Satu kecupan yang Liana daratkan ke pipi Alfian waktu itu, mengubah segalanya. Mengubah tatanan hidup Alfian. Jika sebelumnya dia suka menghamburkan kekayaan Ayahnya, maka sekarang ia akan lebih hemat.
Ujian kelulusan yang telah di laksanakan bulan lalu, membuatnya tak lagi berada di sekolah. Seperti saat ini, dirinya sibuk berada di sky lounge sebuah hotel bintang lima untuk membahas pembangunan rumah sakit di Ibukota Indonesia.
"Semua dokter harus lah yang berpengalaman, tetapi kami juga butuh fresh graduate. Kami akan meminta para dokter ahli mengajar dokter muda," ucapnya santai, "dan jangan lupakan para perawat. Pastikan yang otaknya cerdas." imbuhnya.
Semua orang yang hadir di rapat kecil itu manggut-manggut. Ayahnya Alfian tersenyum lebar melihat perubahan anaknya. Satu persatu tamu rapat menghilang di balik pintu menyisakan ayah dan anak yang sedang membahas lebih lanjut proyek mereka.
"Apa kau yakin, kita tidak akan rugi?" tanya pria yang berumur 45 tahun itu.
"Abi, kita tak harus melulu mencari untung kan? Anggap saja sedekah. Aku yakin pasti banyak orang yang bersedia membantu rumah sakit ini. Semoga Alloh mudahkan urusan kita."
"Aamiin, insyaallah."
Pandangan Alfian jatuh pada tiga wanita yang baru saja berjalan memasuki sky lounge. Mata Alfian tak berkedip melihat mereka memasuki suatu ruangan.
"Yang mana Al?" celetuk Ayah Alfian.
"Hah?"
"Dari ketiga wanita tadi, yang mana yang kamu taksir?"
Alfian seketika mengerti apa yang ayahnya maksud, " Ohh, itu bi. Anu, yang pakai rok pendek."
Ayah Alfian hanya menggelengkan kepalanya, wanita yang memperlihatkan auratnya tanpa malu ternyata yang bisa meruntuhkan hati anaknya. Padahal di negeri asalnya, banyak wanita yang berpakaian lebih sopan, lebih cantik pula.
Beberapa saat Alfian dan ayahnya menunggu ketiga orang tersebut, dan akhirnya mereka keluar. Waiters yang telah di beri pesan oleh Ayah Alfian pun segera menghampiri salah satu wanita yang berdiri di sana. Wanita itu menoleh ke arah meja Alfian hingga membuat jantung Alfian memompa lebih cepat.
Wanita itu menggunakan baju soft pink dengan bahu yang terbuka, rok pendek berwarna navy melayang-layang saat dia berjalan, kaki jenjangnya yang menggoda membuat imajinasi Alfian kemana-mana.
"Al?" sapa wanita tersebut.
Alfian segera berdiri dari duduknya, menarik kursi di sebelahnya dan mempersilahkan wanita itu duduk.
"Lama gak kelihatan ya, Al. Wahh kamu tambah ganteng," wanita itu mencubit pelan pipi Alfian membuat darah Alfian berdesir, "Anda? Ayahnya Alfian ya?" tanyanya setelah melihat laki-laki paruh baya di hadapannya.
"Perkenalkan, saya Alif" Ayah Alfian menjabat tangan wanita cantik itu, "Liana om" balasnya.
Alfian melepaskan jabatan tangan mereka yang terkesan lama. Dasar Ayah sialan.
"Mbak ada acara apa? Katanya sudah pindah?" tanya Alfian.
"Oh iya emang sudah pindah. Cuman nemenin Luna cek lounge nya aja. Sama jalan-jalan." balas Liana.
Alfian memandangi wajah Liana yang selalu cantik. Mata yang bulat itu selalu berbinar ketika menatap, hidung mancungnya yang kecil serta bibirnya yang merekah membuatnya ingin meletakkan bibirnya di atas bibir Liana. Memikirkannya saja sudah membuatnya tegang.
"Mbak, Al minta alamat di Jakarta dong."
"Mau ngapain?"
"Mau ketemu mbak lah disana"
Alfian menyodorkan ponselnya ke tangan Liana, dengan gesit Liana menyimpan nomer handphonenya di kontak Alfian.
"Ntar hubungin mbak aja ya, kasian kakak-kakakku pada nunggu di parkiran." jawab Liana sembari menyodorkan kembali ponsel Alfian.
