Perlahan mataku terbuka gemulai, rasa sesak di dadaku sudah menghilang, namun ada satu hal yang membuat perasaanku tak nyaman.
Tangan kananku sedang di genggam erat oleh seseorang, akan tetapi aku sama sekali tak berani memutuskan siapa orang itu.
Aku sebisa mungkin tak ingin melihat siapa yang sedang menggenggamnya.
Ketika itu mata semua orang mengarah padaku, dengan tak langsung membuatku mengelilingkan wajahku untuk mengenali mereka semua.
Di sebelah kiri ku Yuuki berdiri di samping Jimmy, lalu di hadapan kaki-kakiku Ryuga dan Ishiki juga bersama, kemudian di sisi lainnya Billy sedang memalingkan wajahnya dari jendela ruangan ini.
Satu hal yang pasti, dalam hal lain yang semakin membuatku sedikit bahagia.
Rainata duduk sambil membawa mata dengan mata yang berkaca, hanya dia yang membuat mata semenyedihkan itu, tapi entah mengapa aku bahagia.
Nggak, tunggu dulu, oi, apa ini? Tangannya sangat lembut! Sangat hangat, entah tanganku yang dingin atau sebaliknya? Yang pasti aku merasa tangan Rainata adalah sumber energi yang kudapat sekarang.
Setelah melihatku membuka mata Rainata bernafas layaknya sedang membawa ketegangan dalam dirinya sendiri.
Ngomong-ngomong, tanganku kenapa? Nggak bisa digerakin! Aku serius ini kenapa? Apa karena Rainata yang lagi meganginnya sampe-sampe nggak bisa di gerakin.
Ah, sekarang aku ngerti apa yang disebut dengan mati rasa, ternyata seperti ini rasanya!
O, oke, aku harus tenang.
Ingatlah kata Hikigaya "para cowok itu adalah makhluk yang sangat sederhana."
Yah, tentu saja hanya dengan diberi senyum lembut akan membuat mereka berpikir bahwa gadis itu menyukai mereka.
Mungkin itu juga berlaku padaku.
Untungnya, setelah memperdalam tentang karakter favoritku itu, aku diberikan satu skill yang bisa mengatasi tentang masalah terlalu pede itu.
Yah, nama skillnya adalah sadar diri!
Aku mohon, tolong bedakan dengan sombong, mengerti? Karena aku tak menyukai orang yang tak pernah mengerti lalu langsung berbicara.
Huuh....
Untuk mencoba mengerti tentang apa yang terjadi aku mencoba duduk meskipun tanganku masih belum bisa aku gerakan.
"Udah berapa lama aku nggak sadar?"
"Seharian."
Ryuga menjawab pertanyaan ku layaknya sedang berbalapan dengan seseorang.
"Oke, Zell nya udah sadar, aku pulang dulu."
Orang yang terlihat tak peduli dari semua orang itu mulai menjauh dari jendela ruangan ini, lalu setelah membalikkan badannya sekali kearah ku Billy membuka pintu itu dan menghilang dari pandangan ku.
"Ah, aku harus ngasih tau dokter dulu kalo kaka udah siuman."
Oi, jangan bilang....
"Jimmy, bantuin aku nyari toilet sini."
Tunggu, Ryuga untuk apa kau bersikap seperti itu padaku? Apa aku melakukan kesalahan lagi?
Setelah Yuuki keluar, Ryuga dan Jimmy juga keluar sesudahnya.
"Zell, aku keluar bentar ya?"
Hey rai, kau juga? Bukankah kalian semua agak kejam padaku? Aku ini baru saja sadar lho?
Tapi setidaknya keluarnya Rainata juga membuat tangan kananku tadi bisa kembali digerakkan.
Meskipun aku tahu bahwa aku sedang dijebak aku sama sekali tak bisa keluar dari jebakan ini.
Kenapa ini terjadi padaku?
Siapa saja tolong aku, apapun itu tolong aku, aku nggak mau ada di sini.
Setelah beberapa orang itu berangsur-angsur pergi, akhirnya dua orang tersisa dalam ruangan putih dengan hanya hiasan jam dinding saja ini.
Aku dan Ishiki.
Tunggu dulu Ishiki, aku belum siap.
Sial, sial, sial, sialan!!! Rasanya kayak mau mati karena ketidaknyamanannya ini.
Yah, ini di sebut kecanggungan.
Setelah kuperhatikan lagi, jam dinding itu menunjukkan jam lima, lalu aku juga melihat jendela yang Billy tadi berdiri di depannya untuk menghindari kontak mata langsung dengan Ishiki di depanku.
