Di bawah patung Pompey, Caesar yang agung jatuh bersimbah darah, mengucur dari luka yang ditorehkan oleh sang Brutus tercinta. Sang diktator terbunuh, tiran telah runtuh. Republik terselamatkan, kebebasan kembali pada rakyat. Namun, benarkah begitu? Siapa tahu. Yang jelas, dalam pandangan Caesar, ia melihat secercah cahaya hangat yang dibelakangi oleh dua sosok agung. Mereka memberikan kehidupan kedua pada sang tiran, membiarkannya membuka mata kembali di dunia lain yang tak jauh berbeda dengan dunianya. Dan di sinilah perjalanan sang Caesar agung dimulai. -Veni, Vidi, Vici-
15 Maret, 709 Ab Urbi Condita, Teater Pompey
Para Senator mengangkat pedang mereka, semuanya berdiri dan mendekatiku. Pada saat itu aku tahu aku telah dikhianati.
Satu persatu tangan mulai menusukkan senjata besi itu. Di punggung, di dada, di perut, tak ada satupun bagian yang luput dari serangan para senator yang gila kekuasaan itu.
Bahkan Brutus, kau juga di pihak mereka..
Pada saat itu pandanganku gelap, yang kurasakan adalah rasa sakit di tubuh dan hati ku, rasa sakit akan dikhianati setelah menguasai begitu banyak wilayah penghasil pajak bagi mereka.
Dan aku melihat sebuah cahaya.
Hangat, terang, namun tidak menyilaukan.
Dua orang berdiri di depan cahaya itu, pria berjenggot tebal dan berbadan kekar, serta wanita bertubuh cantik dan berambut panjang. Mungkinkah ia seorang dewa? Jupiter, Mars, Aprilia, Maya? aku tak tahu yang mana, toh aku belum pernah melihat mereka.
"Ini Orangnya, salah satu yang paling berkualitas dalam sejarah planetku."
"Tua bangka ini? Dia takkan berumur panjang di duniaku."
"Akan ku buat dia muda kembali."
"Cukup adil. Dengan begini, pengorbanan di negeriku takkan sia-sia."
Dua buah tangan hangat meraih pipiku, memaksakan lensa mataku bertemu miliknya. Sebuah manik kuning yang sangat indah, dengan bibir semerah apel dan kulit seputih domba, seperti kombinasi helaian kain yang sedang ku gunakan saat aku dikhianati.
"Ya ampun, kau tampan juga." ia mengelus pipiku dengan ibu jarinya.
Perlahan, didekatkannya bibirnya ke telingaku, ia berbisik.
"Bebaskan duniaku, Julius, aku percaya padamu. Dan saat kau mati, akan kutawarkan diriku sebagai imbalannya."