webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
155 Chs

Meminta Maaf 3

Matahari baru saja bangun dari tempat persinggahannya. Memancarkan sinarnya yang berkilauan dibalik gumpalan awan-awan yang berarak mendekati matahari. Tampak cerah, namun teduh. Terasa tenang dan nyaman.

Penggambaran keadaan di luar hunian itu tidak seperti apa yang ada di dalamnya. Lebih tepatnya keadaan para penghuninya yang saat ini sedang menyantap sarapan bersama. Tampak suram dan teduh. Terasa tenang, namun canggung.

Saking tenangnya, Ricky bisa mendengar burung berkicau di luar rumah. Tidak seperti kemarin-kemarin di mana Aurel selalu berteriak juga memohon saat Ricky menolak untuk memberikan sedikit jatah makanannya waktu Aurel ingin memintanya, dan semua berakhir tenang saat Bi Suli datang membawa makanan tambahan.

Tapi sekarang sangat lah berbeda.

Dalam keadaan terheran-heran, Ricky menyantap sarapannya sambil memandang Aurel yang dari tadi tenang tak bersuara. Ricky juga tidak bisa mengartikan kedua mata bulat Aurel yang terfokus pada sereal yang sedang disantapnya.

"Kalian berdua dari tadi diam saja. Ada apa?" sambar Leo. Satu-satunya anggota keluarga yang tampak terganggu dengan ketenangan aneh itu.

"Kami baik-baik saja," jawab Aurel cepat. "Iya kan, Kiki?" Aurel menatap adiknya sambil tersenyum, meminta kepastian.

Ricky mengangguk ragu sebagai jawaban. Setiap ia melihat senyum kakaknya itu, ia semakin merasa bersalah karena mengingat perlakuannya kemarin.

***

Tepat saat bel masuk berdenting memeriuhkan pagi, Ricky baru saja menemukan kelasnya di sudut koridor lantai tiga. Kelas X-IPA 4, itu namanya. Ia berhasil mendapatkan kelas IPA setelah melakukan tes yang diadakan sekolah sebelum mulai MOS. Tidak ada raut senang atau terkejut, Ricky biasa saja. Seolah-olah ia tahu kalau ia akan diterima di kelas IPA.

Ricky pun masuk ke dalam kelas tersebut. Beberapa pasang mata sempat tertuju pada laki-laki yang sedang mencari tempat duduk kosong itu, hingga ia mendengar suara sahutan dari arah depannya.

"Duduk sini aja, Ricky!" sahut seorang laki-laki bertubuh besar yang duduk di paling belakang itu.

Kedua alis Ricky terangkat. Ia heran, kursi kosong mana yang calon teman kelasnya tawari itu.

"Woy, lu duduk di depan, gih," kata laki-laki yang tadi menyahut itu pada teman yang duduk di depannya.

"Enak aja lu. Gue duluan di sini juga," protesnya.

"Gue di sini aja," sambar Ricky sambil duduk di kursi paling depan. Walau sebenarnya ia tidak suka untuk duduk di depan, tapi mau bagaimana lagi kalau hanya itu satu-satunya tempat duduk yang kosong. Ia juga tidak ingin mendapat hater tersendiri kalau tetap memaksa duduk di belakang.

Setelahnya, seorang pria berjanggut lebat masuk ke dalam kelas itu sambil membawa beberapa buku. Tulisan Abdul Aziz tercetak di emblem namanya dan ia memperkenalkan diri sebagai wali kelas X-IPA 4 yang akan mengajari mereka pelajaran Fisika. Ricky mulai menerka-nerka seperti apa sosok yang menjadi wali kelasnya itu. Dan ternyata terkaannya benar. Beliau adalah sosok guru yang tanpa basa-basi dan langsung menjelaskan materi yang perlu dipelajari oleh siswa-siswanya. Dalam waktu dua jam lebih setelah berkutat pada papan tulis yang hanya sekian detik saja sudah penuh dengan rumus dan contoh soal yang guru berperawakan tegas itu berikan, akhirnya bel istirahat berbunyi.

"Yak, itu bel perpisahan kita untuk hari ini. Minggu depan kita ketemu lagi untuk pembahasan terakhir bab pertama. Minggu depannya lagi, kita ulangan harian pertama," jelasnya. Ia tidak menggubris respons beberapa siswa yang kaget mendengar penjelasan terakhir itu. "Kurang lebihnya mohon maaf, Wassalamu'alaikum." Setelah itu, ia pun keluar kelas diiringi dengan balasan salam dari siswa-siswanya.

"Gila!" Ricky mengacak-acak rambutnya gusar. "Gue belum ngerti apa-apa udah ngomongin ulangan aja?!" serunya sambil melihat isi buku tulisnya yang hanya berisi tulisan-tulisan yang belum selesai.

Ricky melirik sekilas buku tulis teman sebangku barunya yang terlihat sudah lengkap. Ia mencoba mengingat-ingat nama laki-laki berkaca mata yang dari tadi tampak kalem itu. "Adi, aku boleh pinjam bukumu, tidak?" tanya Ricky sesopan mungkin.

Ia mengangkat kepalanya dari novel tebal yang ia baca dan menoleh ke arah Ricky dengan tatapan dinginnya. "Gue Andi," ucapnya datar sambil menggeser buku tulisnya itu.

