webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
155 Chs

Dan 3 Pilihan Itu Adalah…

Sekali lagi ia melihat kostum seorang pangeran yang terlipat rapi di atas tempat tidurnya. Ia tidak menyangka kalau kakaknya itu memiliki kostum pangeran yang padahal saja ia seorang perempuan. Jadi, untuk apa punya kostum pangeran berwarna cokelat seperti itu? Seketika Ricky teringat kalau kakaknya itu seorang perancang pakaian. Bisa jadi ia memiliki pakaian pangeran itu sebagai contoh rancangan pakaiannya.

Sambil membentangkan kostum, ia masih berharap kalau pilihan yang dipilihnya itu adalah yang terbaik setelah ia melaksanakan ibadahnya.

1. Minta maaf sekaligus berterima kasih dengan pose pangeran yang akan melamar seorang putri dalam keadaan direkam handycam.

2. Bilang I love you my lovely sister dalam keadaan direkam juga.

3. Gak boleh bawa teman perempuan ke rumah.

Itu adalah 3 pilihan yang Ricky pilih. Setidaknya ketiga itu terlihat lebih baik dari pada menjadi model dan dilarang pacaran selama di sekolah. Model, Ricky paling tidak suka dirinya dicetak di majalah atau menjadi poster yang terpajang sebagai ajang promosi. Juga, ia tidak nyaman dengan cahaya-cahaya kamera yang menyilaukan itu. Pacaran, Ricky tidak ingin menyia-nyiakan masa SMA nya itu tanpa berinteraksi dengan perempuan di kelasnya. Lagipula, ia memang sudah memutuskan dari SMP untuk mencoba apa yang namanya 'pacaran' itu saat ia SMA. Dan pacaran itu tidak harus di rumahnya, sehingga ia melanggar perjanjian yang ia buat dengan Aurel. Tambahan pula, ada seorang gadis yang menarik perhatiannya, dan itu yang membuat ia tidak memilih 'Tidak boleh pacaran' dalam perjanjiannya.

Ricky berputar untuk melihat kostum yang pas di tubuhnya itu. Keren adalah kata yang cocok setelah ia melihat pantulan bayangannya di cermin. Setelahnya, ia melongokkan kepala keluar dari kamarnya. Memastikan kalau tidak ada siapapun di luar kamar. Sesudah dirasa aman, ia pun keluar kamar dan segera ke ruang keluarga saat ia memastikan kembali kalau ruang keluarga juga aman.

Dua puluh menit telah berlalu saat Ricky sudah duduk terdiam di ruang keluarga sambil memainkan ponselnya. Aurel janji padanya kalau pukul 8 akan menemuinya di ruang keluarga, tapi nyatanya sudah pukul 8.20 ia tak kunjung datang.

Suara ketukan yang berasal dari tangga di sebelah ruang keluarga itu menarik perhatiannya. Ricky benar-benar tak menyangka dengan apa yang dilihatnya itu. Seorang gadis dengan gaun berwarna soft pink sedang menuruni tangga dengan perlahan dan hati-hati. Sepatu highheels yang dikenakannya itu membuatnya sangat waspada dalam melangkah. Ia bernapas lega saat kakinya sudah menapak di lantai dasar.

"Apa ini beneran Kak Aurel?" Saking berubahnya tampilan Aurel itu, sampai membuat Ricky tidak mengenali kakaknya sendiri. Ia pun menghampiri Aurel yang rambutnya disanggul dengan mahkota kecil sebagai hiasan itu.

"Iya! Bagaimana? Aku sudah terlihat seperti putri kerajaan belum?" kata Aurel sambil membentangkan gaun dengan bawahan membentuk lipatan-lipatan bunga mawar itu.

Ricky mengangguk lambat dan berkata dalam hati kalau Aurel benar-benar niat untuk membuat perjanjian itu. Sangat tidak bisa dipungkiri kalau bubuhan rias yang natural juga kalung yang mengelilingi lehernya itu semakin membuatnya terlihat cantik layaknya putri kerajaan di cerita dongeng.

"Handycam-nya di mana?" tanya Ricky. Ia tidak ingin terlalu lama memandang kakakknya itu.

"Pakai HP-ku saja. Ada di atas meja itu." Aurel menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja ruang keluarga.

"Ya sudah, ayo ke sana," kata Ricky sambil melangkah ke meja itu. Merasa ia tidak diikuti, ia pun kembali menoleh ke arah Aurel yang masih terdiam ragu itu. "Kenapa?"

