Sekian hari telah berlalu, salah paham di antara mereka belum juga menemukan titik temu. Krisnanda belum juga menyerah, masih terus mencari tahu mengapa Sonya berubah seperti itu. Dia masih mengabaikan pesan dan teleponnya. Sesekali menerima balasan, tetapi hanya kata-kata yang dingin. Hari demi hari Krisnanda menanti, walau hanya sekedar pesan singkat dari Sonya, tapi dia tidak mendapatkannya lagi. Seolah Sonya tidak ingin bertemu dengannya lagi, tidak ingin tahu tentangnya lagi dan perlahan menjauh darinya.
Layaknya lubang yang semakin merongrong, Krisnanda mulai merasa kosong. Merasa begitu sepi, seolah-olah ada sesuatu yang menghilang dari dirinya. Dia merindukan Sonya. Merindukan tawanya, merindukan riang sapaannya, merindukan hangat tatap matanya. Hingga saat itu tiba, handphonenya berdering, dia menerima kabar yang nyaris menghentikan detak jantungnya. Dia begitu terkejut, pikirannya kalut. Tidak memikirkan apapun lagi, langsung bergegas menuju tempat tersebut.
Beberapa hari sudah Sonya sakit. Begitu banyak kegiatan di kampus ditambah lagi pikirannya yang tidak fokus. Dia masih memikirkan kejadian hari itu. Tanpa sadar, dia tidak memperhatikan kesehatannya. Badannya panas, kepalanya pusing. Obat yang dia minum, nampaknya tidak bekerja sama sekali. Sedikitpun tidak membaik, tetapi semakin memburuk. Tidak ada siapapun di rumah dan tidak mungkin baginya untuk meminta tolong pada Krisnanda. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit seorang diri, mengendarai motornya.
Dia memaksakan dirinya, mengendari motor pelan-pelan. Sesekali menepi, berhenti karena kepalanya semakin pusing. Semakin dekat dengan rumah sakit, karenanya dia terus mengendarai motornya walau masih terasa pusing. "Sebentar lagi aku sampai," pikirnya. Tetapi, kepalanya semakin pusing, serasa dunia pun ikut berputar, pandangannya semakin menghitam. Tidak bisa mengendalikan motornya lagi dan akhirnya terjatuh. Sonya tak sadarkan diri dan mendapatkan luka di beberapa bagian tubuhnya.
Melalui handphone Sonya, Krisnanda menerima telepon dari salah seorang yang menolong Sonya. Mengatakan padanya, bahwa Sonya mengalami kecelakaan dan tidak sadarkan diri. Dia sudah mendapatkan pertolongan dan dibawa ke rumah sakit dengan ambulance. Krisnanda bergegas, melaju secepat mungkin menuju rumah sakit. Dia sangat khawatir, tubuhnya gemetar, tangannya dingin, sedingin es. Dia tidak ingin kejadian itu terulang kembali, dia tidak ingin kehilangan lagi.
Sampai di rumah sakit, Krisnanda melihat Sonya terbaring lemah di sana. Dia belum sadarkan diri. Seluruh badan Krisnanda lemas, masih gemetar, berjalan perlahan mendekatinya. Duduk di samping tempat tidurnya, sambil terus menggenggam tangan Sonya. Doa terucap tiada henti, dia sangat ingin melihat sepasang mata itu terbuka dan menatapnya. Dia telah menghubungi orang tua Sonya yang tengah berada di Jawa. Mereka menitipkan Sonya padanya, karena esok hari baru bisa kembali ke Bali.
Krisnanda terus menggenggam Sonya, masih terasa hangat, sedikit menenangkan pikirannya. Kali ini dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi. Sampai kapanpun, tangan itu akan tetap dia genggam. Lama menunggu, dia terlelap di samping Sonya. Tidurnya tidak begitu nyenyak, terlihat jelas dia gelisah. Beberapa saat setelahnya, Sonya siuman. Ketika membuka matanya, dia mendapati Krisnanda meringkuk di sampingnya. Masih menggenggam erat tangannya. "Apa aku lagi mimpi? Rambutnya lembut juga," gumannya, terus membelai kepala Krisnanda. Dia terkejut karena Krisnanda tiba-tiba terbangun.
