webnovel

AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN

Rakha kedatangan gadis yang begitu familiar di kantor tempatnya bekerja. Bukan mantan atau sejenisnya, melainkan dia hanyalah adik dari sahabatnya sendiri, Edwin. Gadis itu cuek, pemarah dan cenderung benci bersosialisasi. Dia bahkan pura-pura tidak mengenal Rakha, ketika diajak berbicara untuk pertama kali. Hanna memiliki kekasih yang berhasil merantai geraknya sejak dia kuliah. Bersama Tristan itu sakit, tapi tidak bersama Tristan jauh lebih sakit, lantaran pria itu memegang banyak rekam jejak hubungan intim mereka. Dia diperlakukan buruk, tapi bodohnya, Hanna tetap mencintai sang kekasih. Sampai pada suatu ketika Hanna kewalahan menghadapi Tristan, dia dibuat terluka parah secara tidak sengaja akibat obsesi pria itu. Lalu Rakha yang menemukan Hanna berantakan, berinisiatif untuk menawarkan bantuan. "Gua bakal bantu lo lepas dari cowok bejat itu, dengan satu syarat. Gimana?" "Boleh, setuju." Meskipun ragu, tapi tidak ada salahnya bagi Hanna untuk mencoba. Sekalipun syarat yang diajukan Rakha tidak ada bedanya, sama gilanya dengan mengajak 'berteman' dalam tanda petik termasuk di atas ranjang. "Hanya sebatas teman, tidak boleh ada cinta bukan?" Rakha yang si anti komitmen, langsung mengangguk. Sedangkan Hanna merasakan kesepakatan ini pelan-pelan merobohkan pertahanan dirinya. Seperti kebodohan yang terulang, Hanna malah mencintai bajingan lain, dan itu Rakha orangnya. Teruskan membaca pergerakan mereka, untuk mengetahui kelanjutannya. Eksklusif! Hanya di AKU MILIKMU UNTUK DIJINAKKAN.

GUMMYP · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Being

Untuk yang sudah bekerja, masih tinggal di rumah orang tua sekaligus keluarga besar. Bagaimana apakah mental anda aman? Mungkin itu yang akan ditanyakan Hanna, kepada rekan kerja wanita yang lain—seandainya dia punya. Edwin berseru, "Cepetan masuk!"

"Iya," sahut Hanna.

Memutari mobil Edwin guna duduk di kursi penumpang paling depan, kakaknya itu paling tidak suka kalau saat mereka bepergian berdua Hanna duduk di kursi paling belakang, katanya Edwin bukanlah supir pribadi Hanna. "Kepikiran tidak, anda?"

"Soal apa?" Hanna mendadak bingung. Edwin diam-diam memutarkan bola matanya dengan malas, ketika Hanna malah berlagak tidak tahu abangnya ini sedang membahas apa. "Voice phising itu cuma ulah orang iseng aja."

"Cuma kata lo?" Edwin meradang. Dia keluar dari area apartemen yang ditinggali Rakha, melesat ke jalan raya yang kendaraannya masih jarang-jarang. Tidak semacet pada hari kerja. "Hanna, lo itu habis kena pukul orang yang tidak dikenal. Gimana kalau sampai mati?"

"Iya tahu. Tapi, kenyataannya tidak mati bukan? Sudah, gue gak mau bahas itu lagi..." Hanna melipat kakinya hingga jadi duduk bersila, ingin tidur sebentar agar sarafnya tidak terlalu tegang. Hanna memejamkan mata sembari membantingkan kepalanya ke belakang jok. "Cukup jangan kasih tahu mama papi saja, bakalan ribet lagi urusannya."

Edwin terdiam untuk beberapa saat. Ingin rasanya dia membawa mobil sekencang mungkin sekarang, kalau saja tidak ada nyawa lain yang duduk di sampingnya. Kenapa Hanna bisa bersikap tenang-tenang saja? Padahal, kejadian yang dia alami bisa berlanjut ke tingkat yang lebih serius.

Duduk permasalahannya, masih pada siapakah orang yang berniat buruk pada adiknya tersebut? Menilik bagaimana keluarga Hernandez memiliki banyak relasi bisnis.

Edwin dibuat pusing dengan isi kepalanya sendiri, takut berbuat kesalahan di perusahaan Johnny, takut kalau secara tidak sadar ketika memperebutkan tender dia malah mengundang para saingannya di bidang yang sama; menyimpan dendam kemudian menargetkan ke Hanna.

"Astaga, kenapa gue sampai mikir sejauh itu?" desisnya sembari memutar roda kemudi dengan mulus. Melewati tikungan yang tidak terlalu tajam. Dilihatnya sejenak Hanna yang mungkin tadinya pura-pura memejamkan mata, sekarang jadi tidur betulan. "Sebenarnya apa aja yang lo lakuin tanpa sepengetahuan gue, Na?"

Gadis itu tidak menjawab. Edwin membuang napasnya perlahan. Sampai puluhan menit kemudian barulah mereka sampai di depan rumah, Hanna belum bangun. Edwin telah mematikan mesin berikut keluar dari mobil.

