Perbedaan ada sebab kita ada, toleransi ada sebab ada, cinta ada sebab kita ada, dan benci ada sebab kita ada.
Aku menghabiskan banyak waktu di kursi taman ini. Hingga sinar mentari tadi berubah menjadi ke jingga-jinggan hangat kearahku, ditambah terpaan angin yang terasa sangat menenangkan.
Tiba-tiba HP yang ada di saku ku bergetar, saat kulihat ada chat dari Rainata.
"Udahkan jalan sama Amanda nya? Besok sama aku ya?"
Sedikit tersenyum, aku merasa jijik pada diriku sendiri karena hal ini. Meskipun begitu, rasa bersalahku tadi perlahan menghilang.
Tanpa banyak tanya, aku membalas "oke" lalu bersiap untuk pulang kerumah.
Malam berlalu, dan pagi di iringi dengan hujan yang cukup lebat datang. Rasa gelisahku sepertinya juga datang seolah menghawatirkan janjiku dengan Rainata sore ini.
Rintik hujan dipagi itu tak ada hentinya, menghabarkan bahwa dirinya akan turun lebih lama. Untuk pertama kalinya, aku sedikit kesal dengan hujan.
Selagi itu, aku duduk di sofa depan TV sambil menonton anime, beberapa kali perhatianku selalu teralihkan oleh suara hujan yang semakin menjadi-jadi.
Berjam-jam terlewat, tak sadar sudah sekitar jam dua. Karena aku main oke-oke saja kemarin, aku tak tahu dimana dan kapan ketemuannya, jadi akupun menelponnya.
"Rei, jemput sekarang?"
"Hem, aku udah siap kok."
Sesudah aku mendengar konfirmasinya, sedikit bersiap dan pergi. Sebelum itu aku berhenti didepan pintu yang sudah kubuka.
"Yuuki aku keluar bentar ya."
"Iya, iya, jangan lupa pegangan ya, ntar jatuh."
Suaranya terdengar samar dari kamarnya, tapi apa yang dimaksud dengan pegangan? Oi, Yuuki kau sedang berbicara pada siapa?
Aku beranjak pergi, sedikit bingung dengan apa yang dibicarakan Yuuki barusan.
Berjalan, yang setiap langkahnya membuat hatiku berdebar tak karuan. Pikiranku mengarah kemana-mana, aku harus bisa mengontrol emosi yang terjadi saat aku berhadapan dengan gadis seperti Rainata. Aku pasti akan terlihat seperti orang kaku yang terkejut setiap saat.
Tak terasa karena aku terlalu memikirkan banyak hal, aku sudah berdiri didepan rumah Rainata. Entah mengapa saat mengetuk pintu rumahnya ini perasaanku semakin aneh. Iya, ini adalah pertama kalinya aku menjemput seorang gadis kerumahnya.
Ahh... Rasanya aku semakin buruk saat mengingat sosok menyedihkan diriku ini.
Rainata keluar setelah ketukan pintu yang kesekian kalinya. Mengenakan baju kemeja putih dihiasi pita hitam kecil disebelah bahu kirinya, celana hitam panjang yang melebar di bagian bawahnya itu mengingatkan pada film yang ibuku tonton dulu.
Kalo nggak salah... Rama... Ah... Roma Irama. Itu dia.
Disamping itu, wajahnya terlihat makeup yang simpel tapi sudah sangat cukup untuk sosoknya. Aku tak pernah bisa membayangkan bisa jalan dengan gadis secantik ini. Bahkan meskipun ini kebetulan, kami sedang mengenakan pakaian warnanya samaan, itu apa namanya? Couple?
Apa? Tunggu!! Apa sekarang aku harus memuji penampilannya ini? Tapi kenapa? Saking banyaknya yang ingin kuucapkan nggak ada yang bisa keluar? Hah?
"Zell, pipimu jadi merah lo, nggak apa-apa?"
"I... Iya, nggak apa-apa."
Sialan, nggak bisa bilang!!!
Sambil menundukkan tatapanku yang dari tadi terfokus dengan penampilan luar biasanya itu, aku mengalihkan pembicaraan.
"Ngomong-ngomong, kita mau kemana?"
"Oh, aku lupa bilang ya? Kita mau ketaman hiburan."
"Hah? Bukannya itu cukup jauh dari sini? Terus hari ini juga hari libur pasti banyak orang disana."
"Nggak mau?"
Apalagi ini? Kau terlihat sedang menguji ku saat ini!
Aku terdiam, tak bisa menolak permintaan jalan pertamanya kesana. Meskipun itu beneran ngerepotin.
"Mau kan? Ayo!"
Setelah melihat aku sedikit mengangguk, Rainata mulai berjalan lalu aku berjalan disebelahnya. Berjalan bersebelahan dengan sosok ini membuat sangat canggung, tapi Rainata berjalan sangat santai disebelahku dan setelah melihat itu aku juga sudah bisa sedikit tenang.
Kami berdua sampai di jalan raya, menghentikan angkutan umum dan memasukinya. Didalam sini ada beberapa orang yang sudah duduk, Rainata duduk dikursi paling ujung dan secara tak langsung dia memintaku untuk duduk berdempetan dengannya.
Aku tak mungkin duduk di seberangnya atau sejenisnya, meskipun aku tak tau apa anggapan itu benar atau salah.
