webnovel

Secukupnya Saja

Rasa iri yang membendung di hati membuatku ingin menjerit kesakitan. Sungguh sedih rasanya saat membayangkan semua orang bisa merasakan kesenangan pribadi, kapan pun dan dimana pun. Mungkin aku yang kurang bersyukur atau mungkin tuhan yang kejam padaku. Selalu saja pikiran jahat seperti itu berbisik padaku tiap kali aku hendak berkomunikasi dengan orang lain. Bagaimana tidak? Lawan bicaraku saja selalu terlihat asyik dengan ponselnya. Sedangkan aku, orang tuaku bahkan tidak memperbolehkanku menyentuh alat elektronik tersebut, katanya sih bakal bikin ketagihan.

Untungnya aku punya seorang sahabat yang bernama Ahmed, tapi aku lebih suka memanggilnya Mamat. Tidak ada alasan khusus, kami sudah berteman sejak TK, jadi kurasa tidak masalah jika kupanggil dia dengan nama yang sedikit melenceng. Dia adalah anak orang kaya, rumahnya bertingkat 3 lantai, lebarnya pun seperti 3 rumah berjejer, 2 mobil dan 6 motornya terparkir rapi di bagian kiri rumahnya. Meski begitu Mamat bukanlah anak yang manja, ia tetap rajin belajar juga membantu orang tuanya walaupun di rumahnya sudah ada 3 pembantu yang bekerja secara bergantian selama 24 jam. Sifatnya yang disiplin membuat penampilannya begitu elegan, rambut hitamnya yang tertata rapi, kulit yang terlihat lebih putih jika dibandingkan dengan orang Sumatra pada umumnya, pakaian yang dikenakannya pun tak pernah terlihat ada yang kusut, sepatunya saja seperti dipoles setiap hari (selalu tampil mengkilap seperti baru).

Sebelum berangkat sekolah, jam 8 aku pasti sudah dalam perjalan untuk menjemput Mamat. Kelas 3 SD Nemesus memiliki jadwal masuk jam 9, jadi kuputuskan untuk berangkat lebih awal. Lambat laun sifatku juga mulai disiplin seperti Mamat. Memang sih Mamat punya ponsel, tapi ia sungguh pengertian. Ia rela mematikan ponselnya tiap kali ia bersamaku, karena inilah rasa bersyukurku meningkat. Tidak kusangka tuhan memang sudah mencukupkan nikmat tiap hambanya, tidak ada kata sepenuhnya tersiksa jika kita mengingat semua pemberian tuhan.

Aku dan Mamat sering bersama sepanjang hari, hal ini membuatku hanya malam harinya saja berada di rumah. Sisa waktuku kuhabiskan untuk berada di sekolah dan di rumah Mamat. Selain belajar bersama, kami juga memainkan banyak hal, maksudku permainan tradisional, seperti kelereng, lompat tali, engklek, dan lain sebagainya. Mamat benar - benar anak yang asyik, aku tidak akan melupakannya.

Sebenarnya untuk masalah ponsel, aku sudah membujuk kedua orang tuaku sedari dulu. Nilai rapotku juga bagus - bagus, pekerjaan rumah selalu kukerjakan. Bahkan aku sering membantu kedua orangtuaku, seperti merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel lantai, menyuci piring. Meskipun hal baik terus kulakukan, tetap saja permintaanku itu tidak dituruti.

Mungkin terlihat biasa, tapi memang aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk memendam rasa iri. Tiap kali aku berjalan pulang dari rumah Mamat, selalu saja ada orang - orang yang begitu santainya memainkan ponsel sambil berjalan, nongkrong di pinggir jalan ataupun warung. Aneh, adalah kata ungkapan yang tepat jika kuperhatikan mereka dengan seksama, jelas - jelas sudah terdengar adzan maghrib, tapi mereka seakan tidak menghiraukannya (ini negara mayoritasnya muslim lo). Memang sih suara - suara dari tiktok, youtube, instagram, banyak sekali trendi yang sepertinya seru (challenge hashtag blablabla), sayangnya aku tidak bisa ikut maupun mengetahui lebih tentang detailnya, yah… kalian pasti tau alasannya.