Setelah bersalaman dengan Ayah Alfian dan juga Alfian, Liana berjalan ke arah pintu keluar dengan lenggak-lenggok pinggulnya yang entah di sengaja atau tidak.
~~~
Suara keras dentuman musik dan lampu yang berwarna-warni menghiasi malam Liana dan Luna. Liana tidak menggunakan baju ketat atau seksi seperti Luna, dia hanya menggunakan atasan crop top berwarna maroon dan rok polos kyora berwarna senada.
Tangannya terulur ke udara sambil sesekali dia menghentakkan heelsnya ke lantai.
"Kaki aku sakittt" teriak Liana.
"Lepas heelsnya ogeb" balas Luna tak kalah nyaring.
Liana duduk di kursi bar, melepaskan heelsnya dan memberikannya ke bartender di sana, "Niko, sepatu putih aku ada di dalam gak?"
Niko yang sedang meracik minuman menoleh ke arah Liana dan menganggukkan kepala.
"Heels aku tadi sama Niki" ucap Liana saat Niko memberikan sepatu yang di minta.
Niko dan Niki saudara kembar, mereka asli Greece. Di sana, mereka luntang-lantung tak bertuan. Hingga bertemu Leon dan Leon membawanya ke Jakarta. Niko membantu mengurus Club milik Leon yang otomatis dia sudah hapal saudara-saudara Leon.
"What's up guys" suara itu menggema di telinga Liana.
"Cowok lo tuh" Niko memberitahu Liana dengan dagu yang menunjuk ke panggung.
Itu Leon.
Liana akui Leon memang tampan. Rambutnya sekarang di spray berwarna abu-abu ungu yang nyata tidak match. Headphone yang tergantung di lehernya, tangan kekarnya sedang memutar-mutar yang Liana tidak tau apa itu namanya.
"Awas ngiler," ucap Niko yang tentunya membuat Liana melayangkan pukulan ke lengan Niko, "Jangan sentuh aku Li, aku masih mau hidup." sambung Niko.
Bukan tanpa alasan Niko berkata begitu, karena pernah terjadi sekali Leon menghajar habis laki-laki yang menggoda Liana.
"Nik, aku ngantuk. Leon lama banget" Liana menelungkupkan wajahnya di meja bar dengan tangan yang sebagai bantal.
"Tidur di ruangan VIP aja Li, ntar aku kasih tau Leon."
Liana menggeleng pelan, kepalanya sesekali mengikuti alunan musik. Musik yang keras tak membuat kantuknya hilang, itu tak berpengaruh. Ini musik Dafa, karena Liana hapal betul bagaimana Leon nge-mix musik.
Liana resah, saat seorang lelaki berwajah lumayan duduk di sampingnya dan mulai menggodanya.
"Hai cantik, sendirian aja."
Liana tidak menggubris, wajahnya dia alihkan ke arah Niko dan Niki yang sedang melayani pelanggan. Mata Liana tersirat meminta pertolongan dan beruntungnya Niko mengerti arti tatapan itu.
"Maaf tuan, tolong jangan ganggu Nona Liana" Niko berbicara sehalus mungkin tapi tak di gubris oleh lelaki berkulit cold itu.
"Jadi, namamu Liana? Nama yang cantik seperti orangnya," lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Liana, "Nama gue Jason."
Liana melirik ke arah Jason, lelaki itu memiliki mata berwarna biru seperti Zac Efron. Liana mengacuhkan jabatan tangan lelaki itu yang mulai tersenyum palsu.
"Baru kali ini gue ditolak," Jason menyeruput minumannya hingga terdengar suara slurpp, "Gue tidak suka di tolak, cantik."
"Aku tidak suka di paksa" balas Liana.
Jason tersenyum. Dia mulai berani merangkul Liana sedangkan Liana mati-matian menolak. Liana berdiri hendak berlari ke arah mana saja, tetapi Jason tak kehilangan akal. Dengan tenaga lelakinya, dia memeluk Liana dari belakang dan setengah mengangkatnya. Setelah itu dia membopong Liana seperti karung di pundaknya.
"Nikoooooo" teriak Liana.
Niko yang terkejut pun berlari mengejar Liana yang telah hampir sampai di pintu club. Niko menghadang jalan Jason, merebut Liana dari Jason namun bodyguard Jason menghajar habis-habisan Niko. Para pengunjung mulai berteriak saat Jason mengeluarkan pistol. Niki berteriak memanggil nama Leon, sementara Liana hanya bisa menangis saat itu. Mulutnya di bekap oleh tangan Jason yang besar, sedang pistol di todong di pelipis Liana.
