webnovel

Sabina, Putri Sulung Naira

Naira duduk di dalam taksi, di dekat jendela, ia merasa tak tenang sedari keluar dari rumahnya. Sedari habis menikah dengan Gunawan, dia tidak pernah sekalipun keluar rumah tanpa meminta ijin dari suaminya itu, kecuali bila dia dan Gunawan pergi bersama. Tetapi ini adalah keputusannya setelah dia bertanya tentang penyakit Yogi pada Sabina.

Naira kembali melihat ponselnya. Dia membaca sekali lagi pembicaraannya dengan Sabina.

'Emangnya, Bapak kamu sakit apa? Dan dia dirawat di mana?'

'Kanker hati stadium 3. Rumah sakit Budi Mulia, Bu! Tadi pagi Bapak pingsan di kamar dengan mulut mengeluarkan darah, dan sekarang Bapak koma, masih ada di ruang ICU.'

Naira merasa iba membaca pesan yang dikirimkan putri sulung dari pernikahan pertamanya hingga dia tidak bisa menolak permintaan Sabina. Walau dia membenci mantan suaminya, tetapi masih ada rasa kuatir Naira yang terlihat saat ini. Kukunya saling beradu, kebiasaan lama yang tidak bisa dihilangkan bila dia gugup juga cemas.

Istri dari Gunawan itu sadar betul, bagaimana Yogi memperlakukannya dengan buruk. Namun, dia ingin mengesampingkan rasa sakit hati itu. Mengesampingkan demi kesembuhan dan kebaikan Yogi dan Sabina. Tapi kenapa? Kenapa ia yang harus diminta untuk merawat Yogi? Lalu di mana istri Yogi?

Hal itu yang terus menerus menjadi pertanyaannya saat ini yang mengganggu pikiran. Dia tidak mau hal ini menjadi salah paham antara Gunawan dan istri dari Yogi itu. Wanita itu menghela napas, matanya melihat keluar, lalu lurus ke dapan luar kaca depan.

Roda taksi terus berjalan, lalu belok kiri setelah pertigaan dan lampu merah. Jalan raya hari ini tampak leluasa dan bebas macet. Tak butuh waktu yang lama, taksi yang Naira tumpangi sudah berhenti di depan pintu lobby rumah sakit Budi Mulia seperti yang disebutkan anaknya itu di chat.

Naira turun setelah membayar uang ongkos taksi. Dia berdiri sejenak, ada rasa ragu saat ingin datang ke rumah sakit ini. Namun, dia tidak mau lagi dibenci anaknya. Sabina sedikit antipati padanya di chat. Naira merasakan, ada rasa benci Sabina, mungkin saja itu hanya perasaannya saja. Tetapi, dia merasakan seperti itu.

Hembusan napasnya terdengar sangat berat. Dia tidak tahu apakah keputusan ini adalah yang terbaik untuknya. Tetapi balik lagi ke Sabina, bagi Naira, Sabina adalah yang terpenting. "Mudah-mudahan Mas Gunawan tidak salah paham dengan apa yang kulakukan," kata Naira, dia kemudian melangkah masuk.

"Maafkan aku, Mas!" Suara hati Naira begitu lirih saat memantapkan untuk melangkah lebih jauh ke kehidupan mantan suaminya itu.

Di lobby, Sabina sudah menunggu. Namun, Naira tidak begitu mengenali bagaimana rupa putrinya itu. Sudah lama ia tidak memperhatikan tumbuh kembang Sabina semenjak dibawa Yogi saat ia berusia 3 tahun. Sekarang usia Sabina sudah menginjak angka 15 tahun.

"Ibu!" Suara itu mengalihkan pandangan Naira yang sempat celingukan di antara banyak orang berlalu lalang di depannya.

"S-Sabina?" Sebut Naira tergugup ketika netranya menemukan pemilik suara. Gadis itu sudah tumbuh dengan sangat cantik dengan rambut hitam tergerai dengan kulit seputih salju. Gadis itu berlari memeluk Naira yang belum pernah ia temui selama 12 tahun. Ia tidak pernah tahu seperti apa wajah ibunya, ia hanya tahu ibunya masih hidup. Berbeda dengan apa yang diucapkan Yogi padanya.

Naira pun sama, tidak bisa tidak dia merindukan putrinya yang terpisah selama dua belas tahun itu. Pelukan erat Naira seolah mengobati rasa rindu yang selama ini dia pendam. "Sabina, Ibu tidak menyangka kalau Ibu bisa bertemu kau lagi, Nak!"

