webnovel

After Bad Destiny

Naulida Ambriaksi adalah seorang perempuan berusia dua puluh enam tahun yang bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia dengan posisi jabatan Manager Pengelolaan Minyak. Karir Naulida Ambriaksi terbilang sukses karena kerja keras dan kegigihannya. Namun, semua itu tidak dinikmatinya sendiri karena dia harus membiayai kuliah adiknya atas permintaan orang tua. Kasih sayang orang tua yang hanya dilimpahkan kepada adik Naulida membuatnya tertekan. Terlebih, dia juga mendapat masalah di kantor yang berimbas pada kehilangan pekerjaan yang telah susah payah diraihnya. Naulida kembali mendapat tekanan ketika adik Naulida hendak menikah dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan kerja yang dipercayainya. Ia ditekan untuk mencari, mendapatkan jodoh dan ancaman dari rekan kerjanya. Naulida tentu merasa semakin risi sehingga dia memutuskan pergi dari rumah untuk menenangkan diri. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang lelaki yang memiliki paras tampan, agamis dan stylist di salah satu masjid. Dia tertarik dengan laki-laki itu. Apakah lelaki itu akan menjadi jodoh Naulida? Apakah Naulida bisa bertahan dalam menjalani ujian hidup dengan berpisah dari orang tuanya?

Angdan · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
54 Chs

Interogasi

Naulida memutar bola mata dengan malas. Dua orang yang salah satu di antara mereka adalah orang yang disayanginya tetapi, sikapnya berubah drastis ketika hendak menikah dengan kekasihnya. Ya, orang yang disayanginya adalah Nurlida, adik kandungnya.

Naulida tak pernah menyangka adiknya berubah menjadi seperti itu. Memang benar, sikap seseorang akan berubah menjadi lebih baik atau semakin buruk itu tergantung pada lingkungannya yang sering didatangi.

"Mbak!" bentak Nurlida.

Naulida mengernyitkan dahi sambil bersandar di pintu mobilnya."Kalian kalau mau bahas masalah di rumah saja, jangan di sini karena ini adalah tempat umum bukan rumah kalian," putus Naulida lalu masuk mobil.

Nurlida dan kekasihnya yang bernama Alexio terlihat bingung dengan kakaknya. Mereka juga mengikuti Naulida menuju rumah orang tua Naulida dan Nurlida. Naulida mengendarai mobil sendiri tanpa mengajak Nurlida dan Alexio.

Dua puluh lima menit lamanya perjalanan dari kantor ke rumahnya. Naulida bersama adik dan Alexio masuk ke rumah orang tuanya Naulida.

Naulida dan dua orang itu duduk di ruang tamu. Tidak lama, Ibu dan Ayahnya datang dan ikut duduk di antara mereka sambil melirik Naulida yang memerhatikan adik dan kekasihnya.

"Ada apa ini?" tanya Ibu.

"Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Naulida."Naulida boleh minta satu permintaan ke Ibu?" tanya Naulida.

"Ada apa?" tanya Ibu yang mulai cemas.

"Naulida minta Ibu sama Bapak, jangan ikut campur dulu dalam urusan Nau dengan mereka," jawab Naulida.

"Kenapa kamu bicara begitu sama Ibu? Ibu ini, kan, Ibumu!"

"Nau tahu kalau Ibu adalah Ibu Nau tapi, Nau tidak ingin dicampuri dulu sebelum Nau mengerti permasalahan mereka," jawab Naulida yang berusaha menahan amarahnya.

Naulida baru selesai bekerja dan baru saja sampai di rumah telah dihadapkan permasalahan yang seharusnya bisa diatasi oleh Nurlida dan Alexio ditambah orang tuanya yang selalu ikut campur dalam permasalahan adiknya itu.

Naulida merasa lelah dengan semua kehidupan yang terjadi padanya. Namun, semua itu harus dihadapi olehnya karena tidak ingin melihat adiknya susah dan juga tidak ingin adiknya bergantung kepadanya.

"Ibu juga berhak tahu permasalahan kalian. Ada apa ini?" tanya Ibu dengan nada sedikit tinggi.

Nurlida memandangi Naulida yang terlihat lelah dan malas berdebat dengan ibunya."Maaf, Bu. Nurlida tahu kalau Ibu berhak tahu permasalahan kami tapi, Nurlida ingin berbicara bertiga terlebih dahulu baru cerita ke Ibu dan Ayah," jawab Nurlida dengan lembut.

Nurlida membantu Naulida untuk menjelaskan kepada ibunya secara perlahan dan lembut sehingga Ibu membisu sembari melirik Naulida dengan sinis. Ibu mengalah dengan perasaan kesal terhadap anaknya.

"Baiklah. Ibu akan menuruti perkataan kamu dan kalian bicara dulu. Ibu dan Ayah masuk ke kamar dulu," balas Ibu.

Akhirnya, Ibu pergi meninggalkan anak-anak dan calon menantunya itu dengan eskpresi wajah yang masam dan kusut. Ia pun melirik Naulida dengan sinis karena menurutnya, semua itu adalah ulah Naulida.