Entah motif apa yang tersirat di benak Jason, jelas tindakannya kali ini tak beralasan. Dia hanya ingin berbincang dengan Liana dan berakhir dengan penolakan. Hingga akhirnya Leon datang dan menendang bahu Jason hingga pistol itu terlempar begitu saja.
"Bangsatt!!" Leon mengumpat.
Liana segera berlari menghambur ke pelukan Leon, para bodyguard Jason mengeluarkan pistol mereka. Leon tak gentar.
"Cih! Pahlawan kemalaman, siapa lo?"
"Lo yang siapa? Berani-beraninya lo kasar sama Liana" teriak Leon.
Wajah Leon berubah bengis kala Jason meninju pipinya.
"Anjing" umpat Leon.
Leon pun tak mau kalah, kaki kirinya maju sedikit dan kepalan tangannya mendarat di rahang Jason. Masih bertumpu pada kaki kiri, Leon memutar tubuhnya dan menendang tepat di bahu Jason.
Bodyguard Jason tak berkutik karena bosnya telah penuh dengan titik laser berwarna merah. Liana berontak dari pelukan Dafa saat Leon tersungkur. Wajah lebam Leon membuat Liana menangis, "Le,"
Leon hanya menganggukkan kepala, baru saja jemari Leon ingin menghapus air mata Liana, tetapi tangan Jason menarik tangan Liana dengan sekali hentak dan melumat bibir Liana kasar. Liana berontak, tapi apalah daya tenaganya tak kuat melawan Jason.
Kesabaran Leon habis sudah, dia menarik Jason dengan sangat kasar dan memukuli Jason dengan membabi buta. Habislah sudah wajah tampan Jason penuh dengan lebam. Sebagai penutup, Leon menendang tubuh Jason yang terkulai lemas.
"Jangan sampai aku melihat muka bosmu di Club milikku atau nyawanya akan melayang"
Ingatan itu membuat Liana menghela nafas. Dia menyayangi Leon dan takut kehilangan. Tetapi egonya selalu menepis rasa cintanya yang selalu mengingatkan bahwa Leon adalah adik nya.
~~~
Sore ini, jarum jam menunjukkan pukul 5 waktu setempat tapi Liana dan Leon baru menjejakkan kaki mereka di rumah baru mereka.
Resign dari tenaga pendidik membuat Leon harus terjun ke perusahaan papahnya dengan Liana yang akan membimbingnya. Jangan lupakan otak cerdas Liana yang di atas rata-rata.
Kepala Liana berdenyut membuatnya memegangi pelipisnya. Liana merebahkan diri di sofa ruang keluarga. Di ruangan itu, ada Amel--Adel--dan Leon yang juga mendaratkan bokongnya di sofa.
Leon mengangkat kaki Liana yang masih terbungkus heels berwarna hitam itu. Leon dengan santai melepaskan heels Liana, wanita itu pun hanya memejamkan matanya. Sungguh kepalanya sangat sakit. Banyak sekali deadline kerja mereka.
Belum lagi keributan yang di perbuat oleh Amel dan Adel. Hanya karena si kembar kepala botak yang terganti dengan makhluk kotak kuning membuatnya menangis kencang. Liana tak menggubris, membuat Leon hanya menghela nafas.
"Amel, ganti upin ipin aja. Kalo Amel mau nonton spongebob, nonton di kamar tante Luna aja ya. Kasian tuh mamah kepalanya sakit."
"Beneran boleh nonton di kamar tante Luna?" mata Amel berbinar, pasalnya dia tau bahwa tantenya itu penggemar kartun.
Leon mengangguk pelan dan Amel segera berlari ke lantai dua menuju kamar Luna. Sementara Adel pun sudah berhenti menangis sejak si kembar upin ipin kembali memenuhi TV.
Leon melonggarkan dasi yang berwarna abu-abu itu, membuka jasnya dan menyampirkannya ke paha Liana yang terekspos. Tangannya membuka semua kancing kemeja nya memperlihatkan otot-otot perutnya yang terlukis indah.
Kepalanya ia tengadahkan untuk bisa mencapai alam mimpi. Sungguh, Leon lelah jika harus melangkah ke kamarnya apalagi Liana telah tertidur pulas, tidak mungkin dia tidak mengangkat Liana ke kamar.
Mimpi pun datang menyergap Leon yang masih setia memangku kaki Liana.
Jangan lupa vote.
Jangan jadi dark readers ya, plizzzzz.