edwin mematikan komputer, menyahut jasnya yang kerap terselampir di kursi putar dan buru-buru menyahut kunci mobil yang tergeletak begitu saja di meja kayu jati itu. "Aku dalam perjalanan ke sana ya, mbak."

"Makasih," cicit Misellia.

Edwin menarik senyum tipis. "Anything, for you sweetheart."

Berhubung tidak biasanya Misellia bersifat begini, Edwin memberanikan diri menginjak gasnya untuk ke tempat cewek itu. Mengabaikan Hanna, yang mungkin saja sedang mematung sendirian di basement bawah tanah. Dia menelepon Hanna untuk ke dua kalinya.

Akan tetapi sang adik kebetulan tidak mengangkatnya, bahkan setelah beres tiga nada sambung. Dua puluh menit kemudian, Edwin baru tiba di perusahaan rekaman tersebut. Dia langsung menghampiri resepsionis. "Mbak, Lia-nya sudah turun belum?"

"Belum sepertinya, Mas."

"Kok pake sepertinya, sih?" Edwin mulai sangsi. "Ya sudah sekarang dia lagi di ruangan mana?"

"Studio empat," jawab si resepsionis setelah menilik beberapa kali lembar jadwal yang tertera di dalam komputer. Mendengar itu, Edwin kontan membuat langkah panjang menuju lift. "Eh, tunggu Mas?"

"Iya?" Edwin berbalik badan curiga. "Mbak gak usah khawatir, aku pacarnya Lia. Kita udah janjian sebelumnya."

"Bukan itu," selanya perlahan. "Selain staff dan artis terkait tidak ada yang diperbolehkan naik ke atas."

Baiklah, Edwin baru mengetahui hal itu. Ini memang pertama kalinya ia datang ke perusahaan ini. Di beberapa titik, memang pintunya dipasangi pemindai wajah agar bisa terbuka. Keamanan yang tergolong tinggi untuk sekelas label rekaman.

Setelah mengabari Misellia, akhirnya ia memutuskan untuk duduk di ruang tunggu yang ada di lobby. Memainkan ponsel, Edwin pun mendapati nama Hanna yang muncul memenuhi layar sentuhnya. Ia mengangkat ikon gagang telepon warna hijau itu. "Iya, Na?"

"Sorry tadi gak keangkat. Gue udah stay di depan toko es krim depan nih, lo kok gak nongol-nongol Edwin?" Giliran Hanna yang merajuk. Langit mulai berganti warna, disusul surutnya para karyawan dari perusahaan penerbitan tempat Hanna bekerja. "HALO?!"

"Iya halo," Edwin bingung.

Hanna lebih bingung. "Lo dimana sih, Edwin?"

"Di tempat kerjanya Misellia," kata Edwin mendadak.

Sementara raut wajah Hanna perlahan mendatar dengan sendirinya. Ingin berteriak, namun banyak orang yang berlalu lalang. Ingin marah? Tapi dia terlanjur menunggu sendirian di toko es krim ini sejak tadi. "Katanya mau jemput..."

"Iya, gue maunya gitu Na. Tapi Lia mendadak uring—udah dulu. Tuh, anak udah turun dari lift!" Untuk kedua kalinya, telepon Hanna ditutup begitu saja oleh Edwin sepanjang hari ini.

"Hey, sendirian aja?!" Pundak Hanna tiba-tiba saja ditepuk oleh seseorang. Membuat gadis itu refleks menoleh, dengan sendok yang masih terjepit sempurna di antara mulut. Orang itu mengimbuh, "Kenapa bengong? Kau gak nyangka aku ada di sini?"

Hanna mengangguk patuh. "Iya. Tristan di mana?"

"Dia sedang sibuk," jawab lelaki yang terkenal suka menyebarkan aura positif serta rajin beribadah tersebut. Namanya adalah Mark. Mustahil kalau Hanna tidak mengingat cowok ramah itu; temannya Tristan. "Kenapa tidak menelepon jika butuh tumpangan?"

"Ke siapa?" Hanna bereaksi lebih lambat dari biasanya. Ia menarik sendok yang telah kosong itu dan mengambil lagi es krim dari dalam cup. "Tunggu, dari mana kalian. Ah, tidak. Maksudku adalah kau Mark, dari mana kau tahu kalau aku lagi ada di sini?!"

"Hanya kebetulan lewat," Mark menjawab dengan santainya. Duduk berhadapan dengan Hanna, yang belum berhasil mencerna apapun sampai sekarang. "Oh iya, Na. Aku sarankan agar kau menjauhi Tristan."

Hanna spontan tersedak tidak percaya. Matanya membulat disertai rautnya yang dirambati kepanikan. Bisa-bisanya orang ini berkata begitu. "Are kidding me, Mark?"