"Ehmm... sebentar." Aurel mulai melangkahkan kakinya. Namun, ia terlihat oleng setiap ia mengambil satu langkah. "A-aku jarang sekali memakai highheels jadi..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya karena terlalu fokus untuk keseimbangan tubuhnya itu.

Tiba-tiba saja ada yang memegangi kedua tangan Aurel yang terbalut sarung tangan pengantin itu

"Kalau gak bisa pakai higheels ya jangan dipakai," ternyata Ricky yang memegang kedua tangan Aurel dari depan dan menuntunnya ke ruang keluarga, "Lagian buat apa pakai higheels di dalam rumah? Aku aja gak pakai apa-apa."

"Kan agar lebih menghayati," balas Aurel.

"Menghayati dari mana? Gara-gara kakak pakai higheels, aku jadi lebih pendek dari kakak," gerutu Ricky.

Kemudian, mereka pun sampai di ruang tamu dan Ricky melepaskan Aurel.

"Ya sudah. Sebentar, aku lepas dulu." Sambil berdiri dengan satu kaki, Aurel melepas sepatu higheels itu. Ricky menegurnya untuk melepas sepatu itu sambil duduk saja tetapi, Aurel tidak mengindahkan teguran itu. Akibatnya, Aurel tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya dengan satu kaki yang bertumpu pada higheels itu. Ia semakin oleng dan hampir saja terjatuh kalau saja ia tidak segera berpegangan pada kedua pundak Ricky, juga Ricky sendiri yang reflek untuk menahan Aurel dengan memegangi pinggangnya.

Kedua kakak-beradik itu bertatapan dalam jarak yang sangat dekat. Dan wajah mereka juga terlihat kemerahan karena posisi mereka yang bisa dibilang layaknya sepasang kekasih.

Tidak bisa mengontrol perasaan anehnya, Ricky segera melepas Aurel begitu saja dan ia menjauh sambil menghadap ke arah lain selain Aurel yang terkapar di lantai karena tidak sempat berpegangan pada benda di sekitarnya itu.

"Dibilang lepas sambil duduk aja," tegur Ricky lagi. Ia tampak cuek dengan kakaknya yang berusaha untuk bangkit itu. Ia ingin membantu, namun terlalu malu kalau terjadi kejadian seperti tadi lagi.

Aurel masih terdiam sambil melepas tali-tali pada sepatu higheels itu. Wajahnya masih merona, begitu juga wajah adiknya itu.

"Ok, sudah aku lepas!" kata Aurel semangat sambil berdiri.

Ricky menghembuskan napas cepat, lalu ia berbalik badan dan kembali menghadap Aurel yang sedang mengambil ponselnya di atas meja.

Issh... kapan aku bisa lebih tinggi dari dia? Ricky baru menyadari kalau Aurel masih lebih tinggi darinya walau tinggi mereka terlihat hampir sama. Jika diukur lebih detail, Aurel lebih tinggi dua senti dari Ricky.

"Kamu kenapa?" Aurel terheran melihat tatapan sinis Ricky tanpa sebab itu.

"Gak kenapa-kenapa," jawab Ricky sambil menggeleng cepat. "Jadi, gimana caranya?"

"Tunggu." Aurel terlihat mengotak-atik ponsel dengan pelindung ponsel berwarna ungu itu. Kemudian, ia meletakkan ponselnya di atas meja dalam keadaan miring. Tumpuan yang ada di pelindung ponselnya itu membuatnya bisa berdiri.

"Bantu aku geser sofa ini," pinta Aurel sambil beralih ke sudut sofa panjang itu. Ricky menurut saja dan ia mengambil alih sudut sofa lainnya. Setelah sofa berwarna cokelat kayu itu tergeser, ponsel Aurel bisa mendapat sudut yang pas untuk merekam sebuah adegan.

"Cuman terima kasih sama minta maaf sambil berlutut aja, kan?" kata Ricky memastikan.

"Kamu belum baca naskahnya?" tanya Aurel tak menyangka.

"Naskah apaan?" heran Ricky.

"Kertas di bawah kostum itu. Kamu gak lihat?"

"Gak ada kertas kok," timpalnya.

"Ooh apa ketinggalan ya? Tunggu sebentar. Aku cek dulu," kata Aurel sebelum ia menuju tangga.

"Kak, cuman minta maaf sama terima kasih doang! Ngepain pakai naskah segala! Kakak!" Panggilan Ricky tidak digubris olehnya. "Ah elah. Ini udah jam berapa. Nanti Papa pulang," gerutunya sambil melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 20.40 itu. Ia ingin cepat-cepat selesai sebelum kedua orang tuanya melihatnya dan ia bisa saja menjadi bahan godaan mereka.

