webnovel

AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN

Rakha kedatangan gadis yang begitu familiar di kantor tempatnya bekerja. Bukan mantan atau sejenisnya, melainkan dia hanyalah adik dari sahabatnya sendiri, Edwin. Gadis itu cuek, pemarah dan cenderung benci bersosialisasi. Dia bahkan pura-pura tidak mengenal Rakha, ketika diajak berbicara untuk pertama kali. Hanna memiliki kekasih yang berhasil merantai geraknya sejak dia kuliah. Bersama Tristan itu sakit, tapi tidak bersama Tristan jauh lebih sakit, lantaran pria itu memegang banyak rekam jejak hubungan intim mereka. Dia diperlakukan buruk, tapi bodohnya, Hanna tetap mencintai sang kekasih. Sampai pada suatu ketika Hanna kewalahan menghadapi Tristan, dia dibuat terluka parah secara tidak sengaja akibat obsesi pria itu. Lalu Rakha yang menemukan Hanna berantakan, berinisiatif untuk menawarkan bantuan. "Gua bakal bantu lo lepas dari cowok bejat itu, dengan satu syarat. Gimana?" "Boleh, setuju." Meskipun ragu, tapi tidak ada salahnya bagi Hanna untuk mencoba. Sekalipun syarat yang diajukan Rakha tidak ada bedanya, sama gilanya dengan mengajak 'berteman' dalam tanda petik termasuk di atas ranjang. "Hanya sebatas teman, tidak boleh ada cinta bukan?" Rakha yang si anti komitmen, langsung mengangguk. Sedangkan Hanna merasakan kesepakatan ini pelan-pelan merobohkan pertahanan dirinya. Seperti kebodohan yang terulang, Hanna malah mencintai bajingan lain, dan itu Rakha orangnya. Teruskan membaca pergerakan mereka, untuk mengetahui kelanjutannya. Eksklusif! Hanya di AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN.

GUMMYP · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Crunchy

Menjelang sore, beberapa jam sebelum jam pulang kantor. Rakha mendapatkan kiriman gambar lewat pesan singkat, dari nomor yang tidak dikenal. Awalnya terlihat seperti spam pada umumnya, akan tetapi ketika di klik isinya, memuat hal cukup membuat jantungnya berdebar dalam tegun. "What the—"

"Hey, Kha. Lo mau ke mana?" Kelvin berseru ketika pria bernama lengkap Rakha Danendra Hardian tersebut, beranjak pergi dari mejanya. Buru-buru. Seisi kantor kala itu hanya bisa saling tatap, menukar pandangan satu sama lain dengan tanya yang sama: apa yang terjadi dengannya?

Dibuat ketar-ketir, Rakha pun tidak memperdulikan apapun lagi selain menghampiri mobilnya yang dia taruh di basement. Poin pentingnya sekarang hanyalah menyelamatkan Hanna. Sungguh bejat memang, ketika dihubungi lagi, nomor tersebut sudah tidak aktif lagi. "Shit, what's happened to you Na?!"

Tut... tut... tut...

Sudah habis sekitar tiga nada sambung, Edwin tidak kunjung mengangkat teleponnya. Ini bahaya. Rakha membanting roda kemudi dengan cepat, keluar dari area kantornya untuk lekas melesat ke luasan jalan raya. Rakha memejamkan mata sejenak, berusaha menjaga fokusnya untuk bisa menyetir dengan normal.

Dilihatnya lagi gambar di dalam ponselnya tersebut, itu adalah Hanna. Hanya saja kondisinya jauh dari kata wajar. Hanna menghadap kamera dengan pandangan sayu, lemah, rambut panjangnya tampak ditarik paksa agar gadis malang itu mendongak.

Lebih-lebih lagi, Hanna tampak berkeringat parah ditandai dari anakan rambutnya yang menempel di sekitar dahi dan pipi perempuan itu. Tidak lama gambar lain datang, itu adalah potret sebuah gedung kontruksi yang masih dalam tahapan pembuatan. Rakha lantas menelpon.

"Katakan apa maumu brengsek?! Di mana itu? Kenapa harus Hanna?

Anonim yang suaranya disamarkan tersebut malah tertawa puas. "Kau langsung tahu itu dia. Kenapa? Sudah mulai khawatir?

"BEDEBAH GILA!" umpat Rakha.

Dia tidak tahu apa yang diinginkan manusia ini, karena mengenal perempuan sekaligus keluarganya, Rakha merasa perlu menyelamatkan Hanna bagaimana pun caranya. Jelas, anonim ini sedang mentargetkan dia atas perempuan itu.

"Itu memang nama tengah gue," balasnya tenang.

Rakha berang, "Awas saja kalau sampai Hanna kenapa-kenapa. Gua bakal pastiin lu gak akan ada di muka bumi lagi!"

