webnovel

O7. Tidak beraturan

Suara kaleng yang berisi kopi terdengar ketika menyentuh sebuah meja, seorang pria tampan duduk di bangku merah sambil sesekali menyesap sepuntung rokok di selipan jarinya. Matanya menatap pada layar ponsel dan sesekali menatap jalanan raya yang cukup ramai di akhir pekan.

Sial, bagaimana bisa tuhan menciptakan manusia setampan ini? Lihat saja, wajahnya tampan, kulitnya sedikit tan, rambut coklat alaminya di kuncir apel pada bagian poninya, hidungnya mancung, terlihat sempurna di semua bagiannya. Siapa yang menaruh pria tampan ini di depan minimarket, menyesap kopi kalengan dan juga menikmati sepuntung rokok.

Dia Kave, sedang duduk menunggu mamanya yang belum juga menjemputnya. Ibadahnya sudah selesai sejak tiga puluh menit yang lalu, terhitung sudah 15 menit lebih ia duduk di bangku mini market yang letaknya 10 meter disamping Gereja yang ia datangi tadi. Sudah mengirimkan pesan tentang lokasinya kepada sang ibu, Kave tetap sabar menunggu, ia hanya bisa seperti itu lantaran tidak tahu jalan pulang. Sial, menyusahkan saja. Tolong ingatkan dirinya untuk menghapal jalanan setelah ini, oke?

Kursi sampingnya yang tadinya kosong bahkan kini sudah terisi oleh seorang pria dengan jaket jeans, Kave tidak mengenalnya, sepertinya pria itu baru saja kembali dari perjalanan jauh jika dilihat dari tas besarnya tadi.

Sebuah mobil yang familiar dimatanya berhenti di pinggir jalan, Kave berdiri saat melihat wajah mamanya ketika kaca mobil diturunkan. Berjalan menghampirinya lalu duduk di kursi samping kemudi, si kembar duduk di kursi penumpang sejak tadi pagi. Entahlah kenapa, yang pasti keduanya yang meminta secara langsung.

"Kaven sudah menunggu lama? Maaf ya, mama lama belanja sayurannya," tanya mamanya ketika ia sudah duduk nyaman di bangku mobil.

"Gak masalah, belum lama nunggu, Ma."

"Begitu ya, Cyra minta diantar ke swalayan, kamu mau ikut?"

Kave menoleh, memikirkan jawaban apa yang pas untuk menjawab itu.

Mengangguk, ia kini kembali terfokus pada ponselnya.

Memasuki sebuah swalayan yang cukup besar, menaiki eskalator yang tidak terlalu tinggi untuk pergi ke lantai atas, sebuah lantai yang berisi pakaian dan satu game area.

"Kaven mau main game? Kamu bisa main dulu sambil nungguin," tawar mama padanya.

Menoleh, menatap ruangan kecil yang hanya berisi permainan saja. Tidak ramai namun juga tidak bisa dibilang sei, ia bahkan melihat pasangan muda disana dan juga beberapa anak kecil yang di dampingi orang tuanya. Kave mengangguk lalu berjalan kesana sendirian, tanpa menunggu mamanya untuk memberikan uang. Ia memiliki uangnya sendiri, yah begitu pikirnya.

Membayar sejumlah uang untuk membeli kartu, Kave berjalan ke arah permainan basket. Beruntungnya tidak ada yang mengantri disana, menggesekkan kartunya, lalu menekan tombol untuk memulai permainan. Wajahnya cukup serius, memfokuskan konsentrasinya pada bola dan keranjang disana. Bola mematul kemudian masuk ke dalam keranjang, Kave cukup handal di permainan ini.

"Kamu jago juga,"ucap Andika yang entah sejak kapan berada di sampingnya.

Berjengkit kaget, Kave mengumpat dengan suara pelan ketika telinganya tiba-tiba mendengar suara Andika sebagai wujud keterkejutannya. Kave mengabaikan ucapan Andika dan kembali menggesek kartu untuk memainkan basket lagi.

"Lo mau main?" tawarnya ketika permainan sedang jeda untuk ronde selanjutnya.

"Gak, aku cuman mau lihat aja. Ibu dan Cyra sedang memilih baju," jawab Andika.

"Kalau mau main pakai aja," tawarnya sambil menyodorkan kartu di tengah-tengah permainan.

