webnovel

Tindakan Manis

Guan mengusap dagunya sekilas sebelum memberanikan diri mengetuk pintu kamar hotel tempat Suryo dan Irene menginap. Pemuda itu akan bertingkah seolah-olah tidak mendengar apapun. Jika nama Jeka disebut entah kenapa hatinya mendadak panas. Meski kata Suryo pemuda itu tak sebanding dengannya, namun tetap saja sosok Jeka masih menguasai seluruh hati Unaya. Bahkan Irene sekalipun. Satu lawan dua, terlihat sesungguhnya siapa yang unggul diantara mereka.

Pintu kamar dibuka, nampak lah sosok Irene yang awalnya cukup terkejut dengan kehadiran Guan. Namun beberapa detik kemudian senyum tipis disuguhkan untuk Guan, hanya senyum biasa yang terlihat seperti basa-basi. Sekedar untuk menghormatinya saja.

"Halo Tante, Guan dateng buat ketemu Om Suryo". Sapa Guan dengan ramah.

"Kamu jauh-jauh dari Singapura ke Korea cuma mau ketemu suami saya? Ya ampun katanya dokter kok seselo itu. Pasti karena koneksi dari Papa kamu ya makannya kamu bebas lakuin apa saja". Guan tersenyum kecil menanggapi perkataan Irene yang cenderung pedas padanya. Cara bicaranya amat lembut tapi sukses menohok. Untung Guan sudah terbiasa.

"Maaf Tante. Kebetulan saya memang ada urusan di rumah sakit Korea jadi sekalian mampir. Boleh saya masuk?". Ujar Guan masih mempertahankan sopan santunnya. Kalau saja Irene bukan calon mertuanya, sudah pasti ia akan menyuruh ajudannya untuk melenyapkan wanita itu.

"Siapa Ma? Eh... ada calon menantu kesayangan Om. Sini masuk-masuk". Kata Suryo dengan begitu ramahnya. Irene memutar bola mata malas kemudian memilih keluar dari kamar hotel tanpa pamit. Mau cari udara segar. Kalau ada Suryo dan Guan di dalam satu ruangan, kayak ada bau-bau uang alias pasti bakal ngomongin soal bisnis.

"Hai Om, maaf Guan ganggu waktu Om. Kebetulan Guan ada urusan di Korea jadinya mampir". Suryo mempersilakan Guan duduk di sofa yang tadi ia dan Irene duduki. Lelaki itu membersihkan sofa terlebih dahulu sebelum mempersilahkan calon menantu yang selalu ia bangga-banggakan itu duduk.

"Gak ganggu kok. Malahan Om seneng kalau kamu mampir. Gimana urusannya lancar? Kalau urusan kamu udah selesai, Om harap kamu bisa ke Jakarta susulin Unaya". Kata Suryo langsung.

"Alhamdulilah lancar Om. Mungkin sekitar seminggu lagi semuanya kelar. Guan ke Jakarta kalau udah beres. Unaya aman kan Om di sana? Kan ada Mama-nya". Tanya Guan memastikan. Guan ini belum tahu kalau Unaya tinggal satu atap dengan Jeka, jadinya masih tenang-tenang aja.

"Ya ada Mama-nya sih. Maaf karena Om gak bilang kalau dia tinggal sama saudara tirinya. Om suruh kamu cepetan ke Jakarta biar bisa bawa Unaya keluar dari rumah itu". Guan terdiam mencoba berfikir tenang agar tidak gegabah mencaci maki Suryo. Lagi-lagi pemuda bernama Jeka itu yang menjadi momok mengerikan untuknya. Guan dengan begitu tulusnya mencintai Unaya, namun sayang tidak pernah ada timbal baliknya. Pemuda itu masih betah bersabar, setidaknya ia akan melakukan apapun demi tetap mempertahankan Unaya disisinya.

"Itu bukan masalah besar selagi Om ada dipihak saya kan?". Ujar Guan sembari menyunggingkan senyum mengerikan. Pemuda itu meraih ponsel disaku celananya kemudian menghubungi seseorang.