Hari demi hari kujalani, bulan demi bulan kunantikan, tahun demi tahun kutetap memanjatkan doa. Hingga pada akhirnya aku berhasil memenangkan sebuah kuis berhadiah dari tontonan kesukaanku, motoGP. Hadiah uang tunai 2 juta rupiah tersebut kupakai untuk membeli ponsel, meskipun dibilang kentang karena hanya memiliki ram 4gb. Tak masalah bagiku, karena yang terpenting adalah bisa ikut trendi lewat media sosial.

Orang tuaku seperti tak memedulikan tentang ponsel baru ini, kupikir maksudnya itu tidak masalah yang terpenting nilai tidak boleh anjlok. Mamat saja kaget dengan penampilanku yang makin bergaya dengan kacamata hitam, jaket winter dan jeans robek.

"Hai Mamat, lihat ini! Keren bukan?" aku menunjukkan gaya pakaian baruku saat hari Minggu di rumahnya.

"Heh… sebenarnya aku tidak bermaksud untuk mengejek, tapi sejujurnya itu terlihat agak aneh."

"Ini fashion, tampil lebih bergaya!"

"Dari pandanganku ini bener - bener berbeda banget dari kamu yang biasanya."

"Ow, ayolah… aku hanya ingin mencoba seperti orang - orang pada umumnya."

"Aku tidak mengkritikmu, ini hanyalah pendapatku, selebihnya terserah kau saja," setelah Mamat mengatakan kalimat itu, pandangannya jadi lebih sinis dari biasanya. Kurasa perubahan ini memang tidak cocok untukku, tapi aku tidak terlalu mempedulikan pendapat orang sekitar. Aku akan meneruskan hal yang aku sukai.

Sudah seminggu kami tidak bertemu, tapi memang aku yang tidak berkunjung ke rumahnya untuk berangkat bersama maupun bermain. Kami sudah SMA, berangkat sendiri ke sekolah merupakan hal biasa, lagipula Mamat sudah mulai diantar ke sekolah naik mobil oleh ayahnya sejak SMP. Diriku kini rasanya selalu disibukkan oleh livestreaming rutin tiap malam hari, jelas karena pengikutku sudah mencapai 21 ribuan. Masalah pr atau belajar? Pr bisa dikerjakan besok pagi bersama teman sekelas, belajar secukupnya saja (kalau ada ulangan).

Bel sekolah berdering bersamaan dengan suara kicauan burung di sore hari bergegas aku berlari untuk segera, sesampainya di gerbang sekolah, aku mendengar suara lantang Mamat memanggilku dari kejauhan, "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengamu!"

Sayangnya aku terlalu terburu - buru sebab hari ini aku ada janji untuk bertemu dengan teman - teman internetku di taman kota. Tanpa kusadari, ternyata hal ini dapat berakhir fatal. Kuputuskan untuk tidak menoleh ke Mamat sama sekali, namun teriakannya justru semakin keras. Seakan menutup telinga, aku mengayuh sepedaku sekuat tenaga untuk segera pergi dari tkp, "Oh astaga, aku sudah tidak sabar menantikan hari ini datang!" kataku dalam hati.

Keesokan harinya aku mendengar kalau Mamat sudah pindah sekolah. Kupikir teman sekelasku ini hanyalah seorang pembual, tapi saat pelajaran bk di jam pertama, sang guru mengatakan hal yang sama. Perasaanku berubah drastis, padahal kemarin aku baru saja bersenang - senang. Aneh, rasa khawatir dan gelisah tercampur aduk, nafasku jadi tak karuan. Seketika semua mata tertuju padaku, sang guru memanggil namaku berulang kali, namun kesadaranku kian menghilang. Yang ada dipikiranku saat ini hanyalah satu, "Sebenarnya apa yang hendak dikatakan Mamat kemarin?"