Andika mengangguk, tidak ada yang spesial dari perlakuan Kave padanya. Sejak awal Kave memang anak yang cukup mudah di dekati dibanding yang terlihat dari wajah dan tatapan matanya yang tajam. Jika tidak membandingkan dengan apa yang pria itu miliki, pria ini bisa dibilang cukup ramah meski cara berbicaranya terbilang cukup tajam dan kasar. Tak jarang Kave membantu Cyra maupun Andika dalam hal pelajaran jika ditanyai, pria ini juga termasuk jajaran manusia pintar meski kelakuannya terlihat seperti pria bandel dan pembangkang. Cukup mengejutkan seisi rumah apalagi ketika pria ini berada di kamar seharian yang ternyata sedang berada di tengah-tengah bimbingan belajar via online ketika mereka memergokinya.

Setelah bosan memainkan basket, Kave beralih mencoba permainan lain. Ia bahkan mencoba memainkan capit boneka yang mana menghasilkan satu boneka kecil setelah menghabiskan hampir empat kali gesekan kartu. Boneka berbentuk panda yang ukurannya tidak terlalu besar itu ia ambil dan bawa untuk memainkan yang lain.

"Kaven sudah selesai main?" tanya mama yang ternyata sudah selesai menemani Cyra membeli pakaian.

Mengangguk, Kave lantas bertanya kebali, "sudah selesai?"

"Cyra dan mama sudah selesai, Kaven masih mau bermain?" tanya mamanya yang mungkin mengira Kave belum puas memainkan permainan disini.

"Tidak, sudah selesai bermain."

"Ingin langsung pulang atau beli jajan dulu di lantai atas?" tanya mamanya lagi, kali ini wanita itu bertanya pada ketiga anaknya.

"Pengen jajan dulu, katanya ada yang jualan es durian enak disana," balas Cyra yang diberi anggukan setuju oleh saudara kembarnya.

"Kaven ada bimbel?"

Kave menggeleng, mengatakan tidak masalah baginya. Jika dipikirkan lagi ia juga sedikit merasa lapar, mengikuti mama dan Andika yang berjalan beriringan dari belakang.

"Itu kamu yang dapat? Lucu," ucap gadis itu yang kebetulan berjalan beriringan dengannya, jarinya mengarah pada boneka di tangan Kave.

"Ya, lo mau?" tawarnya, gadis itu mendongak, tatapan mata keduanya bertemu sepersekian detik.

Cantik, satu kata di pikirnya ketika ia melihat mata Cyra. Jujur, Cyra bisa dibilang sangat cantik, sungguh.

"Ah, boleh?" balas dengan canggung setelah memutuskan pandangan keduanya.

"Nih, ambil aja."

"Lucu, makasih ya!" jawab gadis itu dengan wajah senangnya, mata coklatnya berbinar dengan senyum manis di bibir yang sedikit tidak terawat itu.

Berbeda dengan gadis yang selama ini mendekati Kave, wajah cantik mereka bisa dibilang hasil dari perawatan mahal, wajah Cyra sangat jauh jika dibandingkan. Mamanya pernah bercerita bahwa Cyra bukanah gadis yang perduli tentang penampilannya, wanita itu bahkan pernah bererita bahwa Cyra hanya membeli sabun muka saja tanpa benda lain seperti gadis lain di usianya.

"Kaven, menurut kamu ini bagus gak? Aku mau pakai besok untuk lomba dance," tanya gadis itu ketika melihat berbagai topi dipajang di sini.

"Bagus."

Ya, apa yang dikenakan gadis itu akan selalu terlihat bagus. Jangan merasa aneh, dia hanya memuji. Paham?!

"Ah tapi uangku dibawa ibu sih, kita ketinggalan karena tadi jalannya kelamaan."

"Ambil aja, gue bawa uang."

"Gak mau, nanti waktu pulangnya aja deh belinya."

Keduanya kembali berjalan menuju lantai atas, menyusul mamanya dan Andika yang sudah lebih dulu sampai.

"Kaven mau jajan apa? Hari ini mama yang bayarin ya, Kaven tidak pernah mau mama bayarin," ucap mamanya ketika Kave menghampiri meja yang diduduki mamanya.

Meja kursi di taruh di tengah dengan beberapa outlet jajanan yang mengitarinya, mungkin hampir seperti cafetaria tapi entahlah Kave juga tidak mengerti.

"Papa memberikan uang saku setiap bulan," balasnya seolah menjelaskan alasan ia tidak menerima uang dari mamanya.

"Iya mama tahu, sekali saja ya mama jajanin?"

Menghela nafas, ia kemudian mengangguk. Memilih menuruti mamanya yang sekarang sedang kesana kemari memesan makanan bersama Cyra saking senangnya.

Mari kita anggap ini sebagai upaya perdamaian antara Kave dengan mama kandungnya, haha.