Kini senja tadi sudah berakhir, sama seperti anggapanku bahwa hari ini juga sudah berakhir, dalam hal baik buruknya maksudku.
Aku tak ingin memikirkan apapun lagi!
Terlepas dari Yuuki yang membuang semua pertanyaan yang harusnya dia tanyakan di saat-saat seperti ini, aku hanya bisa berbaring sambil mencoba untuk tidur.
"Halo?"
Dalam keheningan antara aku dan Yuuki tadi, tiba-tiba Yuuki sedikit menjauh dariku.
Tapi tak lama, setelah berpaling dan kembali dalam pembahasan telpon itu dia berjalan ke arahku.
"Nih ka, ada yang mau ngomong."
Di HP itu tertulis nama Mirai.
Jika ingatanku benar, dia adalah gadis saat perselisihan antara pertemanannya Yuuki.
Kenapa dengannya?
"Hallo?"
Sebisa mungkin aku mencoba tenang untuk situasi apapun.
"Nih ka Zellnya."
Aku juga tak begitu mengerti, tapi terdengar bahwa telpon itu seperti sedang berpindah tangan.
"Halo Zell!"
Ah, sial, kenapa ini terjadi?
"I, iya?"
Tak perlu aku jelaskan atau ingat-ingat lagi, suara yang kukira sudah menghilang selama-lamanya ini akhirnya kembali.
"Hari selasa, liburkan? Kita ketemuan di taman deket rumahmu ya? Ya? Ya? Oke ya? Sip!"
Dan sebelum aku menjawab itu, itu berakhir.
Amanda tak pernah berubah, sikap suka memaksa ini juga salah satu yang paling aku sukai dari dirinya.
Walaupun memaksa, dia hanya akan bersikap manja dengan paksaannya, sama seperti suara tadi.
Kembali senyap, dalam angka kecil dari jam dinding yang terlihat dari sini telpon itu juga berhenti.
Lalu malam berlalu berlanjut dengan perjalanan pulang ku ke rumah di pagi-pagi sekali bahkan rumah Rainata yang terlihat sepi bersama laron-laron kecil yang terbang mengitarinya masih terlihat jelas.
Setelah sifat rajin Yuuki yang juga terlihat jelas ketika dia langsung membuat sarapan saat kami sampai di rumah, kami berdua melewati pagi kami sama seperti biasanya.
Hanya ada satu hal yang paling aku inginkan dari apa yang sudah berlalu, yaitu hari yang damai untuk aku mengumpulkan kembali tenagaku.
Dan aku tahu bahwa ini belum saatnya, ada hal baru dari hal lama, tentang lilitan janji-janji di masa lalu.
Entah mengapa hari ini hanya aku dan Yuuki, berjalan menyusuri arah sekolah kami meskipun aku berjalan sedikit di belakangnya tapi langkah kaki kami terasa sama.
Rasanya sudah berapa lama aku sudah tak pernah sekolah, lingkungan saat aku berpisah dengan Yuuki di depan anak tangga tadi membuatku sedikit menekan detak jantung yang seperti mulai kehilangan kendali dari keramaian jalan koridor ini.
Ini menyebalkan, inilah salah satu alasan kenapa aku selalu datang lebih pagi.
Aku yakin bagi seorang introvert seperti aku ini, saat melewati banyak kelompok-kelompok di jalan yang sama terus menerus lebih menyeramkan daripada menonton film horor atau trailer.
Maksudku adalah saat melewati mereka, pada dasarnya mereka akan acuh dan hanya akan ketawa-ketiwi dengan bahan lelucon mereka tanpa tahu pandangan orang lain.
Jika kalian ingin tahu, bagi kami kalian hanya sedang menertawakan kami, orang yang melewati kelompok kalian, dasar pemalak mental.
Yah, meskipun ada hal lain yang aku khawatirkan.
Langkah ku akhirnya berhenti di depan pintu kelas, dan ketika aku mencoba melangkah setelah sedikit menarik nafas lonceng berbunyi.
Tentu saja, layaknya seorang satpam yang sedang mengejar maling ibu Yui juga terlihat mendekat sangat cepat.
Sebagai orang yang masuk ke kelas ini sebelum guru, aku merasa seperti diasingkan karena tak ada yang mau berbicara atau menyapaku.
Yah, memang pada dasarnya seperti ini, kenapa aku mengharap yang macam-macam?
Kelas mulai dengan begitu saja, kemudian berakhir begitu saja, juga.
Memang, lirik mataku sering mengarah keseorang gadis yang tempat duduknya ada di satu barisan kebelakang tempat para gadis-gadis itu.
Tapi saat lirikan itu di balas dengan pandangannya, aku langsung berpaling sambil menyapu-nyapu bagian belakang rambutku.
Sial! Kecanggungan macam apa ini? Aneh sekali! Padahal kemarin kami bisa saling berpegangan tangan satu sama lain, yah walaupun saat itu masing-masing dari kami tak menyangkanya.
Oke, kembali ke dalam kelasku.
Bukannya tak puas, tapi dengan itu yang sudah terjadi bukan hal semacamnya yang terjadi, keadaan benar-benar terasa sangat canggung.
Yah, saat memikirkan banyak hal waktu juga banyak berlalu, kemudian setelah semua yang biasanya terjadi layaknya arus air, waktu sekolah juga berakhir.