"Halo. Kerahkan semua anak buah kamu untuk mengawasi tunangan saya. Berikan laporan sedetail mungkin. Info lebih lanjut akan saya kirim lewat pesan. Ingat! Saya tidak suka perkerjaan yang cacat!". Setelah menelepon dengan nada mengancam, Guan menutup teleponnya. Suryo diam saja, tidak berani melarang atau sekedar memarahi Guan lantaran meminta ajudannya untuk menguntit Unaya. Ranah privasi Unaya pun seakan tidak ada, sungguh miris. Keposesifan Guan lah yang kadang membuat kepala Unaya mau meledak.

Dan Suryo pun sebenarnya sudah tahu kalau calon menantu kesayangannya itu berbahaya.

--Ex-Bangsat Boys--

Tin... tin...

Yeri mengintip dari jendela kamarnya kala mendengar suara klakson motor. Gadis yang hendak menguncir rambutnya itu menatap kearah jam dinding, masih pukul enam lewat lima belas. Waktu yang masih sangat pagi untuk berangkat kesekolah, tapi kenapa Mario sang kekasih sudah menjemputnya?

Gadis bertubuh sekal itu bergegas keluar rumah untuk menghampiri Mario. Suasana rumah masih sepi hanya ada suara penggorengan di dapur, mungkin Sonia sedang membuat sarapan. Begitulah batin Yeri. Begitu sampai didepan Mario, Yeri langsung mengulas senyum lebar kearah sang kekasih.

"Pagi pacar". Sapa Yeri dengan imutnya yang membuat Mario tersenyum tipis, pemuda itu melepas helm-nya kemudian turun dari motor dan memberikan kecupan kecil dipucuk kepala gadisnya.

"Pagi juga, maaf ya datang pagi-pagi". Ujar Mario sembari merapikan rambut Yeri yang berantakan.

"Gak apa-apa kok Kak. Tapi aku belum selesai siap-siap, masuk dulu yuk. Sarapan bareng". Yeri hendak mengajak Mario masuk kedalam rumah namun pemuda itu buru-buru menahan gadis itu. Lantas saja Yeri menatap Mario heran, dan disaat itulah Yeri menangkap raut muka Mario yang tak mengenakan.

"Kenapa Kak?". Tanya Yeri lirih. Mario menggigit bibirnya kemudian menggaruk tengkuknya canggung.

"Eung... gini Yer. Kamu ada simpanan uang gak? Aku mau pinjam buat bayar kos". Ujar Mario sedikit merasa tidak enak. Terdengar hembusan nafas dari mulut kecil Yeri.

"Lagi?". Tanya gadis itu sembari menyentak tangan Mario. Bukan yang pertama kali Mario meminjam uang padanya, tapi berapa kali. Bahkan sampai tidak bisa dihitung, alasan pemuda itu selalu sama; untuk bayar kos. Kadang-kadang juga beralasan hendak untuk modal usaha namun sampai saat ini-pun Yeri tak pernah melihat wujud usaha kekasihnya itu. Bukannya pelit dengan kekasihnya sendiri, hanya saja hubungan ini lama-lama tidak wajar. Mario seakan-akan menjadikannya ATM berjalan.

"Maaf Yer, tapi sumpah deh ini terakhir kok aku minjem-nya. Aku bakal ganti kalau usaha-ku berhasil. Ya?". Bohong Mario sembari menggenggam tangan Yeri. Mario mulai tidak tahu diri karena Yeri dan Jeka terlalu baik pada pemuda itu. Jeka telah merestui hubungan Mario dengan adiknya, sampai-sampai pemuda itu kerap memberikan suntikan dana pada Mario meski akhirnya dana yang diberikan itu justru digunakan untuk judi atau balapan liar. Dan kali inipun Mario berbohong pada Yeri, pemuda itu hendak meminjam uang untuk balapan liar.

"Aku udah gak ada uang lagi Kak. Aku bahkan sampai pakai uang SPP buat minjemin Kakak. Kakak janji-janji terus mau ganti uang aku, tapi nyatanya? Aku sampai bohong sama Bang Jeka soal saldo ATM aku yang cepet banget habisnya". Omel Yeri hingga membuat genggaman Mario lepas. Pemuda yang tadinya masih memasang raut lembut mendadak berdecih dengan wajah kesal.

"Kalau gak ada, tinggal bilang gak ada kan bisa! Gak usah ngungkit-ngungkit kejadian yang lalu. Kamu perhitungan banget sih Yer sama pacar sendiri. Uang yang kamu pinjemin ke aku itu juga buat masa depan kita". Ujar Mario dingin. Yeri terlihat geram kemudian buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku seragam. Ditunjukanlah jumlah saldo ATM yang tertera di sana.

