webnovel

Cobaan

"Pftttt...". Jeka menahan tawa kemudian mundur selangkah setidaknya memberi ruang bagi Unaya untuk bernafas. Wajah Unaya sudah merah layaknya kepiting rebus, membuat Jeka geli.

"Bercanda kali, serius banget sih lo nanggepinnya". Dan Jeka terbahak karenanya. Wajah Unaya semakin memerah bukan karena tersipu lagi melainkan marah pada Jeka yang secara tidak langsung sudah mempermainkannya.

"Brengsek!". Umpat Unaya sembari memukul dada Jeka dengan kepalan tangan.

"Gue udah mau melayang barusan". Lanjutnya dalam hati. Kesal sekali pokoknya dengan pemuda bermulut racun didepannya ini. Melihat Unaya yang benar-benar kesal akan sikap jahilnya barusan membuat tawa Jeka sirna seketika. Mungkin bercandaan pemuda itu kelewatan, tapi percayalah sejujurnya Jeka hendak mengakrabkan diri dengan Unaya (lagi) setelah sekian lama tak saling berhubungan. Dulu Jeka mendekati Unaya dengan cara yang sama kan? Sukanya membuat Unaya darah tinggi dengan segudang tingkah jahilnya.

"Eh? Sorry kalau bercandaan gue kelewatan. Gue gak ada maksud apa-apa". Ujar Jeka tulus. Unaya berdecih kemudian menatap pemuda didepannya ini tepat dimata.

"Jangan main-main sama perasaan gue. Hati gue masih labil kalau boleh kasih tahu". Perkataan Unaya telak tanpa basa-basi membuat Jeka mematung seketika. Oke Jeka menangkap sinyal Unaya belum move on darinya. Heum, sama-sama gagal move on ternyata.

Setelahnya Unaya berjalan melewati Jeka dengan wajah masih ditekuk. Gadis itu menghampiri koper dan mengeluarkan baju-bajunya hendak ditata. Jeka urung untuk keluar dari kamar dan memilih menatap objek yang indah didepannya ini tanpa kedip. Sadar sedari tadi ditatap, Unaya menghentikan gerakan tangannya sebelum berujar.

"Lupa sama perkataan lo tahun lalu? Ayo saling melupakan, kembali ketitik awal dimana kita gak saling kenal". Jeka meneguk ludahnya kasar begitu Unaya mengungkit kejadian setahun lalu diacara pertunangan gadis itu. Jeka akui ia telah mengingkari perkataanya waktu itu.

Jeka berjalan menghampiri Unaya dan ikut berjongkok disamping gadis itu. Pemuda itu menatap Unaya lamat-lamat meskipun objek yang ia amati pura-pura sibuk dengan kegiatannya.

"Lo bisa ngelakuin hal yang gue minta setahun yang lalu?". Tanya Jeka balik namun sama sekali tidak mendapatkan respon dari Unaya. Unaya masih kesal atas sikap Jeka barusan, gadis itu tak keberatan dengan bercandaan Jeka. Pengecualian jika bercandaan itu sudah masuk ke dalam tahap membuat baper. Dan bercandaan Jeka barusan sukses membuat Unaya baper, jelas ia tak suka itu. Bayangkan bagaimana rasanya dibawa terbang tinggi tapi kemudian dihempas begitu saja?

"Ck! Lo paham definisi interaksi sosial gak sih Na? Kalau ada orang yang ngajak bicara tuh direspon, lihat gue". Ujar Jeka tegas sembari menahan pergerakan tangan Unaya. Unaya sontak mengalihkan atensinya kearah Jeka sepenuhnya, membiarkan tangan besar dan hangat milik pemuda itu merangkum penuh jemarinya.

"Terus mau lo apa?!".

"Gue tanya sekali lagi. Apa lo bisa lakuin permintaan gue setahun lalu?". Tanya Jeka sekali lagi yang tidak membiarkan Unaya lolos begitu saja. Mata pemuda itu seakan mengunci pergerakan Unaya. Unaya terkesiap, gadis itu terlihat gelisah. Kalau mau jawab gak bisa, gengsi dong. Tapi kalau jawab bisa, ia sudah membohongi perasaannya sendiri.

