Pintu kamar Zell baru saja tertutup rapat, Rainata lah yang terakhir keluar dari tempat yang entah apa yang sedang terjadi di dalamnya.
Selain itu, aku hanya bisa pasrah dan duduk gelisah di kursi tunggu dengan memberi jarak satu kursi kosong antara aku dan Rainata yang juga sedang duduk.
Faktanya Rainata bisa duduk tenang melebihi ku yang dari tadi kaki ku bergerak seolah sedang bergetar dengan getaran yang luar biasa.
Jujur saja aku harus kagum dengan Rainata itu sendiri, maksudku dia bisa duduk santai sedangkan orang yang spesial baginya sedang berduaan dengan mantan pacarnya di dalam.
Dimana dia meletakkan kepercayaan itu?
Dan lagi, tentang diamnya itu juga membuatku sedikit penasaran.
Dia memilih untuk tetap di sini menandakan bahwa Zell adalah orang yang berharga baginya, tak terkecuali kebalikan dari itu.
Setelah perginya Billy dan Jimmy itu Rainata hanya memain-mainkan layar HPnya.
Bisa jadi juga sih itu adalah caranya tersendiri untuk menghilangkan perasaan yang sama denganku.
Bicara soal orang yang berharga, aku juga memiliki hal yang sama dengan orang kebanyakan.
Yah, tentang teman yang menjadi sahabat lalu sahabat menjadi cinta.
Meskipun jalan ceritaku ini tak seindah orang lain.
Ah, sudahlah, jika aku terus menerus membanding-bandingkan hidupku dengan orang lain tak akan ada habisnya, itu hanya membuat perasaanku semakin buruk.
Koridor rumah sakit ini banyak yang berlalu lalang, tak peduli seberapa tinggi konsentrasi ku, aku tak bisa menguping pembicaraan mereka.
Tiba-tiba saja dalam renungan ku yang berkepanjangan Yuuki kembali entah dari mana lalu duduk sangat dekat dengan Rainata.
Beberapa lama berlalu, sesekali Rainata yang kini melepas pandangan dari layar HPnya karena ada Yuuki memperhatikan jam hitam di lengannya.
Yah siapapun pasti akan setidaknya penasaran apa saja yang sedang dibicarakan oleh Zell dan Ishiki di dalam.
Mengingat semua hal yang sudah aku usahakan, aku juga tak pernah berhenti dari perasaan awal ku.
Ishiki selalu suram saat Zell mengeluarkan sumpah serapahnya, jadi siapa yang ada di samping saat itu?
Itu aku!
Siapa orang bodoh yang selalu berharap dipandang oleh seseorang yang sedang menangisi orang lain?
Itu aku!
Siapa orang gila yang bahagia melihat kedua sahabat memutuskan hubungan mereka?
Yah, itu juga aku!
Aku sangat jijik dengan diriku sendiri yang bahagia di atas perpisahan orang lain!
Memang, rasa kesal ku kepada Zell belum sepenuhnya berakhir, tapi aku juga tak bisa menahan rasa bahagia itu terlalu lama dan akhirnya membuat diriku sendiri jatuh di lubang yang bernama teman makan teman.
Aku bahkan pernah berharap Zell tak pernah ada.
Kenapa?
Akhir-akhir ini, sepulang sekolah Ishiki selalu bersamaku, bahkan dia ikut bermain basket untuk bersamaku.
Yah, walaupun pada awalnya dia hanya menonton dan menunggu anak-anak klub pergi, tapi pada akhirnya dia memintaku untuk bertanding dengannya.
Sial!
Hanya gara-gara itu aku malah berharap Zell tak pernah ada? Cinta itu memang aneh! Tapi tak seaneh perasaan yang sudah lama kupendam ini.
Perasaan ini kupikir akan lebih rumit dari apa yang terlihat.
Yosh, aku sudah memutuskan tekat soal ini dan itu hari ini, sekarang tinggal melaksanakannya.
Setelah waktu yang terasa sangat lama, Ishiki keluar dari pintu itu dan menutupnya dengan sangat pelan.
Lalu saat dia berbalik, aku kembali bisa menikmati senyum yang pernah dia arahkan pada Zell saat di kelas saat itu.
"Yuuki, Nata, aku pulang dulu."
Kedua orang yang sedang mencoba merespon perkataannya itu berdiri dan mengangguk secara bersamaan.
"Ishiki aku anterin ya..."
"Eh? Nggak, nggak usah."
"Aku anterin."
Sesudah mendengar penjelas dariku, Ishiki mendesah kasar lalu mengangguk sama seperti Rainata dan Yuuki tadi.
"Yaudah terserah."
