webnovel

AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN

Rakha kedatangan gadis yang begitu familiar di kantor tempatnya bekerja. Bukan mantan atau sejenisnya, melainkan dia hanyalah adik dari sahabatnya sendiri, Edwin. Gadis itu cuek, pemarah dan cenderung benci bersosialisasi. Dia bahkan pura-pura tidak mengenal Rakha, ketika diajak berbicara untuk pertama kali. Hanna memiliki kekasih yang berhasil merantai geraknya sejak dia kuliah. Bersama Tristan itu sakit, tapi tidak bersama Tristan jauh lebih sakit, lantaran pria itu memegang banyak rekam jejak hubungan intim mereka. Dia diperlakukan buruk, tapi bodohnya, Hanna tetap mencintai sang kekasih. Sampai pada suatu ketika Hanna kewalahan menghadapi Tristan, dia dibuat terluka parah secara tidak sengaja akibat obsesi pria itu. Lalu Rakha yang menemukan Hanna berantakan, berinisiatif untuk menawarkan bantuan. "Gua bakal bantu lo lepas dari cowok bejat itu, dengan satu syarat. Gimana?" "Boleh, setuju." Meskipun ragu, tapi tidak ada salahnya bagi Hanna untuk mencoba. Sekalipun syarat yang diajukan Rakha tidak ada bedanya, sama gilanya dengan mengajak 'berteman' dalam tanda petik termasuk di atas ranjang. "Hanya sebatas teman, tidak boleh ada cinta bukan?" Rakha yang si anti komitmen, langsung mengangguk. Sedangkan Hanna merasakan kesepakatan ini pelan-pelan merobohkan pertahanan dirinya. Seperti kebodohan yang terulang, Hanna malah mencintai bajingan lain, dan itu Rakha orangnya. Teruskan membaca pergerakan mereka, untuk mengetahui kelanjutannya. Eksklusif! Hanya di AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN.

GUMMYP · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Faster

"Hanna, ada apa? Dari mana kau tahu rumahku?" Rakha secara otomatis mematikan panggilan video yang sedang berlangsung bersama Gilang tersebut. Dia masih terlalu terkejut melihat siapa yang sedang berdiri di ambang pintu sekarang. "Hanna, are you okay?"

Gadis dalam setelan sweatpants dan shirt berwarna coklat susu tersebut masih menunduk. Tentunya, ditanya begitu saat suasana hati sedang tidak baik-baik saja membuat Hanna semakin hancur. Dia menahan tangisnya dengan kuat.

Rakha masih terlalu terkejut, hingga Hanna dengan tidak tahu dirinya masuk ke dalam apartemen pria berlesung pipi itu. Berjalan gontai, ketika pening dan nyeri menyentak kepalanya tanpa ampun. Dia hampir saja tersungkur ke atas lantai. "Hei, girls what's wrong with you?"

Katakan, apa yang terjadi? Beruntung, refleks seorang Rakha Danendra Hardian masih bagus meskipun dia kurang tidur. Rakha menahan dua sisi pundak perempuan tersebut. Rambutnya menghalangi seluruh wajah, membuat Rakha menyelipkan sebagian helai itu ke belakang telinga.

"Am well," elaknya menghindari tatapan Rakha. Hanna juga berpaling dengan menurunkan kembali rambut panjangnya. Rakha mencurigai gerak-gerik Hanna yang ini. Dia dengan segera menarik dagu Hanna hingga perempuan itu mendongak. "Shit, apa yang lo lakuin?"

"Oh, God. Lu habis diapain sampai bonyok begini?" Rakha cemas bukan main. Di wajah Hanna tercetak beberapa lebam, seperti bekas pukulan dan di lehernya jelas tampak ada bekas choke yang boleh Rakha tebak, itu adalah ulahnya si Tristan. "Sini duduk. Gua obatin dulu biar gak tambah parah."

"Gak usah," tolak Hanna.

Rakha benci ditolak, dia bicara bertubi-tubi, "Gua lagi maksa. Lu gak boleh membantah sama sekali. Gua juga gak akan tanya pelakunya siapa, kalau lu belum siap sepenuhnya buat menjawab dengan jujur. At least, gua gak yakin kalau ini adalah perbuatan si Edwin."

Cowok itu mau semarah apapun, terkenal pantang untuk main tangan kepada perempuan. Terlebih jika menyangkut Mama Elisa dan adiknya yaitu si Hanna ini. Edwin berlari kecil menuju sebuah ruangan, kemudian beberapa saat kemudian datang dengan membawa kotak P3K.

Hanna duduk di sofa sambil merapatkan kakinya. Dia bingung harus ke mana lagi. Hanna tidak mungkin pulang atau masuk ke dalam rumahnya dalam keadaan begini, di saat kejadian yang tidak terduga itu betulan terjadi. Hanna takut. Rakha cemas. "Ah, bentar gua mau ambil kompresan dulu, karena sepertinya kotak P3K ini gak terlalu diperlakukan."