"Penting gitu buat lo tahu?!". Tantang Unaya menutupi kegugupannya. Jeka berdecak karena Unaya terlalu bertele-tele, pemuda itu tahu Unaya ingin menjawab; gak bisa. Tapi gengsi, Duh gengsi teroooosss!

"Jelas! Karena gue...".

"Gue gak bisa! Gak pernah bisa!". Potong Unaya cepat-cepat karena tidak mau mendengar perkataan Jeka lebih lanjut yang pastinya bakal merenggut semua sisi kewarasannya. Jeka itu bahaya, semua yang keluar dari mulut pemuda itu racun. Racun yang bikin candu!

Jeka menahan senyum kemudian mengulurkan tangannya kearah Unaya. Unaya sempat menatap tangan Jeka dengan tatapan tak mengerti. Namun sedetik kemudian Jeka meraih tangannya dan ia jabat lembut.

"Gue Jeka, salam kenal Unaya". Ujarnya sambil tersenyum lebar. Unaya masih melongo tak mengerti, semua tingkah Jeka itu membingungkan untuknya. Seperti teka-teki yang tidak tahu apa jawabannya.

"Gue juga gak bisa balik ketitik dimana kita gak saling kenal. Makannya sekarang lo gue ajak kenalan, anggap aja kita buka lembaran baru. Sebagai saudara". Ujar Jeka berat diakhir kalimatnya.

"Ahh...". Unaya tersenyum kecut mendengar perkataan Jeka. Jadi mereka cuma saudara ya? Oh, oke maafkan Unaya yang sempat berharap lebih. Jeka yang menangkap raut kecewa dari wajah Unaya diam-diam menarik sudut bibirnya keatas.

"Saudaraan sama gue jelas beda Unaya. Tunggu aja gue beraksi hehe". Ujar Jeka dalam hati. Punya saudara tiri secantik Unaya rugi aja kalau dianggurin, apa lagi kalau gak dimanja. Tapi semua butuh waktu, pelan-pelan aja gak usah buru-buru. Jeka itu ingin, Ekhem bermain cantik. Ingin menarik-ulur Unaya dengan perlakuan manisnya hingga gadis itu memohon padanya untuk dimiliki.

"Ya udah gue kebawah, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat ngomong. Kita saudara kan?". Kata Jeka sengaja menekan kata saudara yang sukses membuat Unaya sebal setengah mati.

"Iya Jeka, iya. Makasih". Unaya memaksakan senyumnya kearah Jeka sembari memamerkan deretan giginya. Jeka terkekeh kemudian mengacak rambut Unaya dengan gemas sebelum keluar dari kamar. Setelah Jeka menutup pintu kamar, Unaya langsung mendesah berat. Gadis itu sedih karena hanya dianggap saudara oleh Jeka. Sabar ya Kanjeng ratu Unaya, tunggu Akang Jeka beraksi.

--Ex-Bangsat Boys--

Suryo berdecak kesal sembari mencoba menghubungi Sonia sekali lagi. Beberapa kali ditelepon wanita itu tidak mengangkatnya. Saat ini ia tengah mengurus bisnis bersama menantunya di Korea, jadi tidak bisa mengawasi Unaya dari dekat. Suryo semakin kepikiran dengan nasib putri sulung kesayangannya yang bakal tinggal satu atap dengan Jeka. Tetaplah dari dulu Jeka mendapatkan nilai minus dimata Suryo, jika ada yang lebih rendah dari minus maka itu nilai yang pantas untuk Jeka.

Awalnya Suryo hendak meminta Unaya untuk nge-kos saja ketimbang tinggal dengan cowok gak jelas itu. Tapi lelaki itu merasa tidak enak pada Sonia yang berharap jika Unaya bisa tinggal bersamanya, juga Jeni. Kalau ia tetap keukeuh menentang, takutnya Sonia salah paham dan mengira kalau ia masih sakit hati atas keputusan wanita itu dimasa lalu. Papa Suryo bukan anti sama Mama Sonia kok, cuma anti Jeka aja. Takut anaknya yang masih polos dinodai, juga takut masa depannya gak jelas.