Ishiki berjalan melewati Rainata dan Yuuki, lebih tepatnya mereka berselisihan satu sama lain.
Dari tempatku tadi aku berjalan mengikutinya dan masih menyaksikan Rainata yang sudah menutup pintu masuk kamar Zell itu.
Zell benar-benar beruntung!
Dasar badebah sialan!
Sekarang ini langkah kaki sendiri gemulainyan lengin dari Ishiki bisa sepenuhnya menyamaiku.
Rumah sakit ini sebenarnya berada di kiri dari pertigaan rumahku.
Jadi dari rumah Ishiki, harus melewati sekolah lalu berjalan dan masuk di Perkomplekan kecil.
Entahlah, aku juga sedikit bingung dengan posisi rumah sakit yang ini.
Langkah kaki kami berdua benar-benar selaras, bahkan sangat lambat.
Meskipun begitu, aku tak bisa mengeluarkan pembicaraan sama seperti biasanya, mungkin ini efek dari kebulatan dari tekat ku.
Setelah berjalan beberapa saat sambil menyusuri jalan yang tak asing bagi kami berdua akhirnya kami sudah sedikit lebih dekat dengan kediaman Ishiki.
"Ishiki mau masuk bentar?"
Tepat di depan gerbang dari taman itu aku menghentikan langkah kaki sembari menelan besar air ludahku.
Jika Ishiki sudah melakukannya, aku juga akan mengatakannya.
Langkah Ishiki yang tadi sempat terhenti kini berjalan masuk kedalam taman itu tanpa mengatakan "iya" Atau sejenisnya.
Meskipun begitu langkah kakiku jadi sedikit lebih berat.
Sedikit melintas di jalan kecil taman itu, kini Ishiki duduk di kursi taman lalu setelah duduk di tengahnya dia menggeser punggungnya kesamping seolah memintaku untuk duduk bersamanya.
Setelah aku duduk, yang terlihat jelas dari tempatku sekarang adalah bunga-bunga indah di depan kami.
Bentuknya seperti bunga matahari tetapi batang menjalar di tanah, entahlah aku juga tak tahu apa namanya, tapi selain warnanya juga berwarna-warni.
Bunga-bunga itu disinari oleh warna orange senja dari matahari yang ingin tenggelam bersama hembusan angin kecil yang menerpa belakangku.
Karena hal itu, perasaan yang dari tadi ingin ku ungkapkan seketika menghilang.
Aku sudah cukup bahagia dengan ini.
Dengan menghabiskan waktu bersama seperti ini sudah membuatku lebih tenang.
Aku takut jika aku mengatakannya, semua ini mungkin saja menghilang.
Tapi, aku sudah bertekat.
"Ishiki ada yang mau aku bilang... "
Ishiki yang dari tadi sepertinya sedang melihat-lihat bunga di depan kami sedikit mengarahkan tubuh dan juga pandangannya kearah ku.
"Hemm? Ngomong aja..."
Mata kami bertemu, dengan suasana seromantis ini, nuansa keren yang tak sengaja kubuat, aku akan mengatakannya.
"Aku menyu...."
"Aku menyukai Zell."
Yah, ini disebut dengan pengakuan di atas pengakuan.
Dadaku terasa sangat sesak, hanya dengan pengakuan kecilnya.
Sial...
"Aku masih menyukainya."
Sekali lagi Ishiki memperjelas kepadaku yang hanya bisa diam.
Nggak usah di ulang oi!
Setelah menarik nafas panjang aku kini bersender keras di sender kursi taman ini, sambil menyesali apa yang apa yang sedang aku harapan.
Perasaan tak akan menghilang begitu saja.
"Karena itu, tolong tunggu aku ya."
Aku yang sudah menyerah benar-benar terkejut dengan suara lembut yang perlahan terdengar mendekat.
"Tolong bantuin aku, tolong berusaha keras lagi, tolong...."
Wajahnya kini menatap jauh ke depan, tangan kanannya menggenggam keras lengan kirinya.
"Ishiki udah, cukup, aku ngerti."
Jadi, setidaknya posisiku sedikit berubah, sekarang ini aku sudah dilihat sebagai seseorang bagi Ishiki.
Aku kira aku sudah di tolak mentah-mentah.
Tapi setelah mendengar itu, rasanya aku ingin sekali berteriak.
"AAAAAAAA!!!!!?!?"
Aku berdiri mengangkat tinggi kedua tangan seolah aku sedang mencetak gol kemenangan terakhir dari pertandingan basket ku.
Ishiki hanya tersenyum kecil melihat kelakuanku.
Yah, aku akan berusaha lebih keras lagi...