Tak lama kemudian, Aurel turun dengan beberapa benda di kedua tangannya. Ada laptop, secarik kertas dan... Al-Qur'an?

"Itu Al-Qur'an buat apaan deh?" Sifat Aurel yang Ricky anggap aneh keluar lagi.

"Untuk sumpahmu kalau kamu gak akan bawa teman perempuan ke rumah," jawab Aurel sambil meletakkan benda-benda itu di atas meja.

"Terus laptopnya?"

"Aku ada video tutorial dance waltz. Nanti kita praktekin ya!" Sumringah bahagia merekah di wajah Aurel karena membayangkan ia akan menari waltz bersama Sang Adik Tercinta.

"Nggak ada perjanjian dance waltz," timpal Ricky.

"Memang gak ada sih. Tapi, kan, buat menambah penghayatan sebelum minta maaf dan terima kasihmu nanti," jelas Aurel.

"Tapi aku gak mau," tolak Ricky sambil melipat tangan. "Perjanjiannya sudah kayak gitu. Gak usah ditambah-tambah."

"Sebentar aja, Kiki. Cuman 5 menit kok," mohon Aurel.

"Nggak."

"Dipotong jadi 3 menit deh,"

"Nggak."

"Dua menit aja, ya? Dua menit?"

"Nggak."

"Satu menit deh. Pliss!"

"Nggak."

"Keputusan terakhir, sepuluh detik?"

"Nggak."

"Ya udah deh, gak usah." Aurel mendesah dan ekspresinya nampak kecewa. Sedangkan Ricky, ia tersenyum samar dan menyoraki kemenangan pembalasannya itu dalam hati.

Ricky mengambil secarik kertas yang ada di atas meja. "Panjang!" kagetnya saat melihat dialog yang hampir memenuhi satu halaman kertas hvs itu.

"Ya salah sendiri. Kalau kamu mau dance waltz, dialogmu gak sepanjang itu," kata Aurel sambil berkacak pinggang.

"Ishh... tapi gak kayak gitu kok perjanjiannya." Ricky mencoba berkelit.

"Sepuluh menit dari sekarang atau aku masih marah denganmu," kata Aurel sambil duduk di sofa. "Cuman segitu doang kok dialognya. Gak persis juga gak apa-apa."

"Ja-jangan begitu dong, kak."

"Lima detik sudah lewat, Kiki."

Ricky mendesah dan mencoba menghapal dialog itu.

***

Sepuluh menit kemudian, akhirnya Ricky bisa menghapal bagian dialognya yang panjang itu. Sebenarnya terlalu banyak bumbu-bumbu manisnya, padahal intinya cuman minta maaf dan terima kasih saja.

"Wahai Putri Aurelia Aurita dari Kerajaan Laut Biru, aku Pangeran Ricky Alfian dari Kerajaan Langit Biru bermaksud menemuimu untuk meminta persetujuanmu dalam suatu hal." Akhirnya Ricky bisa mengucapkan dialog pertamanya setelah beberapa kali pengulangan karena ia tergagap-gagap.

"Apa itu, pangeran?"

Kemudian Ricky berlutut sambil memegang tangan Aurel layaknya ia akan melamarnya. "Tujuh langit aku lewati dan tujuh lautan aku seberangi hanya untuk mencarimu dan menemuimu. Seperti mencari mutiara berharga di samudra yang luas dengan rintangan badai yang menerpa. Ma-maukah kau terima rasa penyesalanku yang membuatmu terluka juga rasa terima kasihku yang besar i-ini?" Ricky merunduk. Ia terlalu malu. Dialog yang ia ucapkan itu sudah ia potong-potong sependek mungkin. Dalam hati, ia benar-benar melontarkan sumpah serapahnya dan geli sendiri jika ia melihat rekaman dirinya mengucapkan kata-kata aneh itu.

Jari tangan Aurel terjulur ke bawah dagu Ricky dan mengangkatnya untuk menatap wajah Aurel. "Aku terima," katanya sambil tersenyum manis.

"Te-terima kasih," balas Ricky canggung sambil berusaha membalas senyumannya itu.

"Cut!" seru Aurel, "Oke, kita ke perjanjian selanjutnya." Aurel langsung menghampiri ponselnya.