"Diminum dulu Pa, kopinya". Ujar Mama Irene singkat kemudian hendak pergi. Mode perang dingin antara Papa Suryo dan Mama Irene masih berjalan sampai saat ini. Pokoknya Mama Irene bakal jutekin suaminya itu sampai dapat hidayah dari yang maha kuasa. Istighfar gitu loh, materi mulu yang dikejar sampai lupa mengejar akhirat.

"Hmmm... ini kenapa ya Sonia gak ngangkat teleponku? Unaya juga. Katanya kalau udah sampai Jakarta mau ngabarin". Ujar Suryo pada udara yang kosong tapi Mama Irene masih dengan baik hatinya mau nanggepin.

"Ya udah sih biarin aja. Maklumin aja mungkin lagi kangen-kangenan".

"Duh... gak bisa dimaklumi kalau ada anak cowok gak jelas itu". Irene memutar bola mata malas. Tuh kan Suryo udah mau mancing keributan aja.

"Namanya Jeka, Pah. Bukan anak cowok gak jelas. Jangan suka ganti-ganti nama orang. Kasihan almarhum Papa-nya". Nasehat Irene. Lagi-lagi Suryo berdecak, lelaki itu memasukkan ponselnya kedalam saku celana kemudian menyeruput kopi. Irene masih berdiri di depan suaminya sembari bersedekap dada.

"Ya, ya, ya. Mau namanya Jeka, Joko, Juki. Whatever lah, bagiku namanya anak cowok gak jelas". Kata Suryo mutlak. Sekali ia menyebut Jeka begitu, ya bakal selamanya begitu. Kecuali kalau Jeka menunjukkan sesuatu yang wow didepannya, panggilannya bakal berubah jadi; anak cowok yang bermanfaat.

"Papa beneran masih keukeuh mau jodohin Unaya sama Guan? Padahal Unaya gak bahagia?!". Lagi-lagi Irene menanyakan hal yang jelas sudah ia ketahui jawabannya. Namun wanita itu tidak akan lelah bertanya sampai Suryo merubah keputusannya. Bagi Irene kebahagiaan Unaya yang utama. Soal jabatan, kedudukan, kekayaan itu urusan belakangan. Apalah artinya hidup bergelimang harta kalau tak bahagia? Suram!

"Bisa gak sih Ma jangan dibahas lagi? Keputusan Papa udah mutlak, Unaya hanya akan menikah sama Guan". Kali ini Irene tidak bisa menahan emosinya lagi. Wanita cantik itu duduk tepat didepan suaminya dan bersiap adu argumen.

"Apa alasan Papa nentang hubungan Unaya dan Jeka?".

"Ya karena cowok itu gak jelas! Penampilan awut-awutan, kerjaan gak jelas...".

"No! Jeka punya usaha yang lumayan besar. Atas dasar apa Papa menilai dia gak jelas hanya karena penampilannya?".  Debat Mama Irene. Perdebatan yang cukup alot karena keduanya punya alasan kuat untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

"Tentu saja penampilan mencerminkan kepribadian Mama. Ayolah kamu harus realistis, jabatan dan kekayaan itu nomor satu. Papa hanya ingin Unaya hidup enak, seenggaknya Guan punya pekerjaan bagus dan menjanjikan. Nilai keluarga kita dimata rekan bisnis Papa juga bakal plus". Kata Suryo realistis. Ya iya sih di jaman sekarang cinta itu belakangan, yang paling penting adalah jabatan dan kekayaan. Mau ngandelin cinta? Duh cinta gak bikin kenyang. Begitulah secuil isi otak Papa Suryo.

"Jadi Papa tega menjual Unaya demi uang. Menjual kebahagiaan Unaya demi jabatan dan pencitraan didepan rekan bisnis Papa?". Telak Suryo bungkam. Bukan, bukan begitu maksudnya. Ia sama sekali tidak berniat menjual kebahagiaan Unaya demi pencitraan, mana mungkin Suryo tega. Hanya saja ia ingin yang terbaik untuk Unaya, semua demi Unaya. Meski mungkin cara Suryo jelas keliru. Bukannya membahagiakan Unaya, namun secara tidak langsung lelaki itu justru merenggut kebahagiaannya.

Dari balik pintu, dokter muda calon menantu kebanggaan Suryo tak sengaja mendengar keributan itu.