Kibaran rambut Rainata sesekali menyentuh pipiku Karena terkena angin yang berhembus kencang di jendela ini, membuat aroma yang sangat wangi tercium. Bahu-bahu kami juga sesekali bertemu karena gerakan tiba-tiba dari angkot ini.
Bau apa ini? Apa bau cewe selalu seharum ini? Aku nggak bisa tenang kalo gini!!! Apa ini nggak apa-apa? Aku duduk sangat dekat dengannya, apa dia nggak ngerasa diganggu atau sejenisnya? Pak supir, bisa percepat nggak? Nafasku udah nggak teratur lagi!!
Buktinya, perlu sepuluh menit lebih untuk sampai disini. Setelah aku dan Rainata turun, rasanya aku mencium aroma kebebasan. Benar ini kebebasan. Sudah berapa tahun sejak itu? Meskipun ini agak berlebihan tapi itu benar-benar terasa.
Tepat didepan kami sudah tertera gerbang selamat datang. Tanpa menghiraukan perasaanku yang sedang berkecamuk Rainata berjalan dengan cepat kearah sana, setelah menghirup nafas panjang aku juga menyusulnya takut terpisah.
Sudah kuduga, disini banyak sekali orang.
"Jadi mau ngapain di sini?"
"Udah jalan dulu aja."
Dalam sekejap tangan Rainata menarik lengan bajuku, membuat posisi berdiri ku kini benar-benar sejejer dengannya.
Ditemani sedikit sinar ranum dari matahari, serta aroma khas setelah hujan yang aku sukai, kami berdua berjalan kesana-kemari melihat-lihat apa yang ada.
Berkali-kali aku terpaku oleh ekspresi wajah Rainata yang berubah setiap kali menemukan hal yang dianggapnya unik dan mengagumkan.
Yah, tentu saja aku juga, meskipun pada hal lain.
Taman hiburan ini cukup luas, membentuk lingkaran dan sebagainya pusat dari lingkaran itu ada sebuah benda yang memang sudah seperti jantung dari sebuah taman hiburan, sangkar burung.
Yang paling menarik perhatianku adalah itu, benda itu terus menerus berputar, sesekali terhenti lalu kembali dibebani oleh orang yang menaikinya.
Mungkin, karena beberapa kali pandanganku mengarah ke sana, Rainata kembali menarik lengan bajuku seolah sedang mendesakku mengikutinya.
Dalam sekejap aku dan Rainata akhirnya masuk dalam besi yang jika didekati tak ada mirip-miripnya sedikitpun dengan keranjang burung.
Malah aku merasa bahwa sedang berada di dalam sel penjara, bedanya aku bisa menikmati banyak hal dari sini.
Duduk berseberangan, dengan masing-masing memandang ketempat pilihan dari kami sendiri-sendiri, meskipun begitu antara aku dan Rainata sedang mencoba menerima kehadiran sosok masing-masing.
Perlahan keranjang yang kami naiki ini mendaki ke atas, semakin lama semakin tinggi, yah memang benar kata orang semakin tinggi kita maka semakin berbeda sudut pandang kita tentang orang lain.
"Zell, coba liat sana, tuh di belakangmu..."
"Apaan?"
Dalam keasikkan ku dengan diriku sendiri, Rainata menunjuk ke arah belakangku. Lalu setelah melihat aba-aba dari tangan kanannya, aku langsung mengarahkan pandangan ku membelakanginya.
"Udah, nggak jadi, coba hadep sini."
Jujur saja, aku tak mengerti apa maksudnya, akan tetapi setelah aku mengembalikan pandanganku kearahnya, kamera mulai memotret dengan gaya selfinya para gadis normal.
Dan itu dalam foto pertamaku antara aku dan Rainata.
"Hey, bilang dulu kek..."
"Ah... Anu... Maaf...."
Seolah tak enak setelah melakukan hal seenak jidatnya, Rainata perlahan menurunkan Hp di tangannya.
"Aku belum siap, tolong ulang."
Setelah mendengar itu, Rainata tersenyum kecil, perlahan menarik lengan bajunya dan berubah tempat duduk di sampingku.
Yah, aku sangat terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu, akan tetapi satu foto juga sudah diambil oleh Rainata.
"Coba liat, nggak ada bedanya kan?"
Bahu kami sedang menempel satu sama lain, ditambah dengan jarak yang baru saja ditambah mengecil karena Rainata terlalu bersemangat untuk menunjukkan foto hasilnya tadi padaku.
"Seenggaknya aku udah ngecoba senyum."
Yah, itu aku, sedang duduk berdempetan dengan seorang gadis cantik dengan sejuta kata, itu adalah aku dengan senyum kecil sinisku.
Tak lama, setelah beberapa kali mengusap-usap layar HP-nya Rainata seolah baru sadar dengan posisi kami saat ini langsung melakukan gerakan yang lebih cepat daripada tadi.
Sontak gerakan itu membuat keranjang burung ini semakin bergoyang lebih kencang, refleknya tanganku langsung memegang erat besi berwarna biru tua ini.
Sekilas terdengar suara Yuuki, "Iya, iya, jangan lupa pegangan ya, ntar jatuh."
Hey Yuuki, pegangan kepala kau! Jangan bilang ini semua rencana licikmu!?!