Wajah teduh Hanna yang sedang terlelap itu, membuatnya urung sejenak untuk menjahili sang adik. Dia membuka pintu pelan-pelan. Berhubung cuaca pagi ini sangatlah cerah, dia mendadak dapat hidayah untuk menggendong Hanna.

"Hmm, sudah sampai ya..." kata Hanna. "Kenapa guenya gak dibangunin sih, Edwin?"

Belum apa-apa Hanna sudah menggeliat sadar. Tangan Edwin segera menjauh dari sana, ganti jadi memerankan peran sebagai kakak yang seakan sedang bertanduk setan di kepalanya. Dia berkacak pinggang. "Malas. Tadinya udah mau mau gue anterin aja lo ke Penjaringan!"

"Buat apatuh?" Hanna menautkan alisnya di tengah.

Edwin jahil. "Buat nganterin lo ke Grand Heaven."

"God, your language Edwin!" Hanna manyun sepanjang Tol Cipularang. "Words is prayers..."

Gadis itu berjalan lebih dulu, ia menjadi sensitif dalam waktu singkat. Edwin merasa sedikit bersalah ketika melihat reaksi Hanna yang begitu. Bercandanya mungkin kelewatan. Sekedar info saja mengenai Grand Heaven itu merupakan rumah duka atau tempat menyemayamkan jenazah baik sebelum dikremasi maupun dikubur.

Sehingga rumah pribadi keluarga yang ditinggalkan akan jauh lebih tenang. Edwin segera menyusul ke dalam rumah. Dia menghampiri Hanna yang sedang berdiri di depan kulkas, gadis itu meminum susu kotak rasa strawberry miliknya.

"Gak apa-apa. Sumpah gue gak apa-apa," rapalnya ketika melihat Hanna meminum susu favoritnya sejak kecil tersebut. Biasanya Edwin akan murka jika stoknya diganggu orang lain, bahkan jika itu adalah Johnny sekalipun. "Asal lo memaafkan candaan gue barusan, Na."

"Saya memaafkan, namun bukan berarti saya dapat melupakannya dengan mudah..." Hanna terdengar sedih sekali.

Terlihat dari gaya bicaranya yang melembut, sekejap Edwin lupa jika adiknya ini semasa remaja sempat memiliki mental illness. Hanna murung, Hanna tidak bersemangat, Hanna membuat Edwin semakin tertikam rasa bersalah. "Ya Tuhan, apa yang telah gue lakukan sama lo. Sekali lagi gue minta maaf..."

Edwin menerjang tubuh mungil Hanna. Menenggelamkannya dalam pelukan hangat Edwin, ketika tatapan gadis itu mulai kosong tanpa sebab. Hari-harinya pasti belakang ini sangatlah berat dan benar beberapa saat kemudian gadis Hanna terisak pelan.

Pertahanan dia hancur. Keluarga dan realitas adalah tembok air mata yang sangat rentan bagi Hanna. Dia tidak bisa lagi membendung semua yang ia pendam kuat-kuat selama ini. Edwin mengeratkan rengkuhan sekaligus mengusap punggung Hanna.

"It's is ok, to not feel ok!" bisik Edwin tepat di telinga perempuan itu.

Dia tidak jago menenangkan orang lain, tapi Elisa sempat menjelaskan kepada Edwin kalau perempuan terkadang tidak perlu ditanyai banyak hal mengenai alasan kenapa mereka menangis. Mereka hanya perlu didengarkan sambil diberi tempat bersandar. Belasan menit kemudian. "Anjir, Hanna. Jangan lap ingus di kaos gue yang ini dong!"

"Hiks, ini yang Prada?"

Edwin mengangguk prihatin.

"Baguslah," kata Hanna lagi. "Gue semakin tidak ingin buat berhenti menyeka ingus gue dengan ini..."

Dalam batinnya Edwin tengah merapalkan beragam ilmu kesabaran. Ia yakin beban hidup ini tidak akan berlangsung lama, karena Puji Tuhan. Bel pintu rumah mereka mendadak berbunyi singkat disusul bunyi 'bip' dari kunci otomatis.

"Itu Mama kan, Win?" Hanna antusias menarik dirinya dari Edwin. Dia berlari seperti anak kecil dari dapur menuju ruang tengah. Dari sana yang muncul bukan Elisa dan Johhny. Senyum Hanna terkembang sempurna. "Kak Misel?"

"Iya, aku bawa chicken wings pakai saus ektra pedas. Mau makan bersama, tidak?" Misellia mengangkat kantong keresek yang ia maksud ke udara. Logo salah satu restoran lokal yang dulu sempat viral di jagat maya. "Edwin bilang kita soal makanan satu selera..."

Dia menengok sang abang di belakang. Tersenyum puas dan memberi satu anggukan yakin kepada pacarnya Edwin tersebut. Bisa dipastikan setelah ini, mood Hanna akan melonjak dengan pesat. Terima kasih semuanya.

"Mbak pacar gue, memang paling bisa diandalkan." Edwin menyombongkan diri.