--Ex-Bangsat Boys--

Suasana ruang tengah gaduh karena Jeka dan Yeri asyik duel PS. Suara teriakan kakak beradik itu kadang membuat Jeni yang sedang belajar dilantai atas mencak-mencak. Sementara Sonia ikut bergabung diruang tengah menonton Jeka dan Yeri yang asyik duel PS sembari memakan buah melon yang ia potong kecil-kecil.

Tak lama setelahnya Unaya turun kelantai bawah sembari menggaruk rambutnya lantaran pusing. Gadis itu membaca brosur-brosur Universitas yang diberikan Ririn tadi. Unaya belum memutuskan untuk masuk Univeritas mana jadi tak heran gadis itu memasang wajah kusut sejak tadi. Gadis yang mengenakan kaos biru, celana hot pants, dan rambutnya dicepol itu sempat membuat Jeka salah fokus.

Jeka meneguk ludahnya susah payah. Astaghfirullah, kenapa pula paha Unaya mulus kek gitu? Mungkin kalau lalat hinggap bisa sampai kepleset. Terus leher gadis itu juga putih sekali bahkan tembok aja minder.

"Abang kalah!". Pekikan Yeri membuat pikiran kotor Jeka buyar seketika, makasih Yeri yang sudah membuat Jeka sadar dari fantasi liarnya. Pemuda itu mengusap wajahnya kasar, kalau tiap hari pemandangannya menyehatkan mata kayak gitu yang ada Jeka gak sabar nerkam.

Aneh sekali memang padahal ia tinggal satu atap dengan tiga perempuan sebelum ada Unaya. Yeri dan Jeni juga kerap mengenakan celana pendek dan baju terbuka, apalagi Yeri. Tapi entah kenapa paha Yeri dan Jeni terlihat burik dimatanya, beda dengan paha Unaya.

"Ah! Gara-gara salfok nih". Umpat Jeka sambil membanting stick PS. Yeri terkekeh kemudian melirik kearah Unaya, gadis itu tahu kalau Abang-nya salah fokus gara-gara Unaya.

"Ciyee... yang biasanya jarang dirumah, tiba-tiba betah banget seharian gak main". Goda Yeri sembari menyenggol lengan Jeka. Jeka nyengir sebelum membisikkan sesuatu pada adiknya.

"Udah ada yang bikin betah dirumah soalnya". Sembari menggedikan dagunya kearah Unaya yang tengah mengeluh pada Sonia. Kakak-adik itu cekikikan sendiri sebelum Jeka kembali meraih stick PS-nya.

"Ayo lanjut lagi. Kali ini gue pasti menang". Ujar Jeka kemudian.

"Ma, Una gak bisa milih mau kuliah dikampus mana. Mau ambil jurusan apa juga gak tahu". Keluh Unaya sembari menyandarkan kepalanya dibahu Sonia.

"Ya ampun Unaya kamu tuh gimana sih, tes masuknya tinggal tiga hari lagi tapi kamu belum tahu mau masuk kampus mana? Bener-bener kamu ya". Omel Sonia yang membuat Unaya memajukan bibir bawahnya.

"Kelamaan gak sekolah Unaya jadi mager. Unaya mau hibernasi aja ya Ma, kuliahnya tahun depan". Mohon Unaya dengan mata berkedip-kedip berharap Sonia luluh dengan tingkah imutnya tapi sayang wanita itu justru memukul bokongnya.

"Astaga kalau Papa kamu tahu, kamu bakal dikawinin Unaya karena gak mau sekolah. Kata Papa kamu pilihannya cuma dua, mau lanjut sekolah apa kawin?". Unaya semakin manyun pilihannya gak ada yang bagus, gadis itu sudah dalam tahap mager karena kelamaan gak sekolah jadi rasanya malas saja jika kembali berkutat dengan tugas.

"Ih... Mama. Unaya tuh bukannya gak mau sekolah. Cuma mau hibernasi aja setahun". Oceh Unaya setengah merengek.

"Jek, kawinin gih anak cewek Mama yang mageran ini". Ujar Sonia pada Jeka, cuma bercanda. Jeka terkekeh karena sedari tadi menyimak obrolan ibu dan anak itu, jadi paham maksud omongan Sonia.