Ricky bernapas lega dan mencoba untuk menenangkan pikiran dan perasaannya yang tak karuan itu. Belum 5 menit ia beristirahat, Aurel sudah mengarahkan kamera ponselnya ke Ricky.

"Ayo bilang, I love you my lovely sister dengan ekspresi yang menjiwai ya," kata Aurel. "Kalau menurutku kurang, aku ulang terus walau seribu kali pun."

"Kak, jangan—"

"Sebentar lagi papa pulang loh," sela Aurel sambil menunjuk jam. "Bilang gitu aja apa susahnya?"

"Menurut kakak sih, gampang," cibir Ricky.

"Ya udah. Ayo cepat, Kiki sayang!" Aurel tidak bisa berhenti tersenyum dengan mata terfokus pada layar ponselnya.

Ricky menghela napas lalu dihembuskan perlahan untuk menenangkan pikiran walau ia tahu rasanya sia-sia saja.

"I lo-love you--"

"Jangan gagap!"

"I love you my--"

"Jangan kecepetan!"

"I love you!"

"Jangan ekspresi marah!"

"Kasih contoh dulu deh!" Ricky benar-benar merasa gerah karena dinilai salah terus.

"Nih, lihat baik-baik." Aurel memejamkan mata sesaat dan berdeham. "I love you, Kiki. I really love you, my cute little brother." Tutur katanya terdengar lembut dan penuh penjiwaan dengan senyum manisnya yang mengembang juga wajah sedikit merona.

Ricky menelan ludahnya susah payah. Menirukan gaya seperti itu adalah pertama kali baginya dan menjadi pengalaman paling memalukan kalau sampai teman-teman atau bahkan keluarganya ada yang tahu. (Astaghfirullah... kenapa aku punya kakak kayak dia, sih?) keluh Ricky dalam hati.

"Ayo, sekarang giliranmu," kata Aurel.

"I... tunggu." Ricky mencoba untuk bisa ke titik tertenangnya. Semakin cepat semakin baik, itu yang ia pikirkan. "I love you my lovely sister. You're my everything. The best sister in the world. So, don't leave me, ok?"

Tidak sadar Ricky menambahkan kata-kata manis itu. Seluruh tubuhnya bergerak secara spontan. Senyumnya yang mengembang, tutur kata yang terdengar manis, sampai gerakan tangannya selama ia berbicara.

Aurel teridam beberapa saat sampai ia lupa untuk menekan stop di ponselnya.

"Kak?"

Panggilan Ricky membuatnya tersadar dan ia langsung menghentikan rekaman itu. "Ba-bagus. Tadi ba-bagus se-sekali." Kali ini Aurel yang terlihat gugup. Ia merasa kalau kedua pipinya menghangat dan merasa ada sesuatu menggelitik hatinya. "Sekarang, kau harus bersumpah di bawah Al-Qur'an kalau kau tidak akan membawa perempuan ke rumah," seru Aurel sambil meletakkan ponselnya kembali dan mengambil kitab suci itu.

Ricky sampai terlupa dengan hal itu. "Gak usah pakai Al-Qur'an!" tolak Ricky. "Resikonya besar kalau dilanggar, kak."

"Ya gak apa-apa. Kamu jadi berpikir jutaan kali kalau ada permpuan yang mau main ke rumah ini," balas Aurel santai.

"Kakak gak bilang sumpah ya. Cuman janji."

"Memang janji sama sumpah beda?"

"Ya be... da," jawab Ricky ragu. "Kayaknya."

"Tuh, kan, kamu sendiri aja gak tau," timpal Aurel sambil menghampiri Ricky dengan kitab suci itu.

Ricky menggeleng sambil berjalan mundur menjauh darinya. "Kakak bilang janji dan gak pake Al-Qur'an segala," Ricky kembali bernego dengannya, "Al-Qur'an tuh buat dibaca dan dimengerti maknanya. Bukan buat main-mainan sumpah."

Aurel berhenti dan memandang Ricky dengan tatapan curiga. "Main-mainan sumpah? Jadi kamu gak bisa memegang perjanjian ini?"

"Bukan gitu!" Ricky menggeleng cepat. Lalu ia menunjukkan kelingking kanannya. "Aku bisa kok. Pinky swear aja, ya?"

"Kalau kamu melanggar gimana?"

"Ya... kalau aku langgar..." Ricky benar-benar bingung. Pasalnya, yang ia tahu, kalau melakukan pinky swear itu, jari kelingking yang melanggar akan dipotong. Ia hanya bisa berharap kakaknya tidak tahu itu dan memikirkan hukuman lain.