Time skip? Padahal yang kulakukan hanyalah berkedip, tapi kini kuberada di uks. Tidak salah ingat, langit - langit yang pertama kulihat memanglah uks, tapi aku tidak melihat seorang pun disini. Baru saja aku hendak melakukan peregangan, bel pulang sekolah pun berdering. Tak tau apa yang harus dilakukan, raut sedih ini tak bisa kusembunyikan. Lesu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat pulang sekolah.

Suara jangkrik di malam hari memanglah ramai, tapi entah mengapa kali ini terdengar merdu, hal ini membuatku bisa berpikir dengan tenang. Seketika teringat kalau aku sudah punya banyak pengikut di media sosial, "Mungkin ini bisa digunakan untuk membantuku mencari informasi tentang keberadaan Mamat sekarang." Awalnya kupikir begitu, namun yang kumiliki hanyalah foto kami saat masih SMP. Terserahlah, yang penting aku sudah berusaha, sisanya tinggal berdoa agar tuhan membantuku.

Dimata orang lain bisa jadi diriku kelihatannya biasa saja, padahal sebenarnya perasaanku ini sangat gelisah. Ini adalah rasa bersalah karena tidak memedulikannya apalagi disaat kami akan berpisah. Bodohnya aku, padahal dari dulu ia selalu memperhatikan emosiku, sebisa mungkin ia meladeniku agar aku bisa bersyukur atas kehidupan yang telah diberikan oleh tuhan. Karena perilakunya yang rendah hati, secara tidak langsung Mamat sudah berjasa dengan mengajarkanku agar tak mudah iri dengan orang lain, aku tidak akan melupakannya.

2 minggu sudah berlalu, akhirnya ada pengikutku yang mengirimiku pesan pribadi. Ia memberi tauku alamat beserta foto Mamat saat ini. Responku yang pertama adalah melompat kegirangan sembari memuji tuhan sebab doaku terkabulkan. Lalu sebagai bentuk terima kasihku pada si pemberi informasi, ingin kutransfer uang 50 ribu kepadanya, tetapi ia menolak. Sudahlah kalau memang dia ikhlas, yang harus kulakukan saat ini adalah menjadwal keberangkatanku ke tempat tinggal Mamat yang baru.

Saat hari Minggu tiba, aku bangun 2 jam lebih awal dari biasanya. Jelas ini karena perjalanannya yang akan memakan banyak waktu, bayangkan saja dari Padang ke Banten. Daripada menggunakan pesawat aku lebih memilih jalur air, keinginan besar tapi modal terbatas. Sebuah keberuntungan, karena orang yang mengayuh perahu jugalah orang yang memberikan informasi tentang Mamat lewat media sosial, namanya Satriya. Dengan keras kepala aku memberikan uang 100 ribu padanya sekalipun ia menolak, ia pun tersenyum dan berkata kalau ia akan mengantarkanku sampai bertemu dengan Mamat.

Sialnya di tengah perjalanan ada sebuah tragedi dimana ombak yang mengguncangkan perahu membuat ponsel Mamat terlempar ke dalam air. Sempat kebingungan sebab aku tidak pandai berenang, tapi Satriya justru meletakkan dayungnya dan langsung menerjang derasnya ombak. Aku panik, tapi itulah yang malah menjadi sebab seluruh badanku diam terpaku. Berselang setengah menit aku melihat banyak gelembung yang keluar dari dalam air, dengan segera aku mengambil dayung untuk mendekatkan perahu. Satriya berhasil keluar dari air dengan nafasnya yang ngos - ngosan, ponsel Mamat juga sudah ia dapatkan kembali.