"Sonya, kamu udah sadar? Kamu nggak apa-apa kan? Masih sakit? Kasih tahu aku bagian mana yang sakit," ucap Krisnanda.
Sonya hanya terdiam, Krisnanda tak henti-henti menghujaninya dengan banyak pertanyaan.
"Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku kalau kamu sakit? Kan aku bisa nganter kamu ke rumah sakit," ucap Krisnanda, matanya berkaca-kaca. "Sebenarnya kamu anggap aku apa, kenapa kamu mengabaikan pesanku, kenapa kamu nggak jawab teleponku, kenapa kamu menjauh?" sebelum Krisnandan melanjutkan pertanyaannya, Sonya menyela.
"Aku tidak ingin menjadi pengganggu dalam hubunganmu dengan perempuan itu, Kris. Perempuan yang kamu peluk di rumahmu waktu itu," ucap Sonya, "Jadi aku memilih menjauh."
Krisnanda terdiam, "Apa Sonya datang waktu itu?" tanyanya dalam hati.
"Jadi kamu datang ke rumahku waktu itu? Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku dan kamu juga nggak mengabari aku kalau kamu udah di Bali?" tanya Krisnanda.
"Nggak ada gunanya aku ngasih tahu kamu. Kalau aku mengabari lebih dulu, pasti kamu menyembunyikan dia dari aku," ucap Sonya.
"Sonya, dengerin aku. Aku nggak ada hubungan apapun sama dia, ini semua hanya salah paham. Namanya Sindi, dia adik kandung dari mantan pacarku dulu. Dia cuma mampir. Waktu itu dia lagi nangis, aku peluk dia hanya untuk menenangkannya," jelas Krisnanda.
(Sonya hanya diam)
"Kenapa kamu nggak nanya ke aku? Pasti nggak akan ada salah paham kaya gini. Kamu tahu betapa khawatirnya aku karena kamu nggak bisa dihubungi. Hampir gila aku rasanya. Kamu tahu nggak, aku itu suka sama kamu, aku sayang sama kamu, makanya aku peduli sama kamu," ucap Krisnanda setengah berteriak.
Sonya hanya menatapnya, "Kamu tadi ngomong apa. Kris? Bisa kamu ulangi," pinta Sonya.
"Tadi aku bilang," Krisnanda terdian, dia mengalihkan pembicaraan, "Kamu pasti haus, aku beliin kamu minum ya. Kamu istirahat aja lagi," ucapnya, kemudian pergi berlalu.
Sonya tersenyum, dia mendengar dengan jelas setiap kata yang diucapkan Krisnanda. Dia menanyakannya lagi hanya untuk memastikan apa yang dia dengar. "Semoga ini bukan mimpi," harapnya.
Selama dirawat di rumah sakit, Krisnanda selalu menjenguk Sonya setiap hari. Kondisinya membaik, dia diijinkan pulang hari ini. Hanya ayah dan ibunya yang menjemput, sedangkan Krisnanda menunggunya di rumah dengan sebuah kejutan.
Sampai di rumah, dia disambut oleh Krisnanda dengan kue tiramisu di tangannya dan hadiah lain yang tertata rapi di atas meja. Ada cokelat, bunga dan boneka beruang berwarna pink dengan pita berwarna hitam.
"Selamat datang di rumah, Sonya," sambut Krisnanda.
Sonya langsung memeluknya, hampir saja kue yang dipegang Krisnanda terjatuh. Beruntung, dengan sigap ibunya Sonya memegang kue tersebut.
"Terimakasih banyak, Kris," ucap Sonya.
Mereka kemudian makan kue bersama, saling berbincang, bercengkrama dengan hangatnya. Setelah semuanya, Krisnanda meminta ijin untuk mengajak Sonya pergi ke pantai. Dia mendapatkan ijin, mereka berangkat. Bukan dengan motor japstylenya, tapi kini mereka pergi dengan mobil Toyota 86 yang Krisnanda beli setelah menjual motornya. Melaju bersama deru angin, mereka menuju tempat itu, tidak ingin terlewat senja yang menanti di sana.