webnovel

AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN

Rakha kedatangan gadis yang begitu familiar di kantor tempatnya bekerja. Bukan mantan atau sejenisnya, melainkan dia hanyalah adik dari sahabatnya sendiri, Edwin. Gadis itu cuek, pemarah dan cenderung benci bersosialisasi. Dia bahkan pura-pura tidak mengenal Rakha, ketika diajak berbicara untuk pertama kali. Hanna memiliki kekasih yang berhasil merantai geraknya sejak dia kuliah. Bersama Tristan itu sakit, tapi tidak bersama Tristan jauh lebih sakit, lantaran pria itu memegang banyak rekam jejak hubungan intim mereka. Dia diperlakukan buruk, tapi bodohnya, Hanna tetap mencintai sang kekasih. Sampai pada suatu ketika Hanna kewalahan menghadapi Tristan, dia dibuat terluka parah secara tidak sengaja akibat obsesi pria itu. Lalu Rakha yang menemukan Hanna berantakan, berinisiatif untuk menawarkan bantuan. "Gua bakal bantu lo lepas dari cowok bejat itu, dengan satu syarat. Gimana?" "Boleh, setuju." Meskipun ragu, tapi tidak ada salahnya bagi Hanna untuk mencoba. Sekalipun syarat yang diajukan Rakha tidak ada bedanya, sama gilanya dengan mengajak 'berteman' dalam tanda petik termasuk di atas ranjang. "Hanya sebatas teman, tidak boleh ada cinta bukan?" Rakha yang si anti komitmen, langsung mengangguk. Sedangkan Hanna merasakan kesepakatan ini pelan-pelan merobohkan pertahanan dirinya. Seperti kebodohan yang terulang, Hanna malah mencintai bajingan lain, dan itu Rakha orangnya. Teruskan membaca pergerakan mereka, untuk mengetahui kelanjutannya. Eksklusif! Hanya di AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN.

GUMMYP · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Personal

Maksud Hanna, atas dasar apa Mark sampai menyuruhnya begitu? Bukankah Tristan adalah orang yang paling berjasa di sepanjang hidupnya dia. Tristan yang membebaskan Mark dari penjara. Terlebih, sekarang lelaki itu telah berubah jadi lebih baik.

"Mark tell me, what are you thinking about?"

Lagi, Hanna benar-benar tidak habis pikir dengan orang di sekitarnya. Belum cukupkah perjuangan Hanna selama ini untuk tetap berada di sisi Tristan? Bukankah Mark sendiri yang bilang, kalau Hanna adalah wanita pertama yang berhasil bertahan di pelukan pria gila itu? "Mark, please jangan gini..."

"Mendingan aku antar kau pulang," Mark berkelit.

Ia bangun dari kursinya setelah membayarkan beberapa lembar rupiah ke kasir. Mark berjalan lebih dulu di depan, memaksa Hanna untuk mau tidak mau—jadi mengikuti keluar, menuju salah satu mobil yang terparkir di depan toko es krim tersebut. "Mark wait!"

"Naiklah," timpal Mark saat mendapati Hanna telah mencubit tepian baju yang ia kenakan. Pria tampan pemilik rahang tegas, seperti bayi singa itu kontan menghentikan langkahnya. Ia berbalik dengan sabar sembari berujar, "Kenapa?"

Berbanding terbalik dengan sifat arogansi yang dimiliki oleh Tristan, Mark ini memang pribadi yang jauh lebih hangat. Hanna mengakui yang satu ini. Apalagi ketika ia ditahan di kediaman Tristan kala itu, Mark-lah yang membantu Hanna.

Dalam beberapa kesempatan, ia juga diajak ibadah oleh cowok itu. Ayahnya yang merupakan seorang pendeta di salah satu gereja, membuat Mark kecil tumbuh menjadi sosok yang religius. Itu yang membuat Hanna insecure dunia dan akhirat.

Mark itu terlalu baik untuk Hanna yang terlanjur dibuat berantakan oleh Tristan. Jika menilik ke masa-masa di belakang, tentu akan sangat miris untuk diceritakan. Hanna yang diperkosa, ditahan berhari-hari bahkan disiksa oleh Tristan di depan matanya sendiri. Hanna malu.

"Aku gak bisa menjauh dari Tristan," tuntut Hanna sekali lagi. "Meskipun itu kau yang menyuruh!"

"Kau bisa menjauh darinya," tekan Mark.

Hanna menggelengkan kepala. "Aku mencintai dia, Mark. Meskipun ini terdengar mustahil, setelah apa yang ia lakukan padaku sebelumnya, tapi aku benar-benar menyayangi Tristan."

"Justru ini yang aku takutkan!" Mark melayangkan bantahan. Dia berjalan sedikit guna berdiri lebih dekat di hadapan cewek itu, ada semacam helaan napas tidak kentara menghias di fitur wajahnya. "Hanna?"

