webnovel

AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN

Rakha kedatangan gadis yang begitu familiar di kantor tempatnya bekerja. Bukan mantan atau sejenisnya, melainkan dia hanyalah adik dari sahabatnya sendiri, Edwin. Gadis itu cuek, pemarah dan cenderung benci bersosialisasi. Dia bahkan pura-pura tidak mengenal Rakha, ketika diajak berbicara untuk pertama kali. Hanna memiliki kekasih yang berhasil merantai geraknya sejak dia kuliah. Bersama Tristan itu sakit, tapi tidak bersama Tristan jauh lebih sakit, lantaran pria itu memegang banyak rekam jejak hubungan intim mereka. Dia diperlakukan buruk, tapi bodohnya, Hanna tetap mencintai sang kekasih. Sampai pada suatu ketika Hanna kewalahan menghadapi Tristan, dia dibuat terluka parah secara tidak sengaja akibat obsesi pria itu. Lalu Rakha yang menemukan Hanna berantakan, berinisiatif untuk menawarkan bantuan. "Gua bakal bantu lo lepas dari cowok bejat itu, dengan satu syarat. Gimana?" "Boleh, setuju." Meskipun ragu, tapi tidak ada salahnya bagi Hanna untuk mencoba. Sekalipun syarat yang diajukan Rakha tidak ada bedanya, sama gilanya dengan mengajak 'berteman' dalam tanda petik termasuk di atas ranjang. "Hanya sebatas teman, tidak boleh ada cinta bukan?" Rakha yang si anti komitmen, langsung mengangguk. Sedangkan Hanna merasakan kesepakatan ini pelan-pelan merobohkan pertahanan dirinya. Seperti kebodohan yang terulang, Hanna malah mencintai bajingan lain, dan itu Rakha orangnya. Teruskan membaca pergerakan mereka, untuk mengetahui kelanjutannya. Eksklusif! Hanya di AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN.

GUMMYP · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Cable

Karena tidak kunjung ada jawaban yang pasti dari Tristan, Hanna berjalan mendekati cowok yang tengah memegang ponselnya tersebut. Mungkin untuk sekedar memeriksa, siapakah yang menghubungi Hanna. Biasanya sih begitu. Tidak tahu kalau sekarang. "Jelaskan dia itu sebenarnya siapa?"

"Maksudnya?" Hanna belum mengerti apa yang sedang dibahas oleh Tristan. Hanna mendongak menatap wajah Tristan yang mengalami perubahan. Tristan menatap Hanna balik tepat di mata. "Siapa yang kamu maksud dengan siapa itu, Tris?"

"Jangan pura-pura gak ngerti."

"Aku beneran gak ngerti, sayang. " Hanna mencoba untuk lebih bersabar.

Sementara sekarang terlihat sekali kalau Tristan sangat jemu kepada Hanna. Dia memalingkan muka sambil mengantongi sebelah tangannya di kantong celana. Lalu, tangan yang lainnya masih memegang erat ponsel milik gadis itu. "Siapa Rakha?"

"Rekan kerja aku."

"Terus?"

"Temannya Edwin."

"Terus?"

"Cuma itu. Selebihnya kita gak ada apa-apa, Tris." Hanna mendongak guna melihat wajah kekasihnya yang sedang murung ini. Dia membanting ponsel Hanna ke tembok yang ada di belakang tubuh dia. Keras sekali bunyinya, karena memang dilemparkan kuat-kuat sampai Hanna refleks menutup matanya sekilas. "Tristan, please..."

"Kau memohon untuk apa, Hanna?" Tristan mengarahkan paksa dagu perempuan itu untuk melihat ke arahnya. "Katakan yang sejujurnya. Kalau mau masih bertemu dengan keluarga besarmu itu!"

Hanna meringis ketika merasakan pipinya mulai dicengkeram jauh lebih keras. Jangankan menjawab, untuk bernapas dengan normal pun sekarang rasanya sulit sekali. Tristan menarik Hanna menuju salah satu laci, tanpa melepaskan tautan jemari panjangnya atas fitur wajah Hanna.

"Izinkan aku buat pergi..." lirihnya.

Tristan dengan entengnya menjawab, "Aku tidak mengizinkan sama sekali."

Lalu pada detik berikutnya, sebuah kabel ties tahu-tahu sudah melingkar mesra di pergelangan Hanna. Pergerakannya secara spontan terbatasi. Tidak lupa, Tristan juga menutup mulut mulut gadis itu dengan lakban. Mata Hanna membulat, seakan ia tengah bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Tristan kepadanya.

Sudah cukup trauma yang Hanna dapat sedari kecil dari Johnny, bayang-bayang pukulan pada masa tersebut kini terpampang nyata dalam pribadi Tristan. Lelaki itu memaksa dia untuk berjalan. Hanna berontak sekuat tenaga, ia takut, ia panik. Hanna tidak ingin berakhir mengenaskan pada hari ini dengan begitu saja. Tristan berucap dingin sebelum menyeringai, "Take your punisment baby..."