"Nih lihat! Saldo ATM aku gak nyampe limapuluh ribu Kak. Jatah uang bulanan aku udah aku transfer ke Kakak minggu lalu. Aku udah gak ada lagi". Kata Yeri jengkel menahan tangis. Hati gadis itu sakit sekali diperlakukan layaknya mesin uang oleh kekasihnya sendiri. Yeri bela-belain gak jajan dan gak hangout dengan teman-temannya demi membiayai Mario secara tidak langsung. Yeri tidak mempermasalahkan jumlah uang yang ia keluarkan untuk Mario, gadis itu hanya meminta pertanggungjawaban atas apa yang kekasihnya ucapkan. Setidaknya Yeri melihat wujud usaha yang katanya dibangun dengan uangnya.

"Ck! Ya udah, aku nyari pinjaman ketempat lain. Sorry gak bisa antar kamu ke sekolah". Ujar Mario jutek kemudian tanpa aba-aba langsung saja menjalankan motornya. Yeri menatap punggung Mario yang mulai menjauh dengan sendu. Gadis itu mengusap air matanya yang jatuh tiba-tiba. Jujur Yeri takut sekali kalau Mario sedang dalam mode marah seperti itu, ia tidak mau ditinggalkan oleh pemudanya. Juga Yeri merasa bersalah karena tidak bisa membantu Mario saat kesusahan seperti ini.

Gadis itu menghela nafas berat sebelum masuk kedalam rumah. Pagi-pagi bukannya dibuat seneng biar semangat sekolahnya, eh malah dibikin mewek. Jeka yang baru saja bangun tidur terheran-heran melihat wajah sendu adiknya. Diamatinya Yeri yang seakan tidak menyadari keberadaannya.

"Pagi-pagi udah manyun aja. Senyum lo dicuri siapa?". Tegur Jeka sembari beberapa kali melakukan stretching.

"Dicuri saldo ATM Bang. Sedih banget gak sih saldo gue gak sampai limapuluh ribu. Kere hiks...". Keluh Yeri sembari memendamkan wajahnya di bantal sofa. Gadis itu mendadak tidak ada semangat gara-gara Mario marah. Yeri ini terlalu bucin dengan Mario sampai-sampai kalau pemuda itu marah bisa menghancurkan dunianya. Halah lebay :')

"Heran deh gue sama lo. Cemilan lo popcorn berlapis emas-nya Chef Arnold apa gimana sih? jatah jajan lima juta sebulan udah habis aja". Omel Jeka. Jarang-jarang adiknya itu boros, Yeri juga bukan tipe gadis yang gemar membeli barang-barang mahal. Jeka kenal sekali dengan adiknya satu ini, hingga tidak heran jika ada sesuatu yang aneh dengan Yeri, pemuda itu dibuat curiga.

"Eung... gak gitu Bang. Gue tuh ikut arisan sosialita gitu loh, jadi ya gak heran kalau udah habis hehe". Kata Yeri beralasan, gadis itu tertawa garing agar Abang-nya percaya.

"Ck! Makannya gak usah aneh-aneh. Abang lo ini bisa kasih uang jajan karena kerja susah payah. Jangan kecewain Abang Yer, gunain uang itu buat hal yang bermanfaat. Gak usah sedih, nanti gue transfer. Yang semangat sekolahnya". Perkataan Jeka sukses membuat Yeri terharu. Gadis itu langsung berlari kearah Abang-nya dan dipeluk erat-erat. Ya ampun Yeri merasa bersalah pada Jeka, masalahnya uang pemberian pemuda itu malah ia berikan pada Mario yang gak jelas digunain buat apa.

"Maafin Yeri ya Bang, jangan benci Yeri kalau semisal suatu saat nanti Yeri kecewain Abang". Ujar Yeri sambil sesenggukan. Jeka terkekeh kemudian menepuk-nepuk punggung adik kesayangannya itu. Jeka sebisa mungkin berperan sebagai Kakak sekaligus Papa untuk Yeri, pemuda itu tidak mau Yeri merasa kesusahan dan tidak terpenuhi kebutuhan jasmaninya. Untuk itulah Jeka berkerja keras hingga bisa memiliki penghasilan sendiri.