"Sabina juga, Bu! Sabina tidak menyangka, ternyata Ibu masih hidup!" celetuk Sabina membuat Naira sedikit kaget.

"Memangnya, Bapak kamu tidak pernah bercerita tentang Ibu?"

Sabina menggeleng.

"Bapak selalu bilang, kalau Ibu sudah meninggal!"

Degh!

Jantung Naira seketika berhenti sejenak. Kata 'Meninggal' membuat hati Naira sakit. Tidak pernah terpikirkan di benaknya Yogi akan mengatakan hal tidak mengenakan tentang dirinya.

"Pantas saja Sabina tidak pernah mencariku, ternyata Mas Yogi sudah menganggapku meninggal!" bisiknya tak habis pikir dengan pemikiran mantan suaminya yang jahat padanya. "Tapi ... kenapa Sabina bisa tahu aku masih hidup?" lanjutnya membatin.

"Lalu, bagaimana kau bisa tahu Ibu masih hidup, Sabina?" selidik Sabina penasaran.

"Nenek!" sebut Sabina. Dan ucapannya selalu saja membuat Naira terkejut.

"Nenek?"

Sabina mengangguk.

Naira mengingat pernah bertemu mertuanya saat sedang berbelanja di mall. Kebetulan ia bertemu saat hendak pergi ke kamar mandi. Naira mengingat dirinya sempat mengobrol satu sama lain. Sayangnya, Ibu mertuanya mengaku tidak mengetahui keberadaan Yogi dan cucunya.

Wanita itu menghela napas, "Rupanya Ibu membohongiku, juga!" gumamnya pelan. Ia benar-benar merasa ditipu dari segi apapun yang ia rasakan dulu, selama pernikahannya dengan Yogi bertahan.

"Ayo Bu, kita temui Bapak!" ajak Sabina menarik tangan Naira.

"Tunggu! Apa nanti istri Bapakmu tidak marah sama Ibu? Ibu kuatir akan jadi salah paham!"

Sabina menggeleng. Ekspresinya berubah sangat cepat. "Mamah Jessica tidak akan mempedulikan kami. Semenjak Bapak sakit, Mamah Jessica jarang mengurusi Bapak!"

"Jessica? Jadi dia ... ah ... tidak mungkin, mana mungkin Jessica menikah dengan Mas Yogi," bisik batinnya penuh tanda tanya dengan nama wanita itu.

"Bu, Ibu tidak apa-apa kan?"

"Aah ... iya. Ibu tidak apa-apa. Ya sudah, lebih baik kita cepat ke ruangan Bapakmu," ajak Naira, tidak ingin mengingat masa lalu yang membuat hatinya merasakan sakit.

Dia dan Sabina bergegas keruangan bertuliskan ICU. Di depan ruangan itu, jantung Naira berdegup kencang. Sudah sekian lama ia tidak bertemu Yogi. Dia juga tidak tahu harus berkata dan berbuat apa padanya juga istri dari Yogi.

Sabina sudah berjalan lebih dulu, "Ibu, ayo masuk!" Naira mengangguk. Sekali lagi, dia menghela napas panjang. Butuh keberanian yang besar untuk menghadapi Yogi dan istrinya.

Naira digandeng Sabina, ada perasaan senang saat putrinya itu menggenggam jari jemarinya. Sudah sekian lama Naira ingin sekali menggenggam jari jemarinya sambil menebar senyuman seperti saat ini, walau sebenarnya Sabina sekarang tidak sedang tersenyum.

Di dalam ruangan, Naira sudah memakai pakaian hijau. Kedua netranya mendapati sosok Yogi terbaring lemah tak berdaya, laki-laki gagah yang pernah menikahinya kini dalam keadaan memprihatinkan. Naira mencari sosok istri Yogi di ruangan itu, sayangnya dia tidak melihat istri mantan suaminya itu.

Naira sangat penasaran siapa sebenarnya wanita yang Yogi nikahi setelah lima kali ketahuan selingkuh. Namun, Yogi justru menuduhnya selingkuh dengan Gunawan yang hanya sekali saja mengantarkannya pulang dan menyuruhnya berhenti bekerja. Kecurigaan Yogi yang berlebihan membuat ia terus menerus menuduhnya sebagai wanita yang doyan selingkuh.

Seketika itu juga, ingatannya kembali pada kenangan pahit yang membuatnya kembali merasakan betapa sakit hatinya. Kenangan yang selalu mendapatkan perlakuan buruk dari Yogi selama pernikahannya itu, dan Naira tidak bisa tidak melupakan semua itu dari ingatannya.

****

Bersambung..