"Iya," kata Hanna.

Rakha bergerak ke tembok dapur sambil mengomel, "Iya-iya mulu jawabnya, gua khawatir banget, anjir. Takut lu kenapa-kenapa. Kemudian kalau gue gagal menyelamatkan orang lagi. Gue bisa diasingkan ke Zimbabwe sama si Edwin."

Ini tanggung jawab besar untuk Rakha. Hanna tanpa sadar tersenyum, ketika menyaksikan punggung lelaki itu ketar-ketir di balik tembok dapur. Oh, iya. Ini pertama kalinya Hanna menginjakkan kaki di rumah lelaki selain Tristan. Beruntung, ia sempat menyimpan kartu nama Rakha di dompetnya, hingga dia bisa tahu alamat laki-laki itu. "Gue bisa sendiri..."

"Alah jangan bohong," kilah Rakha duduk di dekat perempuan itu. Dia mengambil lagi handuk yang berisi es batu tersebut dari tangan Hanna. Mereka berhadap-hadapan di atas karpet berwarna merah bata di ruang tengah. "Barusan aja kayak mau pingsan, gimana bisa punya tenaga buat mengobati diri sendiri, huh?"

"Iya, thanks. Sorry ngerepotin subuh-subuh datang ke sini..." cicit Hanna merasa bersalah. Dari jarak seperti ini, Hanna menebak kalau Rakha sama sekali belum mendapatkan waktu tidurnya. Terlihat dari lingkaran hitam di mata cowok itu yang mulai menegas. "Rakha?"

"Hem?" lirihnya hati-hati. Masih fokus menekankan batu es pada beberapa titik di wajah Hanna dengan super pelan, takut melukai. Karena sumpah demi apapun, Rakha baru pertama kali mengobati perempuan yang memar. "Hanna, jangan gerak-gerak anjir. Gimana kalau es batunya nyasar ke lubang hidung lu?!"

"Impossible..." Hanna manyun. Meskipun ujung-ujungnya tetap menuruti arahan Rakha agar diam sebentar, dia begitu telaten mengoleskan salep tersebut di area yang dibutuhkan. Sensasi dingin di permukaan kulit wajahnya kini bersatu padu dengan hangat dari terpaan napas seorang Rakha. Mereka membeku. Hanna bertanya, "Sudah?"

"Sudah," jawab Rakha sembari menciptakan jarak yang cukup cepat di samping Hanna. Ada gelenyar aneh yang hadir, tatkala Rakha tanpa sengaja menatap ke tepat di mata perempuan itu. Mustahil, kalau Rakha tidak penasaran akan apa yang terjadi dengan perempuan ini. "Hmm, gua clueless banget. Tapi gua sadar, lagi gak di ranah di mana gua bisa mencampuri segala urusan pribadi kau, Hanna."

"Gue bakalan cerita!"

"Serius, Na?"

"Ya, enggak lah Rakha..."

"Udahlah. Gua refund aja pertanyaannya."

"Ngambekan, anjir."

"KAGAK!" Rakha bilang begitu, tapi jelas reaksinya berkebalikan. Sangat kentara, bahwa ia marah karena merasa dipermainkan oleh Hanna. Percayalah, Rakha tidak pernah sekhawatir ini sebelumnya. Terlebih pada spesies berjenis wanita. Hingga suara perut Hanna hadir di tengah-tengah mereka. Memecah hening "Mau dibikinin Indomie, gak?"

"Tapi itu banyak kalorinya..."

"Terus?" Rakha bangkit dari duduk.

Hanna bercelatuk panjang, "Alangkah baiknya kalau sekalian dikasih topping telur setengah matang, daun bawang, irisan cabe, sosis dan bakso. Bagaimana, bisa?"

"Bisaaaa!" Rakha spontan tergelak dalam tawanya yang berat, khas bapak-bapak sekali. Suaranya memenuhi ruang, sedangkan Hanna tidak menyangka bisa meminta hal semacam itu pada kawannya si Edwin yang satu ini. "Minumannya?"

Hanna mengigit bibir bawahnya dengan gemas. Dia menatap Rakha dengan sejuta pengharapan di dalam sana. Aduh, Rakha paling tidak kuat jika ditatap seperti itu. Dia takut melewati batasnya jika Hanna sedang jinak begini.

"Susu banana dingin."

"Okey, harap ditunggu ya, Nyonya. Pesanan anda akan siap sedia dalam lima belas menit." Rakha membungkuk dengan sopan, gaya bicaranya dibuat seperti ala-ala waiters di film Holywood. "Jika bosan, silahkan nyalakan televisi. Cari Netflix..."

"And chill?" Hanna melanjutkan.

Rakha stagnan. Dia menunjuk matanya dengan dua jari, kemudian mengarahkan ke Hanna dengan raut mengancam sebelum meluncur ke dapur untuk memasak. "Jangan mancing-mancing, awas lu!"