Sekarang ini aku kembali memulai kebiasaan ku tepat setelah selesai memasukkan barang-barang ku kedalam tas yang kini berada di depanku.
Dalam waktu itu, aku terus menerus gelisah, seolah sedang menunggu seseorang yang memang dari tadi aku harapkan.
Sekitar lima menit mungkin, akhirnya aku bisa merasakan aura datang darinya.
Kali ini Rainata duduk di kursi depan mejaku, aturan kedua tepatnya. Lalu setelah sedikit menarik nafas panjang seolah kabar bahwa dia ada di sana, dia mulai memandang keluar dengan tangan yang kini berada di atas tas punggungku.
Tiba-tiba saja aku mereka flashback yang cukup banyak, jujur saja aku sedikit mengingat Amanda saat ini.
Sial! Padahal saat ini aku sedang bersama dengan Rainata lho!
Hah, bagaimana pun juga aku masih memiliki hal yang tak wajar dengan Amanda, tentang status antara aku, Rainata dan juga dirinya.
Lagi-lagi hal yang ambigu.
"Rai, besok Amanda ngajak aku buat ke..."
"Hemm, pergi aja."
Dengan anggukan kecil, Rainata memalingkan lalu kembali melayangkan wajahnya, seolah sedang tak mencoba menatap ke arahku lebih dalam.
Yah, sebenarnya dari tadi mataku tak bisa diam di satu titik.
"Nggapapa?"
"Tenang aja, lagian orang yang udah lama ada di hati itu juga bakal kalah sama orang yang ada tiap hari...."
Dari awal, kata yang keluar sangat terangkat, lalu secara perlahan menipis kemudian menghilang. Dalam kepadaman kata itu mata Rainata sedikit melebar setelah bertemu denganku lalu sedikit panik.
Keningnya sedikit terkerut, sama seperti yang sedang aku lakukan untuk menghilangkan perasaan malu ini.
Waw, waw, waw, apa itu? Sangat manis! Sejak kapan dia jadi semanis ini?!
Ehem! Oke Zell tenanglah!
"Ehem, ehem, pulang aja yuk."
Batuk Rainata adalah batuk buatan terburuk di dunia, sangat kaku, seolah memintaku untuk lebih memperhatikannya padahal hanya ada kami di ruang kelas ini.
Sebelum berdiri, Rainata sedikit mendorong tas yang tadi ada di tangannya see sedikit mendekatiku lalu menungguku sama tegaknya.
Jendela terakhir yang tertutup hari ini adalah jendela yang baru saja aku tutup, kini jam dinding adalah suara paling keras di dalam sini selain langkah kaki kami yang benar-benar tak bisa di selaraskan tetapi sangat lambat.
Meskipun sangat lambat, dengan waktu sebanyak itu, aku sama sekali tak memiliki bahan obrolan. Maksudku, dunia sedang memaksa orang sepertiku memulai pembicaraan dan sepertinya akan sedikit sia-sia.
Tak terasa Rainata sudah sampai di rumahnya, melambaikan tangan kecil gemulainya dengan sangat perlahan antara bahu dan juga kepala yang sedikit memiring ketempat lambaian itu.
Entah mengapa aku tak bisa membalasnya, sama saja seperti dulu-dulu, hanya saja aku kini sudah bisa sedikit memasang senyum kecut untuk lebih menghormatinya.
Yah, nggak juga sih, aku juga nggak tau kenapa aku malah tersenyum.
Oke, setelah hal itu, malam berlalu menjadi hari libur yang sudah kujanjikan dengan Amanda.
Pagi harinya juga sudah kuhabiskan dengan bermain game sendirian.
Dan akhirnya, sekarang ini aku sedang duduk di bangku taman, sekitar jam tiga sore setelah aku memeriksa layar HP ku.
Jika harus diingat lagi, bangku ini adalah tempat aku dan Ishiki mengakhiri hubungan kami, yah pada dasarnya aku yang mengakhirinya.
Yasudahlah, untuk sekarang aku harus menghadapi hal lain, Amanda juga terlihat sudah berjalan masuk di depan gerbang taman sana.
Setelah semakin dekat denganku, Amanda berlari kecil lalu berhenti dan duduk tepat di sebelahku.
"Maaf ya, udah lama nungguinnya?"
"Amanda, maaf."
"Maaf apaan?"
Saat ini ada kata yang terlintas di benakku, "Hidup adalah seni untuk memilih," entah darimana aku mendapatkan kata itu.
"Aku..."
Seandainya bisa, aku tak ingin mengatakannya.
"Jangan sok dekat seperti itu dasar bodoh! Kau pikir setelah 3 tahun kau ngehilang gitu aja tanpa kabar sedikit pun, kau bisa seenaknya balik masuk kedalam hidupanku!"
Lagi-lagi aku melakukan hal ini.
"Kau pikir perasaan ku masih sama setelah apa yang kau lakukan padaku? Nggak! Aku sudah kehilangan apapun perasaan itu!"
Di pipinya yang sedikit merah, tercecer air mata. Meskipun aku yakin air mata itu tak ingin keluar, tapi dasarnya Amanda langsung pergi setelah mendengar caci-maki dariku.
Lalu setelah kepergiannya, aku kembali sendirian.
Lihatlah, gampang bukan? Menjadi dibenci lebih gampang daripada disukai.
Dengan begitu aku bisa menghemat waktuku.