"Aku cium, ya?" sambar Aurel dengan sumringah lebar terpatri lagi di wajahnya.

"Cium pipi aja, kan?"

"Cium bibir," kata Aurel sambil menunjuk bibir tipisnya.

"Nggak!" Ekspresinya menunjukkan kalau ia jijik dengan ciuman bibir itu. Apalagi kalau yang dicium adalah kakaknya sendiri.

"Dulu kita sering kayak gitu kok," keluh Aurel sambil memajukan sedikit bibirnya.

"Itu dulu woy!" Rasanya ia ingin meledak-ledak saat menghadapi sosok kakak yang lupa umur itu. "Traktir kue aja?" usul Ricky sambil tersenyum miring.

"Kamu yang cium aku di kening atau belikan aku pelindung HP baru yang bagus?" sebut Aurel sambil meletakkan Al-Qur'an miliknya itu di atas meja kembali.

Ricky berpikir sesaat. Pelindung HP yang bagus itu bisa jadi menguras uang tabungannya. Kalau cium di kening—walau gratis pun—ia tidak mau, karena akan terasa aneh di umurnya sekarang.

"Aku belikan pelindung HP."

"Sip! Aku tunggu satu minggu setelah kamu melakukan pelanggaran!" kata Aurel cepat. Ia pun segera menautkan jari kelingkingnya pada kelingking Ricky.

(Ini namanya pemerasan!) Ricky menjerit dalam hati saat mendengar batas waktu yang bisa dibilang cepat itu. (Lagipula juga, itu setelah melanggar perjanjian ini,) batinnya sambil sedikit bernapas lega.

"Jadi, udah dimaafkan, kan?" kata Ricky memastikan.

Tiba-tiba saja, Aurel langsung memeluknya. Hal itu sontak membuat adiknya itu terkesiap.

"Sudah. Makasih karena kamu mau melakukan hal konyol dan gila tadi," bisik Aurel sambil sedikit tertawa. "Aku senang. Senang sekali."

Mendengar suara isakan, membuat Ricky semakin tidak mengerti dengan keadaan Aurel saat ini. Tapi setidaknya, pelukan yang ia terima itu cukup membuatnya nyaman. Sudah lama sekali ia tidak berpelukan dengan kakaknya. Sambil tersenyum samar, Ricky melingkarkan tangannya di pinggang Aurel dan membalas pelukan itu.

Nyaman, aman, dan tenang. Itu yang dirasakannya saat ini.

***

"Whoa! Kalian keren banget!!"

Tiba-tiba saja terdengar seruan seseorang disusul dengan tepuk tangan yang memeriuhkan suasana tenang itu.

"Mama, Papa, Jane?!!" Ricky terkaget-kaget setelah melihat kedatangan mereka dari suatu tempat tak terduga. "Sejak kapan kalian..., jangan bilang ini semua kakak yang...,"

Aurel hanya terdiam dan tersenyum misterius. Ia malah semakin mengeratkan pelukannya supaya Ricky tidak kabur.

"Lepasin kak!"

"Nggak mau!" tolak Aurel.

"Akhirnya, setelah sekian lama, selamat ya Aurel! Congrats!!" seru Jane sambil terus menyoroti kakak-beradik itu dengan handycam milik Aurel.

"Semuanya terekam bagus, kan, Jane?" tanya Lily.

"Tenang, Tante. Semuanya bagus kok," kata Jane sambil mengacungkan ibu jarinya.

"Anak-anak Papa akhirnya bisa akur juga," kata Leo sambil menghampiri mereka dan mengelus rambut mereka. "Ricky, ternyata kamu suka peluk kakakmu ya," lanjutnya pria yang masih berpakaian kantor itu sambil tersenyum penuh makna pada Si Bungsu.

"Nggak... nggak gitu! Ini Kak Aurel yang gak mau lepasin. Dia—"

"Sudahlah, Rick. Akui saja kalau kau memang menyayangi kakakmu!" sela Jane sambil tertawa. Disusul dengan Leo dan Lily.

Wajah Ricky kian merona dan sudah terlihat seperti tomat saking malunya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Semua tertahan pada suasana yang memalukan yang seluruhnya terekam pada handycam berwarna merah jambu itu. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menangis dalam hati dan mencoba menyiapkan mentalnya untuk esok hari.

Itu sebabnya kenapa Ricky paling enggan untuk bercerita perihal keluarganya pada seseorang yang baru dikenalnya. Terutama tentang kakaknya