"Dengan senang hati Mama. Mau dikamar apa di hotel?". Canda Jeka yang membuat mata Unaya melotot. Unaya menendang punggung Jeka saking sebalnya membuat pemuda itu mengaduh sementara Yeri dan Sonia terbahak karenanya.

"Tuh Ma, lihat tuh kelakuan anak cowok Mama. Mulutnya kayak gak disekolahin...". Adu Unaya pada Sonia. Bukannya mengomeli Jeka Sonia justru semakin terbahak. Wajah Unaya tuh antara tersipu sama malu. Duh anaknya yang polos ini sudah mulai malu-malu kalau ada yang godain pakai kata-kata ambigu, begitulah batin Sonia.

"Ihhh... Mama bukannya omelin Jeka malah ketawa". Protes Unaya sembari melengos kearah lain karena malu.

"Yaelah Mama cuma bercanda, baperan banget sih. Males ah sama orang baperan". Unaya hendak memukul kepala Jeka namun buru-buru dicegah oleh Sonia.

"Eh? Udah-udah Unaya yang sabar dong. Mama tuh rencananya pingin kamu kuliah di kampus Jeka, biar ada yang jagain". Kata Sonia sembari mengusap-usap rambut Unaya.

"Lah emang dia bayi yang harus dijagain". Celetuk Jeka yang membuat Unaya kembali dibuat kesal.

"Gak ah Ma! Jeka tuh nyebelin, lihat tuh orangnya sembrono kek gitu. Mana bisa jagain Unaya".

"Wah, lupa kali ya ini anak kalau gue nyimpen parang di jok motor". Gumam Jeka. Jeka mau-mau saja kok disuruh jagain Unaya, tapi ya gitu godain dikit boleh lah. Sudah lama rasanya tidak menggoda gadis imut itu, kangen reaksinya, kangen marah-marahnya.

"Kak Unaya jangan salah. Biar sembrono gini, Bang Jeka ketua UKM Taekwondo loh". Ujar Yeri yang membuat Unaya menarik sebelah alisnya. Sementara itu Jeka jadi besar kepala karena perkataan Yeri.

"Seriusan? Wah kayaknya menarik tuh kalau ikut UKM Taekwondo". Unaya mendadak antusias namun Jeka justru dibuat was-was.

"Gak! Gak bisa! Cewek gemoy tuh gak pantas ikut UKM Taekwondo. Mending les masak atau jahit aja". Sahut Jeka ketus yang membuat Unaya menghampiri Jeka kemudian merengek sembari menarik-narik ujung kaos pemuda itu.

"Ihh... kok lo gitu sih Jek. Lo tuh harusnya mengapresiasi niat baik gue dong. Gue udah gak mager lagi, terima gue jadi anak buah lo ya? Ya? Ya?". Pinta Unaya yang sengaja memepet tubuh Jeka hingga dada gadis itu tak sengaja menempel dilengannya.

Empuk anjir!

Jeka beringsut menjauh agar tidak semakin berpikiran kotor. Kok Unaya tumbuhnya cepet sih? Saking gugupnya sampai-sampai kalah lagi duel PS nya.

"Bu-bukan gitu Na. UKM Taekwondo banyakan cowok, nanti lo dimangsa sama mereka mau?". Kata Jeka tergagap-gagap.

"Jeka gak boleh kayak gitu, harusnya dukung dong niat baik Unaya. Udah ya pokoknya Mama serahin Unaya sama kamu". Sonia menepuk pundak Jeka beberapa kali sebelum pergi begitu saja, bahkan pemuda itu belum sempat menolak permintaan Sonia.

"Yes! Besok temenin gue lihat-lihat kampus lo ya. Makasih Jeka, yuhuuuuuu!!". Unaya mendadak happy dan entah kenapa tertarik untuk bergabung di UKM Taekwondo yang di ketuai Jeka. Gadis itu jingkrak-jingkrak tidak jelas sebelum ngacir menuju lantai atas.

Jeka menghela nafas berat, yaelah cobaan-nya banyak banget sih. Udah kudu nahan buat gak nerkam Unaya, ditambah kudu nahan biar gak naik darah kalau antek-anteknya godain gadis itu. Perbanyak sabar Bos :')

--Ex-Bangsat Boys--

Siguiente capítulo