webnovel

Chapter 18: Fasad yang dibangun bertahun-tahun

"Selamat pagi… Iris"

"Selamat pagi Marie.."

Ketegangan memenuhi koridor yang sepi. seseorang yang Marie coba hindari beberapa hari ini, Iris telah muncul di depan Marie.

"Iris, maafkan-"

"Engkau berminta maaf secepat kilat. membuatku heran apakah kamu bersungguh-sungguh berminta maaf Marie.."

"Aku benar-benar berminta maaf Iris.. "

"katakan padaku Marie..Apakah dengan tidak mengundangku, kamu merugikan diriku Marie? Apakah aku kehilangan sesuatu yang berharga karena tidak diundang ke petualangan kalian berdua di tengah hutan?

" Tidak. "

"Apa yang harus kamu meminta maafkan kalau begitu..?"

Marie kembali berminta maaf. Wajahnya tidak menghindar justru menatap balik ke arah Iris.

"Jika begitu, Tidak ada lagi yang perlu dikatakan Marie. Aku senang Kamu baik-baik saja.. Ayo kita kembali. Aku sudah bolos satu periode, siapa sangka seorang anggota keluarga kerajaan bolos? Lucu bukan?"

Iris melihat keseluruhan tubuh Marie. Mengeluarkan senyuman kering seolah mencemoohkan Marie.

"Iris, Aku tidak bermaksud untuk menghindarimu cuma karena.. "

"Tidak ada yang perlu dikatakan Marie!, Rorie sudah mengatakan semuanya padaku tadi pagi!"

Iris yang hendak pergi berbalik arah meninggalkan Marie menghentikan langkah kakinya setelah mendengar panggilan dari 'teman'-nya ini.

"Apanya yang keluarga kerajaan apanya yang.. "

Bergumam kecil, pikiran Iris sampai ke sebuah informasi baru yang dia dapat.

"Hahaha… Jadi begitukah alasannya aku diundang kesini. Ah 'Guru' memang selalu tahu apa yang ada di hatiku."

"Diundang? Apa maksudmu Iris?! "

Marie tercengang melihat respon dari Iris ini, Iris yang dia tahu jauh berbeda dari Iris yang dia tahu. Apakah ini Iris yang dia kenal?

"Iris.. "

"Simpan pertanyaanmu Marie, Aku selalu diriku. Haah… ini pertama kalinya aku berbicara tidak seformal ini di depan orang lain, biasanya di depanmu aku berlagak hanyalah seperti seseorang yang gemulai, seorang putri. iyakan? "

Marie tidak berani menjawab pertanyaan dari pertanyaan Iris.

"Sampai diimana Aku tadi..oh iya! Marie, bersungguh-sungguhlah di tes nanti.."

"..."

"Apakah kamu tidak mendengarkanku? Kamu mau aku memaafkanmu bukan? sungguhlah pada ujian standarisasi nanti.. Oke~"

Pernyataan dari Iris memberikan tekanan pada beban di benaknya Marie.

"Kurasa tidak ada lagi yang harus aku katakan, aku akan kembali ke kelasku Marie.. Sampai Jumpa…"

Mengembalikan nadanya menjadi seperti biasanya, Iris pergi terlebih dulu meninggalkan Marie di tengah koridor.

Marie melihat Iris yang pergi meninggalkan dirinya. Setiap langkahnya berwibawa untuk seorang keluarga diatur sedemikian rupa seolah telah ditanamkan selama bertahun-tahun.

.

.

.

Marie sampai ke koridor dimana kelas untuk murid pertama berada. Marie dan Rose menjadi murid kelas 0-A dan Iris memasuki kelas 0-B yang terletak bersebelahan.

"… "

"... "

Marie melihat Iris yang lanjut memasuki kelasnya tanpa berkata apapun lagi. Proses pembelajaran kelas yang tengah berlangsung, langsung terdiam dengan kedatangan Marie.

"Marie, Dari mana saja kamu Marie? ini sudah memasuki periode kedua?!. "

"Maaf buk Vivian, saya menerima panggilan dari kepala sekolah. Beliau menyerahkan surat ini kepada Anda. "

Menyerahkan suratnya kepada wali kelasnya, Vivian membaca isi surat tersebut selama beberapa saat dan kemudian berbalik ke Marie.

"Jika Nona Bianca menyerahkan ini, maka silahkan duduk Marie.."

Meletakkan surat yang diterimanya pada meja guru, Vivian membetulkan kacamatanya dan mulai menjelaskan materi di papan tulis.

Marie mendekati bangku-bangku murid hingga dia sampai ke meja di sebelah Rose tempat dia biasa duduk. Namun, Di meja itu kini diduduki seorang murid. Melihat Marie yang mendekatinya murid tersebut mencoba untuk memindahkan barangnya.

"Tidak.. Tidak Rimus aku akan duduk belakang saja. "

"Oke Terima kasih.. "

Berbisik dengan Rimus, Marie duduk di kursi bagian belakang yang sengaja kosong.