Arti dari ponsel tahan air adalah tahan terhadap sedikit air seperti embun atau cipratan air, bukan berarti ponselnya akan aman jika tenggelam ke dalam air. Sempat kebingungan karena ponselnya tidak bisa dinyalakan, Satriya lantas mengulurkan tangannya lagi. Kukira ia sedang bergurau, tak kusangka ia mengatakan kalau ponselnya masih bisa diperbaiki oleh temannya, tapi khusus untukku saja ini tidak akan dimintai bayaran. Sekalipun kalau harus membayar sebenarnya bukan masalah, dompetku memang terlihat tipis sebab isinya ada 100 ribu x 10.

Sesampainya di pantai, kami langsung bertemu dengan temannya Satriya. Rumahnya berada di pesisir tapi ilmunya luar biasa. Perkataan dengan makna yang sama kudengarkan dari mulut yang berbeda, hebat sekali kebaikannya. Ternyata alasannya adalah karena dia merupakan pengikutku di media sosial, dia mengatakan kalau ia sangat menyukai setiap konten yang kuunggah. Memang sih biasanya aku mengulang materi yang kudapatkan dari sekolah untuk diunggah ke media sosial, tapi aku tidak ingat kalau aku pernah memberikan tutorial memperbaiki ponsel yang terendam air.

Sekarang aku paham, ia bisa menjadi pintar bukan karena bersekolah, tapi karena belajar lewat internet. Sekalipun ekonominya rendah, ia berinisiatif untuk memakai wi-fi gratis dari warkop. Sebelum jadi tukang servis ponsel, pekerjaan sehari - harinya adalah sebagai pemulung, ia tetap disiplin melakukan pekerjaannya samapi bisa membeli ponsel termurah seharga 500 ribu. Benar, itu adalah ponsel lama juga bekas dengan ram 500mb.

Matahari hampir terbenam, ponsel Mamat baru saja selesai diperbaiki. Aku keluar dari pondok kayunya sembari melambaikan tangan sebagai tanda terima kasih. Baru saja bersemangat dengan menarik nafas panjang, Satriya tiba - tiba menepuk bahuku dan memberitauku kalau Mamat sedang memandangi sunset di tepi pantai. Aku terdiam seakan tidak percaya, tapi Satriya mengatakan kalau ini adalah kebiasaannya Mamat sedari pertama kali ia pindah ke kota ini.

Perlahan kuberjalan mendekati Mamat, aku merasa sangat gugup. Saat aku hampir mendekatinya , terdengar isak tangis Mamat. Aku benar - benar merasa bersalah, kupikir hanya diriku yang merasakan rasa sakit ini. Lantas dengan percaya diri, aku pun memanggil namanya dengan lantang. Mamat terkaget dan langsung menoleh kebelakang, "Hah…? i-ini?! ini beneran kamu kan?"

"Iya, maaf ya saat pulang sekolah waktu itu aku tidak mendengarkan panggilanmu," ucapku sambil tersenyum malu.

"Ehm… astaga, padahal aku sudah berteriak sekuat tenaga."

"Aku tidak menyangka kalau hari itu akan menjadi hari terakhir kita bertemu."

"Bukan namanya hari terakhir kalau kita kembali bertemu sekarang, omong - omong… bagaimana kamu bisa tau kalau aku tingal disini."

"Ceritanya panjang," aku pun menceritakan seluruh kejadian mulai dari hari kepergian Mamat sampai hari ini. Tidak hanya itu, sembari menunggu mataharinya terbenam kami juga bernostalgia, canda tawa pun terukir di wajah kami.

Setelah langit menjadi gelap, Satriya datang untuk mengajak kami makan malam bersama. Rencananya aku akan menginap di rumah Mamat selama seminggu, lalu aku akan pulang (kami tetap akan terhubung dengan internet). Ah… hari ini adalah pengalaman yang menyenangkan, pertama kalinya bagiku keluar pulau. Ini juga menjadi pelajaran bagiku, tentang arti persahabatan maupun manfaat internet yang luar biasa.