"Boleh banget tuh, kita buktiin siapa yang menang di permainan ini," tantang anonim tersebut dari seberang sana. "Gini deh, gue share location-nya dengan satu syarat: lo gak boleh bawa polisi atau siapa saja. Harus sendirian kalau tidak mau tubuh polos Hanna jadi tontonan publik..."

"Oke," Rakha menyetujui. Lengan berototnya refleks memukul setir, dia merasa sangat tertekan, kaget, bahkan tidak menyangka jika hal semacam ini bisa terjadi kepada Hanna. "Beri gua bukti, kalau ini bukanlah tindakan voice phising."

Anonim itu tertawa lagi. Merasa lucu, kalau ternyata pribadi yang bernama Rakha ini cukup berantisipasi. Dia kemudian mencari beberapa file, mengutak-atik, sebelum akhirnya mengganti mode menjadi panggilan video.

"Eungh..." Terlihat Hanna di sana mengerang sangat frustasi. Hampir menangis dan beberapa kali memohon untuk ditolong. Akan tetapi sosok yang disinyalir tengah bersama di sana, hanya mempermainkan. "Please. Oh, God. I feel burn inside!!!"

Dibandingkan merasa terstimulasi, Rakha lebih menaruh rasa iba yang teramat banyak kepada Hanna. Dia jelas-jelas dipermainkan oleh seseorang, entah berapa banyak dosis yang diberikan itu. Hanna tersiksa. "Brengsek, cepat lokasinya!"

Kemudian sebuah alamat terkirim dari anonim tersebut, Rakha melonggarkan dasi yang ia pakai. Entah sudah ke mana larinya batas kewarasan Rakha dalam berkendara. Mobil-mobil di depan disalip dengan mudah.

Cukup jauh dari ibukota, Rakha baru bisa sampai ke area kontruksi tersebut dalam waktu enam puluh menit kurang beberapa menit. Tempatnya yang sudah sepi tersebut tidak mengurungkan niat Rakha untuk tetap melangkah ke dalam sana.

Langit hampir gelap, kemudian penerangan yang tersedia di gedung luas tersebut hanya berasal dari beberapa lampu pijar yang dipasang seadanya di beberapa titik. "Hanna, where are you?"

"Rakha!" Suara Hanna terdengar entah dari mana. "Rakha?!"

"Iya, Hanna. Ini gua!" Rakha mencari-cari sumber suara gema itu. Dia berkeliling dengan cara berlari dari koridor demi koridor, hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini selain tumpukan batu alam, plastik dan satu penggiling semen. "Hanna?"

"Rakha!" sahutnya ke sekian kali.

Rakha bisa gila jika harus mengitari area seluas ini, dengan keringat yang mulai mengucur dari sekitar dahinya dia tidak menyerah. Sampai puluhan menit kemudian dia menemukan sebuah ruangan. "Hanna?"

"Rakha!" Suara yang dikenalnya itu ternyata hanya berasal dari sebuah tape recorder. Rakha memungut benda sialan itu, tangannya mengepalkan dendam. Dia lalu melemparkan benda itu hingga hancur berkeping-keping. Rakha berteriak, "Keluar kau bedebah sialan!"

Tidak berselang lama, terdengar tepuk tangan yang cukup mengirim ngeri dar belakang punggung Rakha. Cowok itu spontan berbalik badan, terlihatlah sejak itu gerombolan pria berbadan kekar. Tidak hanya satu, tapi ada sampai lima orang yang berpostur gagah perkasa seperti bintang iklan KukuBima.

"Barisnya rapi bener, kayak lagi mau Agustusan!" Rakha mulai berceloteh, berusaha mencairkan suasana yang entah kenapa hawanya jadi menegangkan seperti film-film aksi, padahal sebenarnya mari Rakha akui kalau dirinya tidak tahu bisa atau tidak mengalahkan manusia sebanyak ini dengan tangan kosong. "Ayo!"

"Bacot!" Salah satu mereka memulai pukulan. Rakha tidak sanggup menangkisnya, hingga baru saja mendapatkan serangan satu kali dia sudah tersungkur sempurna. Rakha tertawa miris ketika orang yang satunya menarik kerah kemejanya hingga dia berdiri. "Percuma ganteng, kalau letoy banget tenaganya kayak banci!"

Bugh! Rakha lantas melayangkan tonjokan mautnya setelah mendengar hinaan itu, semua kaget dengan bogem yang tiba-tiba itu. Rakha merasakan emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun. Dia mengambil acak sebuah bongkahan kayu, memukulkan balik pada orang-orang yang berusaha menyerangnya.

"Sial!" Murka orang terakhir yang belum pernah melawan Rakha, dia melihat para anak buahnya yang masih sadar namun dibuat tumbang oleh lelaki berlesung pipi satu itu. Kemeja Rakha sudah banjir keringat. Ada beberapa bercak darah yang tercipta. "Mati lo sekarang juga!" ancamnya sembari mengeluarkan pisau ke udara.

"YA TUHAN, RAKHA KAU BENERAN ADA DI SINI?!"