Yah, aku memang pengecut!
Saking pengecutnya aku sama sekali tak berani menatap seorang gadis!
"Aku benci cewe baik, hanya saling sapa bisa membuatku penasaran, dan saling chat-an membuatku gelisah, jika mereka menelponku aku akan selalu melihat daftar panggilan dengan senyum bodoh. Tapi aku sudah tahu, mereka hanya bersikap baik, jika kau bersikap baik padaku kau juga bersikap baik pada yang lain. Aku hampir lupa itu."
Dalam monolognya, Hikigaya mewakili ku 100% dari apa yang ingin aku sampaikan.
Yah, tentu saja Ishiki adalah salah satu dari mereka.
"Ehmm... "
Deheman Ishiki menggema di dalam ruangan yang hanya ada kami ini, meskipun begitu aku belum bisa mengatasi rasa gelisah ku.
Kini, terasa jelas Ishiki mulai mendekati ranjang ini di mana tangan-tangannya diletakan sedikit lebih kebawah dari kakiku.
"Maaf."
"Maaf."
Suara kami tumpah tindih satu sama lain, suara itu benar-benar berada di tempat dan nada yang sama.
Ketika itu berakhir, mataku akhirnya bisa sedikit melirik kearahnya.
Mulut Ishiki sedikit terbuka seolah sedang tertawa kecil lalu mendekat ke tempat duduk Rainata tadi.
Aku sedikit menggeser dudukku untuk memberi jarak dengannya.
"Maaf buat apa?"
Sesekali aku melirik ke tempat duduknya yang juga terlihat sedikit gelisah.
"Waktu itu aku ngomongnya udah kelewatan."
"Hemm..."
"Aku minta maaf."
Karena terlalu tertekan dengan masalah ini, aku sampai tak bisa lagi memikirkan kata-kata.
Lalu setelah mendengar permintaan maaf dariku Ishiki mendesah kasar seolah sedang dibuat-buatnya.
"Aku juga, maaf udah ngehindar beberapa hari ini."
Yah, tentu saja, aku juga menghindari mu, jujur aku berterima kasih untuk itu.
Selain itu untuk apa wajah bersalahnya itu, dari awal ini adalah salahku, aku yang salah.
Harusnya dari awal aku tak pernah menjawab iya atau sejenisnya.
Sial!
Ini karena aku terlalu percaya diri dengan perasaanku ini.
"Aku juga mau minta maaf soal itu."
"Nggak, itu salahku."
"Oke itu salahmu."
Aku tak ingin permainan kata yang tak berarti saat-saat seperti ini, rasa bersalahnya pun mungkin akan sedikit berubah jika di salahkan.
Benarkan? Ada yang mengatakan padaku "Dimarahi lebih baik daripada diabaikan."
"Tapi itu nggak sepenuhnya salahku."
"Hey Ishiki sebenernya apa mau mu?"
"Ini juga salahmu kan?"
"Dari tadi aku ngaku kalo ini salahku."
Entah mengapa senyum Ishiki kini semakin melebar, sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya dan membuatku merasakan Dejavu setelah melihat rambutnya yang terkibas pelan.
Melihat itu aku tersenyum kecut seolah mengingat sesuatu.
"Aku juga mau minta maaf waktu di tangga sekolah itu."
"Ah, benar kau harus meminta maaf soal itu, aku beneran mau pingsan saking kagetnya."
"Ya ini kan aku lagi minta maaf."
Sebenernya sampai sekarang pun aku masih mengingat kejadian itu.
Selain itu wajah cantik dari Ishiki sesekali masih muncul dalam bayangan sebelum tidurku.
"Ngomong-ngomong Zell, jangan sampai ngecewain Nata juga ya."
Jangan bersikap sok kuat di depanku! Kau harusnya tak menyinggung tentang itu.
Aku tak ingin membahas itu dengan Ishiki atau siapapun selain kepada orangnya langsung.
Aku juga penasaran soal bagaimana dia membujuk ibunya untuk tetap tinggal di sini sendirian, yah aku tak perlu lagi menyebutkan namanya kan?
Entah mengapa saat mengingat namanya dadaku yang tadi sesak terasa sangat tentram bahkan saking tentramnya mungkin tak akan ada kehidupan lain di dalamnya.
"Ehmm... Jadi Zell, aku mau kita bisa temenan lagi, jangan ada rasa canggung lagi."
Sebenarnya aku juga menginginkan hal kecil itu, tapi entah mengapa setelah melewati semua ini merasa sedikit canggung adalah hal yang tak bisa dihindari lagi.