Naulida tidak menanggapi lirikan sinis Ibu karena ia sudah biasa mendapatkan perlakuan dan kalimat kasar yang melontar kepadanya. Ia hanya menghela napas dengan berat sambil mengeraskan rahangnya.

"Ada apa kalian menghadapku?" tanya Naulida dengan nada malas.

"Kak, aku dan Alexio ingin meminta tolong untuk membantu dana lamaran kami," ucap Nurlida secara pelan dan lembut.

"Membantu atau membiayai secara keseluruhan?" tanya Naulida yang secara terang-terangan berbicara seperti itu.

Alexio dan Nurlida membisu dan mematung selama dua menit sambil menundukkan kepala dan memainkan jemarinya. Mereka tidak bisa berkata apa pun ketika pertanyaan pedas melontar kepadanya.

Naulida tidak bisa berbasa-basi dengan siapa pun yang bicaranya tidak pada intinya. Ia ingin adiknya membicarakan permasalahan inti kepadanya tanpa harus mengeluarkan kalimat yang ujung-ujungnya pasti mengeluarkan banyak biaya.

"Kenapa diam? Pertanyaanku benar? Lalu, apa usaha kamu untuk melamar adik saya?" cecar Naulida.

"Usaha saya adalah akan bekerja keras untuk Nurlida nantinya," jawab Alexio lirih.

"Apa yang kamu bicarakan saya tidak mendengarnya?" tanya Naulida yang menginginkan Alexio berbicara dengan tegas.

"Usaha saya adalah akan bekerja keras untuk Nurlida nantinya," jawab Alexio dengan keras dan dada tegap.

"Nantinya? Kapan? Sekarang? Besok? Tahun depan? Atau beberapa tahun lalu?" cecar Naulida.

Alexio membisu kedua kalinya ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh calon kakak iparnya. Naulida memegang tangan Naulida yang menyuruhnya untuk tidak melontarkan pertanyaan yang aneh-aneh. Ia peka dengan kode yang diberikan adiknya tetapi, itu harus ditanyakan kepada Alexio agar mengetahui lelaki ini adalah lelaki yang pantas dijadikan suaminya atau tidak.

"Kalau kamu tidak bisa menjawab dan masih ragu untuk menjawab pertanyaanku lebih baik kamu pikiran baik-baik sebelum melamar adik saya. Adik saya adalah perempuan lembut yang pantas diperjuangkan daripada memperjuangkan lelaki seperti kamu. Maaf, nih, kalau saya bicara seperti ini karena saya tidak ingin Nurlida jatuh ke tangan ke lelaki yang salah dan hanya napsu saja bukan mencintainya dengan tulus. Saya juga bekerja keras untuk membuatnya senang dan bisa sekolah hingga sarjana. Jujur, saya tidak suka denganmu dari awal karena kamu sudah memeluk adik saya di depan umum dan itu tidak pantas sama sekali menurut saya," ungkap Naulida dengan tegas dan menatap Alexio dengan lamat.

"Kak, hentikan!" geram Nurlida dengan nada bergetar dan matanya berkaca-kaca.

Naulida menoleh ke arah Nurlida yang kelopak mata telah penuh dengan genangan buliran air bening. Ia menelan saliva dengan keras ketika melihat adiknya ingin menangis tetapi, itu harus dilakukan olehnya agar mengetahui sosok Alexio yang sesungguhnya.

"Kalau tidak salah, kamu adalah anak orang kaya, kan? Kalau anak orang kaya seharusnya bisa membayar hotel dan hantaran lainnya untuk melamar Nurlida," decit Naulida.

"Cukup, Mbak! Mbak cukup mengeluarkan kalimat pedas dan tidak perlu menasihati saya seperti itu!" geram Alexio dengan nada tinggi.

Naulida tersenyum miring ketika melihat Alexio yang marah ketika diberi nasihat olehnya. Nurlida juga terlihat kesal dengannya sehingga tidak ada yang mendengarkannya dan menuruti ego masing-masing.

"Kamu baru diberi nasihat sama saya sudah begini responsnya," ledek Naulida lalu terkekeh.

"Kalau Mbak begini terus, aku akan putus dengan Nurlida!" ancam Alexio.

"Putus saja, silakan," jawab Naulida.

"Cukup Naulida!" bentak Ibu.

Ibu tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan kami sedang genting dan memanas. Ia malah memarahi Naulida bukan membela dan membenarkan perkataannya.

"Kenapa, Bu? Ucapanku salah?" tanya Naulida yang tersenyum miring tanpa merasa bersalah.

"Iya, kamu salah. Seharusnya, kamu membantu saja mereka, Alexio juga belum bekerja. Jadi, kamu sudah sepatutnya membantu mereka tanpa ada pengecualian," jawab Ibu dengan nada tinggi.

"Apakah Ibu pernah memikirkan masa depan Nurlida? Bagaimana dengan nasib Nurlida, jika menikah dengan pria yang berasal dari orang kaya tetapi, ia belum bekerja?" tanya Naulida dengan intonasi penekanan sambil melirik Nurlida dan Alexio.