webnovel

Senja Samata

Sore itu bersama penantian panjang cahaya merah dadu menaungi tanah warisan ayam jantan dari timur. Menyisir dilereng-lereng bukit merambat naik menyesaki puncak bukit samata. Sementara senja mulai merayap pelan terkikis oleh gelap malam, berdiri di atas bukit menghadap ke arah kota makassar seolah memberikan warna konkret tentang kehidupan, tentang orang-orang yang berdesakan meninggalkan kampung halamannya, berjudi nasib di kota. Disisi lain bukit samata mengahadap tepat didepan kampus Universitas Islam, tampak jelas bangunannya menjulang tinggi keatas dengan ciri khas arsitekrur timur tengah sebagai corong peradaban Islam dimasa itu. Sepasang mata menjangkau titik-titik tertentu, seolah sedang mengeja sesuatu di ketinggian sana, lalu perlahan pandangannya terjatuh dan seketika menjadi lesuh seolah deretan sejarah hanya menjadi romantika dalam cerita dimasa ini. Disisi lain beberapa perempuan cantik sedang asyik bergoyang di depan layar ponselnya, memperagakan gerakan tertentu lalu kemudian mereka tertawa. Para perempuan cantik itu berteriak, melambaikan tangan, dan menebar senyum di depan layar ponselnya. Dan aku mengira bahwa mereka mahasiswa sama sepertiku datang demi sebuah harapan, dan akan kembali dengan segenap mimpi-mimpi indah dihari esok. Sama seperti kerinduan burung pada lebatnya hutan ditengah gedung-gedung yang menjulang tinggi sore hari adalah cara terbaik membenamkan rindu bersama senja. Diantara mereka terlihat beberapa pasangan perempuan jelita berambut panjang terurai bersama lelaki penggenggam ponsel yang sesekali terlihat kesal kalah pertarungan dilayar ponselnya. Tangan mereka bersentuhan salim menggenggam seketika suasana berubah lingkaran erotis nan estetik dibawah balutan senja. Mereka tampak menikmati matahari terbenam sebagai bentang keindahan hidup.

Dibukit ini aku selalu merindukan datangnya sejarah dalam hari-hari hidupku dimana terdapat pertemuan dari setiap rindu yang terpendam. Namun, hari-hari selalu saja berlalu tanpa pesona pekatnya malam menjelma menjadi perkasa yang membentangkan tirai gelapnya menutup semua pandangan. Sebelum betul-berul meninggalkan bukit ini aku selalu berbisik pada angin malam "aku ingin merasakan keindahan itu walau hanya sekejap saja". Bahkan anginpun berlalu begitu saja, dan saat demikian keresahan semakin liar seperti perahu tanpa awak diterjang samudera kesepian.

"Malam telah hadir

Tapi tidak dengan kehadiranmu"

Langkah kaki mulai bersahutan meninggalkan puncak bukit, beberapa saling menyapa bertukar senyum lalu berlalu tanpa berkata apapun.

Semakin pelan dan mulai tak terdengar langkah kaki menuruni puncak bukit "selamat tinggal senja, selamat datang malam. Kesepianku merindukanmu dalam ketenangan".