--Ex-Bangsat Boys--

Unaya keluar dari kamar mandi berbalut handuk. Gadis itu mengobrak-abrik lemari hendak mencari baju yang akan ia kenakan hari ini. Seperti permintaan Unaya tadi malam, gadis itu minta ditemani Jeka untuk melihat-lihat kampus sekaligus mengunjungi gedung UKM Taekwondo. Unaya bingung hendak memakai baju yang seperti apa, maklum semenjak jadi selebgram semua baju gadis itu mewah dan minim, tidak ada yang sederhana.

"Aduh kalau kayak gini nanti minta sekalian ditemenin beli kemeja deh". Gumam gadis itu yang hendak menarik dress violet ditumpukan baju paling bawah, namun ketika ditarik justru baju-bajunya malah jatuh kelantai semua.

"Ishhhh...". Gerutu Unaya. Gadis itu berjongkok hendak memungut baju-bajunya namun obsidiannya tak sengaja menangkap celengan ayam kuning dibawah meja belajar. Celengan ayam kuning yang Unaya ingat betul asal muasalnya. Gadis itu terkikik geli mengingatnya, celengan yang ia gadang-gadang bakal jadi uang gedung pernikahannya dengan Jeka kelak.

"Ya ampun, sampai udah beranak gini". Kekeh Unaya. Celengan ayam kuning itu tidak sendirian, ada sekitar lima celengan ayam yang serupa berjejer disana. Wah, Jeka rajin juga ya nabungnya.

Asyik bernostalgia, ponsel Unaya berbunyi. Unaya bergegas mengambil ponsel yang ia letakan di meja nakas. Gadis yang masih berbalut handuk itu mendengus begitu melihat sang pemanggil.

"Ya halo Mas Guan?". Sapa Unaya seramah mungkin meski wajahnya kecut saat ini.

"....".

"Oh masih ada urusan? Oke, gak apa-apa kalau belum bisa nyusul". Sahut Unaya. Guan mengabari belum bisa menyusul ke Jakarta karena masih ada kerjaan.

"...".

"Hmmm. Oke Mas, aku aku disini baik-baik aja kok...".

Unaya masih berbincang dengan Guan tanpa menyadari jika ada sosok pemuda kurang ajar yang masuk begitu saja kedalam kamar. Jeka mengintip dari pintu, Unaya lupa mengunci kamar rupanya. Sungguh Jeka tidak bermaksud cabul kok, hanya saja pemuda itu hendak mengambil bajunya yang masih tertinggal di lemari. Pemuda itu menatap Unaya yang berbalut handuk tengah memunggunginya. Jeka langsung menghela nafas berat, Unaya tuh sengaja ya gak ngunci pintu biar diapelin Jeka diam-diam? Begitulah pikiran kotor Jeka bekerja.

Punggung Unaya yang basah terlihat seksi dimata Jeka, hanya saja pemuda itu tak sampai memikirkan hal aneh kok. Ralat memikirkan hal aneh sedikit, Jeka hanya membayangkan jika bibirnya menyentuh kulit mulus pundak dan punggung gadis itu kemudian sedikit memberikan gigitan, oke skip!

Jeka berjalan sepelan mungkin mendekati Unaya dan tanpa aba-aba mengambil alih ponsel yang menempel ditelinga gadis itu. Unaya berjengit kemudian menatap Jeka dengan mata membulat. Jeka memberi isyarat dengan telunjuknya agar Unaya diam, kemudian pemuda itu langsung memutus sambungan telepon dari ponsel sang gadis.

"Je-Jeka? Lo...".

"Stttt...". Jeka memepet tubuh Unaya ketembok dan mengunci tubuh gadis itu dengan sebelah tangannya. Unaya meneguk ludahnya susah payah, gadis itu menunduk dengan wajah merona. Astaga Jeka masuk kedalam kamar dengan keadaan ia hanya berbalut handuk.

HAH?! BERBALUT HANDUK?!

Unaya shock karena baru ingat belum sempat pakai baju. Gadis itu membulatkan matanya kemudian berusaha untuk mendorong tubuh Jeka.

"Jeka, awas! Gue mau pakai baju dulu". Kata Unaya gugup tetap tidak berani menatap obsidian Jeka. Jeka tak menggubris ocehan Unaya, pemuda itu justru semakin memepet tubuh Unaya kemudian sedikit merunduk untuk mencari mata sang gadis.