Hanna menggelengkan kepalanya. Mata dia mulai berkaca-kaca, ketika menyadari tenaganya kalah jauh dari Tristan. Tidak tahan dengan perlawanan kukuh Hanna, Tristan pun melayangkan sebuah tamparan keras pada pipi hingga Hanna tersungkur di bawah lantai.

Sangat sulit menyeimbangkan diri ketika dua tangan terikat begini. Sebelum wajah Hanna bersentuhan dengan sempurna dengan lantai, Tristan telah dengan cepat menarik rambut panjang gadisnya itu.

Wajah Hanna memang terselamatkan, tapi berganti jadi nyeri seperti kulit kepalanya dapat copot sewaktu-waktu. Hanna berurai air mata. Tristan melepaskan lakban yang merekat di mulut Hanna dengan kasar. Rupanya, tidak asik berceloteh sendiri tanpa mendengar suara tangis Hanna.

"Jalan ke tepian tempat tidur..." suruh Tristan. "Jangan melawan supaya tidak terlalu sakit."

"Tapi Tris—"

"Lakukan saja apa kataku!" Hanna yang terlanjur gemetar hanya bisa menurut dengan pasrah.

Matanya lagi-lagi ditutup. Dia tidak bisa melihat apapun selain merasakan kalau pakaian bawahnya diturunkan. Lalu, Tristan menginjeksikan sesuatu; semacam cairan ke bagian belakang sana. Tubuh Hanna bereaksi jauh lebih cepat. Dia menahan erang. "Tris, i fell burn inside..."

"Memang begitu seharusnya," kata Tristan. Dia tersenyum puas saat melihat bulir-bulir keringat berjatuhan dari kening Hanna. Dia mengikat rambut perempuan itu. "Rasanya gerah sekali, bukan? Aku menaruh dosis paling tinggi untukmu."

Hanna bisa gila, otot-ototnya makin menegang—bahkan lututnya, hampir tidak bisa berdiri dengan benar lagi sekarang. Bicaranya terengah-engah. Karena memang begitulah dampak hebat dari fluid stimulus yang diberikan Tristan. Made in Japan.

"Tristan..." rapal Hanna ketika jemari dingin pria itu membelai permukaan kulit wajahnya, dia mendapatkan sensasi yang tidak biasa ketika perlakuan tersebut tidaklah seberapa. "Jangan siksa aku begini."

Belasan menit berselang, tubuh Hanna serasa dibanjiri keringat dengan intensitas yang lebih jauh jenuh. Dengan kabel ties yang mengekang tangannya, Hanna bahkan tidak bisa menanggalkan pakaian dengan mandiri. Itu membuat Hanna semakin frustasi baik secara lahir maupun biologis.

"Kenapa, sudah tidak kuat?" Tristan sungguh menanyakan hal yang tidak perlu. Dia sengaja mengulur waktu sebanyak mungkin. Ingin menangis, namun Hanna tidak bisa. Maka, ketika Tristan mendekat, aroma tubuhnya tercium, dia mengharapkan Tristan berbuat lebih. "Hanna kau menyadari kesalahanmu?"

"I-iya..." jawabnya dengan susah payah. "Please, do it for me."

"Baiklah, tapi tidak di sini sweetheart!" ucap Tristan kelewat manis.

Dia memangku gaya bridal gadisnya itu, tapi bukan dibawa ke tempat tidur. Melainkan keluar dari vila tersebut. Hanna masih sibuk mengontrol seluruh kinerja sarafnya yang berhamburan. "Kita berangkat..."

"Kemana?"

"Kamu juga akan tahu nanti, Na!" Tristan tersenyum senang melihat Hanna tidak berdaya dalam kuasanya. Menyetir dengan satu tangan, lengan lain pria itu mulai menghadiahi pijatan-pijatan lembut di tubuh gadisnya. Hanna mengigit bibir bawah. "Lihatlah, kau sangat bergantung padaku, Na. Kau tidak akan bisa pergi begitu saja setelah ini. Kau milikku seorang..."

Hanna mengangguk pasrah. Tristan menghentikan kendaraan mereka di tepi danau, tempat yang sebelumnya pernah mereka kunjungi. Tempat di mana Hanna ditinggalkan. Di sini, Tristan menanggalkan pakaian atas Hanna. Tubuhnya sudah berkilau akibat peluh. Dia menuntun Hanna keluar. "Ayo kita berenang!"

Hanna terkesiap. "Di sini?"

"Tentu saja, bukannya kau sedang kepanasan?" Tristan bersikap acuh tak acuh. Dia melepaskan kaos hitam santai berikut celana jeans senada yang Tristan pakai semalam. Laki-laki itu menggigit kabel ties yang mengekang pergelangan Hanna, sebelum meloncat lebih dulu ke dalam air. "Jump!"

"I can't swim right no—"

"Trust me, Hanna. Kamu bakalan baikan setelah ke sini. Come on, sweetheart. I will take care of you..." Tristan merentangkan tangannya perlahan di bawah kaki perempuan itu, merangkul lembut, membuat Hanna dengan bodohnya menaruh kepercayaan untuk kedua kalinya. Dia melingkarkan erat lengan di leher Tristan. "Good girls..."