"Katakan, apa salahku hmm?" Entah kenapa Hanna jadi merasa sangat sendu. Sudut matanya memanas tanpa bisa ia tahan, pipinya juga, pandangannya tidak menyiratkan kebahagian apapun selain kekosongan. "Apa aku sebegitu buruknya, sampai-sampai kau tidak sudi aku berada di dekat Tristan..."

"Kau tidak salah apa-apa," sahut Mark sambil menahan dua sisi pundak Hanna. Gadis ini menunduk, diiringi dengan bahunya yang hampir saja terisak. "Aku hanya tidak ingin, kau menormalkan segala perlakuan kasar Tristan terhadapmu."

"Tapi dia sudah berubah," Hanna menjeda dengan ragu. "Dia tidak lagi bermain dengan perempuan lain, dia mencintaiku..."

Mark yang kebetulan meluruskan pandangan ke arah jalan yang berlawanan, malah mendapati Tristan tengah melintas di seberang sana. Menggandeng beberapa wanita, tertawa lepas sebelum akhirnya masuk ke sebuah pub yang memang banyak tersebar di daerah sini.

Karena tidak mendapatkan respon apa-apa, Hanna akhirnya mendongak. Ia melihat Mark seperti tengah memperhatikan sesuatu di belakang sana, membuat Hanna berniat mengikuti ke titik yang sama sebelum dengan segera tubuhnya disembunyikan dalam pelukan Mark. Hanna kaget. "Mark apa yang kau lakukan? Lepas!"

Dia berontak, akan tetapi postur tubuh Mark yang lebih gagah membuatnya dengan mudah menahan rontaan seorang Hanna Claire Hernandez. Ini tidak benar. Kenapa Tristan harus berkeliaran di sekitar sini? Bukankah lelaki itu tadi mengeluh sakit kepala karena habis dimarahi ayahnya? Mark dibuat pusing.

Dia tidak punya pilihan lain selain mendekap Hanna agar perempuan itu tidak melihat kelakuan Tristan. Mark tidak ingin Hanna kecewa lagi. Dia peduli pada Hanna sejak awal. "Mark?!"

"Tunggu sebentar," jawabnya pelan.

Seketika saja, Hanna mengatupkan bibirnya erat-erat. Dia memang tidak membalas pelukan Mark, namun telinganya yang mendarat di dada laki-laki ini, cukup menjadi saksi bahwa Mark sedang tidak baik-baik saja, terbukti dari degup jantungnya yang cepat. "Don't move."

"O-okay," lirih Hanna beberapa detik kemudian. Mark meregangkan diri, lalu menuntun Hanna untuk naik ke mobilnya setelah dirasa bahwa Tristan tidak terlihat lagi di area tersebut. Keduanya saling diam, tanpa berani bertanya satu sama lain sepanjang perjalanan. Hanna kikuk. "Kau memangnya tahu di mana rumahku?"

"Oh tentu saja," jeda Mark tiba-tiba tertawa. Ia lalu menengok ke samping tepat dimana Hanna tampak duduk dengan tegang. Dia pasti bakalan kaget kalau sampai Mark menjawab iya. Terlihat dari bagaimana Hanna berantisipasi dengan meremat tali tasnya. Mark melanjutkan, "Tidak. Kau mau beritahu alamatnya?"

"Boleh," singkat Hanna.

Disebutkanlah alamat tempat tinggal Hanna secara lengkap, kepada si Mark tersebut. Setelah berbincang satu sampai dua topik ringan, ternyata Mark ini adalah pribadi yang asyik untuk diajak berbicara. Lawakannya cenderung receh, menyenangkan tanpa ada intimidasi yang membuat lawan bicara kita rendah diri. Dia adalah penyeimbang di segala suasana. Lima belas menit kemudian mereka tiba di depan gerbang kediaman Hernandez. "Mampir dulu, aku akan buatkan minum."

"Aduh, tidak usah. Aku ada urusan lain sesudah ini. " Mark menolak secara halus.

Hanna turun dari mobil itu, tidak ada siapa-siapa di halaman depan, mungkin karena papi dan mama sedang berpergian ke rumah saudara. Hanna tersenyum lembut ketika Mark menurunkan kaca mobilnya, hendak berpamitan. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih atas tumpangannya."

"Eh, wait a minute!" sergah Mark tanpa diduga. Hanna berbalik badan. Dia tidak bertanya apapun, membiarkan Mark menuturkan sendiri apa maksudnya. Hanna menarik satu alisnya ke atas. Mark mengimbau, "Pertimbangkan lagi keputusanmu, Hanna. Tristan is not a good person."

"Nope. Because am not a good person too," sanggah Hanna.