"Kok pintunya gak dikunci? Kalau ada yang masuk gimana?". Bisik Jeka sengaja menggoda, pemuda itu mengusap pipi Unaya yang basah membuat sang gadis memejamkan mata hampir terbuai.

"Lu-lupa, Jeka. Tolong minggir dulu". Tanpa diduga Jeka memajukan wajahnya dan meniup-niup ceruk leher Unaya. Mata Unaya membola, tanpa sadar gadis itu meremat kuat sisi kaos Jeka lantaran menahan sesuatu yang bergejolak. Jeka tersenyum kecil, suka dengan rematan Unaya dikaosnya. Reaksi gadis itu sukses membuat Jeka berfikiran konyol. Suatu saat nanti Jeka pasti akan mengubah Unaya menjadi seorang wanita, dan tentu saja ia yang akan jadi lelakinya. Hahaha tidak janji, hanya saja Jeka akan berusaha.

"Jeka, ngapain?". Unaya menahan nafas ketika permukaan bibir Jeka menempel di lehernya. Unaya sempat berharap lebih sebelum Jeka menarik wajahnya dan menunjukan sesuatu.

"Lo mandinya gak bersih, masih ada sabunnya". Ujar Jeka dengan tampang sok polos. Unaya langsung memalingkan wajahnya karena malu.

"Ah... iya gue pakainya sabun batang". Cicit Unaya.

"Kenapa gak pakai sabun cair aja?". Tanya Jeka lagi. Ya ampun pemuda satu ini banyak tanya sekali, begitulah batin Unaya. Unaya malu sekaligus gugup apalagi ditatap Jeka dalam keadaan tak berpakaian dengan pantas.

"Gue gak suka, soalnya licin. Udah ah Jek! Lo cabul banget sih masuk kamar orang gak ketok pintu dulu, jangan macam-macam ya!". Unaya mulai galak. Gadis itu mengacungkan remot TV untuk mengancam Jeka.

"Ya sorry, mana gue tahu kalau lo belum pakai baju. Gue cuma mau ambil baju ganti, kan baju-baju gue masih disini...". Ujar Jeka sembari berjalan kearah lemari dan mengambil beberapa stel baju.

"Oh iya mau kasih tahu aja, jangan kaget kalau sewaktu-waktu gue keluar-masuk kamar buat ambil sesuatu. Dan lagi...". Jeka berbalik menatap Unaya yang mengerjabkan matanya kaget karena ditatap Jeka tiba-tiba.

"Diusahakan buat kunci pintu. Cuma kasih tahu aja kalau hormon lelaki meningkat dipagi hari". Setelah mengedipkan matanya jahil, Jeka berjalan keluar dari kamar sembari membawa baju-bajunya.

"Hah? Apa hubungnya ngunci pintu sama hormon?". Gumam Unaya sembari menggaruk-garuk kepalanya. Begitu paham omongan ambigu Jeka, Unaya langsung membuka mulutnya lebar-lebar kemudian mengeratkan handuknya.

"Cabul banget sih tuh manusia!". Unaya ketakutan dan langsung masuk kedalam kamar mandi untuk ganti baju, tak lupa menguncinya.

--Ex-Bangsat Boys--

Setelah siap-siap dan sarapan, Jeka meminta Unaya menunggu dihalaman selagi ia mengambil kunci motor yang ketinggalan di kamar. Unaya menatap pintu garasi yang terbuka dan menangkap presensi Mini Cooper hadiah sweet seventeennya kala itu. Dengan riang gadis itu menghampirinya dan menatap dengan penuh damba.

"Ya ampun Mini Cooper gue masih kinclong gini. Niat hati ingin menodai namun apalah daya diri ini tidak bisa nyetir". Keluh Unaya dengan sendu tanpa menyadari jika Jeka sudah duduk diatas motornya sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan gadis itu.

"Mau dibantu nodain?". Seru Jeka yang membuat atensi Unaya teralihkan. Astaga naga Jeka ini memang titisan Arjuna sekali sih. Padahal penampilan pemuda itu sederhana, hanya kaos hitam dipadukan dengan kemeja kotak-kotak yang seluruh kancingnya dibuka, juga ripped jeans ketat yang memperlihatkan otot kakinya.

Unaya berani bertaruh Jeka pasti cassanova-nya kampus. Gadis itu berjalan mendekati Jeka sembari menggedikan bahunya.