Marie mengenal Rimus sejak hari pertama kelas. Rimus tidak menonjol secara akademik atau pun dalam hal menggunakan sihir. Tapi satu hal yang membuat Marie mengenal Rimus.

Rimus sering mencuri pandang untuk melihati Rose. Mungkin ini sudah saatnya untuk laki-laki seperti dia menunjukkan ketertarikan ke orang lain.

"cowok.. "

'Heh. '

Tertawa dalam hatinya, Marie kembali menyambut materi kajian alam dan aritmatika yang dia pelajari di sekolah menengah.

.

.

.

3 jam pembelajaran berikutnya, bel periode istirahat Siang telah berbunyi. Vivian yang sebelumnya duduk di kursinya selama beberapa saat berdiri.

"Baiklah kurasa waktu telah menunjukkan akhir pertemuan kita.. Kalian bisa menyelesaikan soalnya di asrama. Aku tidak akan mengumpulkannya. "

Menjeda sejenak, Buk Vivian melanjutkan pembicaraannya.

"Kalian juga telah tahu apa yang terjadi kemarin, untuk itu selama beberapa saat semua komisi yang keluar dari kompleks akan ditiadakan hingga informasi berikutnya.. Ada pertanyaan? "

"... "

"... "

"... "

Kesunyian

"Baiklah kurasa itu saja, kalian bisa kembali ke asrama kalian. "

Membawa buku, berkas, dan surat yang dimilikinya, Buk Vivian keluar dari ruangan.

"""" Haah.. """"

Helaan nafas memenuhi ruangan.

Sesaat Marie hendak berdiri dari tempat duduknya, Rimus telah berada di depannya dan memberikan sebuah roti isi kepadanya.

"Ini, terimakasih atas mejanya.. "

"Oh, Terima kasih.. "

Marie menerima roti pemberian Rimus dengan senang hati. Dia makan sedikit di klinik namun, tidak cukup untuk makan paginya. Ditambah lagi, sekarang telah mencapai waktu makan siang, Marie akan menerima apa yang dia dapat.

Tapi, tanpa seperkiraan Marie, Rimus berbalik dan menyerahkan satu potongan lagi kepada Rose.

"Rose, Ini terima kasih untuk petunjuknya tadi"

'Oh!!! '

Marie nyaris menyampaikan isi pikirannya melihat siasat yang digunakan Rimus. Tapi Rose cukup melihat roti selama sekilas.

"Aku tidak bisa makan telur"

'Uh! Sayang sekali!! '

Tapi Rose justru mengambil potongan roti tersebut dan menyerahkannya ke Marie.

"Ini Marie.. "

"Terima kasih Rose, terima kasih juga Rimus"

"Ya… "

Sedikit murung Rimus menerima hasil ini dengan senyum. Tidak lama seseorang siswa mendatangi Rimus.

" Oi Rimus~ kamu tidak memiliki sepotong untuk teman dekatmu? "

"Uh.. Aku Punya 1 untukmu Travis"

Travis Fitch adalah seseorang murid yang sangat berbakat,

"Oh! Terima kasih! aku sudah lama tidak memakan makananmu.. Ayo biar aku traktirin gantinya"

"Oke"

"Kami pergi dulu, da kalian berdua~"

"Da.. "

"Daa.. "

Murid lainnya telah pergi keluar sebelum sepengetahuannya Marie, hanya Marie dan Rose lah yang tersisa di ruangan kelas.

""Baiklah""

"Kamu dulu Marie"

"Oke.. Apa yang kamu bilang ke Iris huh?! Rorie!?"

"Iris menekanku untuk menjelaskan kemana kamu pergi!- "

Rose menjelaskan apa yang telah terjadi pada dirinya saat Marie tengah menjalani perawatan. Iris yang mendengar berita tentang kondisi Marie, entah bagaimana dapat menerobos kamarnya. Saat Rose kembali dari menjenguk Marie, dirinya menyadari bahwa Iris telah duduk dikamarnya.

Proses interogasi berlangsung selama beberapa jam hingga Rose pada akhirnya harus mengakui apa yang mereka berdua lakukan selama beberapa hari ini..

"Hah.. Yang benar saja"

Marie kembali duduk ke kursinya. Raut wajahnya kembali memberat.

"Jadi apa yang terjadi padamu tadi pagi? "

"Ya.. Aku bangun makan dikit, minum obat-"

Marie menjelaskan pertemuannya dengan kepala sekolah hingga pertemuannya dengan Iris dengan tidak menjelaskan sihir non konseptual dan kondisi tubuhnya.

"Menerima bimbingan dari kepala sekolah… tapi apa kamu tahu arti sesungguhnya dari syarat ini? "

"Tentu saja

Marie telah memikirkan syarat yang diserahkan kepala sekolah Bianca kepadanya. Marie telah sampai pada kesimpulan yang sama dengan Rose.

" Ya.. Aku harus mengalahkan Iris, seorang keluarga kerajaan pada pengujian di akhir bulan ini."