"Eh? Oh, iya, sorry." Ricky hanya bisa tersenyum menyesal sambil menerima buku tulis itu. "Makasih," ucapnya.

Saat Ricky akan menyalin catatan itu, tiba-tiba saja ada yang menggebrak mejanya cukup kencang.

"Rick, ke kantin yok." Ternyata siswa kelas sebelah—yaitu kelas X IPA 3—yang mengajaknya. Siapa lagi kalau bukan Yoga Adriatama yang mengajaknya.

"Ayo!" seru Ricky sambil berdiri dari kursinya.

"Wih mau pada ke kantin ya," sambar seseorang yang sedang menghampiri Ricky dari belakang. "Gue gabung, boleh, kan, nih?" tanya laki-laki berbadan besar itu.

"Boleh. Boleh banget, Eza!" sambar Yoga.

Ricky melirik ke Yoga dan Eza—yang baru diketahui namannya tadi—bergantian. "Kalian sudah saling kenal?"

"Teman SMP gue nih, Rick," jawab Yoga. Ricky hanya mengangguk dengan mulut membulat.

Setelah itu, mereka bertiga pun pergi ke kantin. Tak disangka-sangka ternyata cukup banyak yang memberi senyum, sapa, dan salam pada Ricky saat sedang melewati koridor menuju kantin. Karena Yoga dan Eza juga jalan bersamanya, mereka pun otomatis terkena 3S dari para siswa yang kebanyakan seangkatan itu.

Agak berlebihan memang, namun memang itu yang terjadi saat ini.

"Lihat sendiri, kan? Gak ada yang ngejelek-jelekin lo," bisik Yoga pada Ricky. "Lo minta maaf sama kakak lu gih."

"Ngepain lu ikut campur urusan gue?" jengkel Ricky sambil berhenti di tempat. Yoga dan Eza pun ikut berhenti.

"Ya gue cuman kasihan aja kalau lu sampai marahin doi gara-gara salah paham," kata Yoga santai sambil mengedikkan bahu.

"Doi itu apa?" bingung Ricky.

"Doi singkatan dari Dia Orang Special," jawab Eza pada Ricky. "Mantep lo, Ga. Baru masuk aja udah ada yang lu taksir," sambar Eza asal.

"Iya lah. Siapa sih yang gak naksir sama kakaknya Ricky itu?" heran Yoga.

"Ooh, jadi lu temenan sama gue buat ngincar kakak gue aja," kata Ricky keki sambil melipat tangannya.

"Wey jangan salah paham dulu, bro," timpal Yoga. "Kak Aurel memang cantik, jadi, siapa yang gak naksir sama dia, gitu. Tapi ya lu gak tau sih betapa langkanya bisa punya saudara yang super baik kayak dia," jelasnya.

"Gue gak naksir sama dia," sambar Eza, menolak pernyataan Yoga kalau semua laki-laki pasti naksir dengan Aurel itu.

"Berarti lu gak normal," balas Yoga.

"Maksud lu apa, hah?" Bisa terdengar dari nadanya yang meninggi, Eza mulai emosi.

"Ya mungkin aja," Yoga menaik-turunkan kedua pundaknya, "Lo lebih suka sama cowok," bisiknya.

"Sialan lo. Belum pernah keselek golok ya?" Eza pun mulai mengejar Yoga yang mengambil langkah seribu sambil tertawa tebahak-bahak.

Mereka berdua meninggalkan Ricky yang merasa aneh dengan tingkah dua teman barunya itu. Saat ia akan menyusul mereka menuju kantin yang tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba saja ada yang memanggilnya dari belakang dan membuatnya berhenti kembali.

"Masih kenal sama kita, gak?" kata seorang gadis dengan bandana putih itu.

"Caca sama Wina, kan?" terka Ricky sambil menunjuk gadis berbandana putih itu sebagai Caca dan gadis dengan jedai hitam sebagai hiasan rambutnya itu sebagai Wina.

"Yup! Benar sekali!" sahut Caca. "Gue gak nyangka kita bisa sekelas sama lo, iya kan Na?" katanya sambil menyiku gadis di sebelahnya.

Wina hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Lo sendirian aja?" tanya Wina.

"Tadi... gue bareng Yoga sama Eza ke kantin," jawab Ricky.

"Mau ke kantin? Gue juga mau ke kantin," kata Caca sambil menyambar tangan Ricky dan menariknya menuju kantin.

"Woy, Ca!" Panggilan Wina membuat gadis berperangai easy going itu berhenti dan menoleh ke arahnya. "Baru kenal juga, main gandeng-gandeng tangan anak orang aja lo," cibir Wina sambil menghampiri Caca.

Caca pun juga meraih tangan Wina untuk jalan bersama. "Ya elah, Na. lu tau kebiasaan gue ini, kan?" kata Caca. "Oh iya." Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu, "Lo belum ada yang punya, kan?" tanya Caca sambil menoleh ke arah Ricky.

Ricky menggeleng lambat. "Belum," jawabnya.

"Berarti gak ada yang marah dong kalau gue pegang tangan lo?" kata Caca memastikan sambil tersenyum manis.

Kalau Ricky mau jujur, ia agak canggung dengan genggaman tangan dari lawan jenisnya yang baru ia kenal itu. Tapi ia tidak bisa berkata langsung. "Iya." Benar-benar merasa canggung dan aneh. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap di depan dua teman sekelasnya itu.