"Mau ajarin nyetir mobil?". Tanya gadis itu iseng. Jeka menarik alisnya kemudian menegakkan tubuh, sedikit menimang permintaan Unaya.

"Heum... tergantung imbalannya apa?". Bisik Jeka jahil. Unaya mendengus kemudian memukul kecil bahu Jeka.

"Gak deh, makasih". Sahutnya sembari mengambil helm Little Poni diatas motor dan memakainya. Eh, si Little Poni masih ada ternyata. Batin Unaya.

"Gimana kalau imbalannya, lo kerja di kedai Boba gua". Kata Jeka tiba-tiba. Pemuda itu terkekeh karena Unaya tidak bisa memakai helm dengan benar, tangannya terulur untuk membantu sang gadis.

"Yakin lo nyuruh gue kerja di kedai Boba lo? Sorry, bayaran gue dari endorse-an gedhe omong-omong". Sahut Unaya dengan tengilnya. Jeka berdecak kemudian menyentil dahi Unaya gemas.

"Aw!". Pekik Unaya sembari mengusap-usap dahinya yang perih.

"Bukan masalah duitnya, tapi pengalamannya".

"Hah?". Lama tak sekolah Unaya jadi bolot rupanya, begitulah batin Jeka.

"Lo bakal masuk jurusan bisnis managemen....".

"Tapi...".

"Dengerin dulu gue ngomong". Potong Jeka galak hingga membuat Unaya mengatupkan bibirnya. Ini Jeka kok jadi ngatur Unaya sampai-sampai ditentukan harus masuk jurusan bisnis managemen segala?

"Seenggaknya kalau lo kerja di kedai gue, lo bisa sekalian praktek. Ilmu yang lo dapat dikampus bisa bermanfaat, ngerti?". Unaya manyun sudah siap protes.

"Tapi gue gak mau, gue gak suka. Gue kan dari jurusan IPA gimana ceritanya masuk jurusan bisnis managemen? Gue gak ada passion disana". Omel Unaya yang membuat Jeka mengorek kupingnya.

"Kan ada gue, prospek kerjanya lebih gedhe kalau lo masuk jurusan bisnis manajemen. Gue siap jadi mentor lo...". Jeka menaik turunkan alisnya menggoda, Unaya langsung berdecih karenanya.

"Cih! Gak yakin deh gue bakal pinter kalau mentornya kek lo gini". Cibir Unaya. Jeka pura-pura tuli dengan cibiran Unaya barusan, pemuda itu naik keatas motor dan memakai helm-nya.

"Naik!". Perintah Jeka. Tadinya Unaya sudah hampir naik keatas motor Jeka kalau saja ia tidak ingat jika saat ini pakai rok.

"Aduh, gue pakai rok". Keluh Unaya dengan wajah memelas. Jeka menelisik penampilan Unaya, gadis satu ini penampilannya feminim sekali. Kayak bidadari yang jatuh dari khayangan. Jeka sempat khawatir jika Unaya bakal ditatap lapar mahasiswa-mahasiswa kampus.

"Makannya kalau dandan tuh sewajarnya aja, gak usah cantik-cantik banget. Ya udah tinggal ditutupin pakai jaket lo". Kata Jeka sembari menggedikan dagunya kearah cardigan yang Unaya pakai.

"Ini bukan jaket Jeka, namanya cardigan. Kalau gue lepas nanti bahu gue...". Unaya menurunkan sedikit lengan cardigan-nya hingga bahu putih gadis itu terlihat.

"Oke, pakai lagi...". Cegah Jeka kemudian pemuda itu melepas kemejanya.

"Pakai ini aja nutupin-nya". Jeka menarik tangan Unaya untuk mempersempit jarak kemudian melingkarkan kemejanya kepinggang gadis itu. Unaya tersenyum melihat perlakuan manis Jeka, tindakan kecil seperti inilah yang gadis itu rindukan dari sosok Jeka.

"Udah, buruan naik". Unaya mengangguk patuh kemudian bergegas naik keatas motor. Tanpa disuruh gadis itu langsung melingkarkan tangannya keperut Jeka. Jeka sempat tertegun mendapati Unaya yang seberani itu sebelum tersenyum malu-malu dari balik helm.

"Ahhh... ini Unaya apa gulali ya? Manis banget". Batin Jeka sembari menggigit bibirnya menahan gemas.

--Ex-Bangsat Boys--

Siguiente capítulo