webnovel

DUDUK DIAM ADALAH RUMAH

Berhasil!

Tidak ada yang bisa sebahagia ini selain Bastian. Iqbal mengiriminya pesan jika perusahaan ayahnya menerima kerjasama dengan perusahaan milik dady nya yang hampir bangkrut tersebut.

Dan lagi. Ayah Iqbal memberikan suntikan dana yang tidak main-main soal uang. Mereka mengiring uang dalam bentuk dolar sebanyak $19.345.678.901.

Bangsat. Bahkan jika masalah ini diperjelas, Bastian yakin sekali jika ini adalah masalah besar untuknya. Uang itu, aish.

Terlalu banyak. Tapi mereka memberikannya secara cuma-cuma hanya untuk membangun Perusahaannya agar stabil lagi. Setidaknya uang sejumlah itu hanya akan bertahan saat tiga bulan pertama. Setelahnya mereka tidak akan memberikannya sama sekali.

Bastian tersenyum. Dia tidak terlalu memikirkan perusahaan milik dady nya saat ini. Setidaknya keuangannya sednag normal sekarang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan olehnya.

'Bagus bukan?' Kirim Iqbal sesaat setelah email itu berhasil dia kirimkan pada Bastian, Bastian terkekeh melihatnya.

'Gunakan yang terbaik, dan kalau lo akan terus mendapatkan lebih. Kerjasama harus kerja sama. Perusahaan gue harus mendapat limapuluh dua persen dari hasilnya,' jelas Iqbal lagi walaupun hanya dari sambungan telefon.

'Iya,' Tulis Bastian yang dia kirimkan pada Iqbal, Iqbal tidak mengatakan apapun. Dia banyak diam dan tidak mengatakan hal lain.

'Bagaimana hubungan lo dengan Salsha, apa baik-baik aja? Dan selamat atas kelolosan lo, lo adik tingkat gue. Tapi kita satu kedudukan karena lo cerdas,' Bastian terkekeh menuliskan pedannya pada Iqbal yang sekarang adalah malaikatnya.

'You know, i know. Masalahnya ada Kania,' tulis Iqbal tanpa mengatakan banyak hal untuk orang lain.

Bastian terkekeh. Benar. Masalahnya Kania, tapi menurut Bastian. Masalahnya adalah Iqbal.

Dia terlalu berambisi untuk mendapatkan sesuatu. Masalahnya adalah. Dia keterlalun mengorbankan sesuatu untuk dia dapatkan.

"Iqbal, Iqbal. Kenapa lo belum sadar juga sampai sekarang, hem? Lo terlalu naif tapi lo di depan wajah orang lain baik-baik aja," celetuk Bastian yang terkekeh mengingat bagaimana Iqbal terlalu mengusahakan banyak hal.

Selain ambisinya terlalu besar, Iqbal juga terlalu berusaha keras mendapatkan sesuatu. Dia tidak berpikir dengan jelas jika dia memang untuknya atau bukan, di dalam kepalanya terpatri jika.

'Usahakan dulu, sekeras apapun usahanya lakukan dulu. Menang kalah, semua sama. Akan menyesal saat tidak berusaha, dan akan lebih menyakitkan saat gagal dalam usahanya,' Naif kan?

'Btw soal Aldi, apa dia mendapat masalahnya dengan baik?' tanya Iqbal dengan pesannya setelah hampir lama tidak membalas pesan untuk Bastian sejam setengah jam dari tadi.

Bastian terdiam, dia terus berusaha mengingatnya. Bagaimana pamannya (Papa Aldi) menelfon pada Bastian kemarin.

Dia menanyakan soal Tania, apa dia mengenal Aldi, apa benar mereka satu kelas dan apa benar mereka dekat satu sama lain. Dan jika dekat apa benar keduanya memang saling mencintai dengan benar.

Bastian menjawabnya seperti kambing hitam, seperti.

'Mereka hanya teman Om,"

'Dan lagi, mereka tidak benar-benar sangat dekat. Baik Tania atau Aldi keduanya tidak saling mencintai,'

'Pacar Aldi bukan Tania, melainkan Salsha,'

'Dan juga, bukankah mereka memang tidak dekat. Bagaimana Om tahu nama teman satu kelas Aldi?'

Hanya seperti itu Bastian menjawabnya, namun kebaikan seperti berpihak padanya Bastian mendapat kembali pertanyaan untuknya.

'Jadi pacar Aldi itu Salsha? Bukan Tania yang datang ke kantor Om?'

Bastian kembali dari lamunannya, dia terkekeh dan kembali mengetik sesuatu.

'Sangat, sorry membuat Salsha terkesan salah. Tapi sejujurnya, Tania melakukan banyak hal dengan baik dan hati-hati. Gue salut sama dia,' tulis Bastian sebagai respon dari rencananya dengan Iqbal.

°°°

C A N G G U N G !!

Baik Iqbal ataupun Kania keduanya sedang merasaan pada situasi yang membuatnya, geli, sungkan dan tidak nyaman sama sekali.

Jika mengingatnya mungkin seperti ini.

'Kalian sangat hebat, terimakasih telah membawa nama Sekolah kita dengan prestasinya. Terutama untuk Kania dia mendapat peringkat duapuluh lima walaupun dia adalah yang termuda. Dan lagi, bapak berterimakasih pada Iqbal yang sudah banyak berusaha untuk tes ini dan mendapat peringkat lima dari seratus sembilan puluh lima,'

Baik Iqbal atau Kania yang mendengarnya keduanya benar-benar tidak yakin dengan sesuatu yang nyata untuknya.

'Kami lolos, pak?' tanya Kania walau sebenarnya dia menujuk dirinya sendiri tanpa menunjuk Iqbal yang berdiri di sampingnya. 'Iya,'

'Tiga minggu lagi kalian mulai selesai kenaikannya. Setelah pengambilan rapot dan surat-surat kalian bisa mulai bersekolah di Amerika di kampus yang sudah mereka rekomendasikan,'

Stop. Hentikan sekarang saja. Mengingatnya saja sudah membuat Iqbal benci.

"Gue enggak mengharapkan lo lolos sama sekali," celetuk Iqbal membuat Kania merasa usahanya terlihat sia-sia saja. "Ya,"

"Tapi gue mengharapkannya," sambung Kania menjawab sesuatu.

"Lo memilih menjadi laki-laki sejati sebelum kita masuk ke dalam kantor tadi. Jadi, apa lo benar-benar akan mengajak gue balikan juga?"

"Lo pria sejati kan?" tanya Kania menyudutkan Iqbal yang bahkan tidak tahi soal apapun.

"Gue butuh waktu, simpan semuanya sampai di sana. Setelah kita di sana, gue akan memintanya ke lo baik-baik," jawab Iqbal tidak ingin kehilangan apapun sama sekali.

Kania tersenyum, dia merasa sangat bahagia walaupun semuanya belum benar-benar mendapat titik terangnya antara iya atau tidak. Tapi setidaknya, harapan kosong dari kemarin. Semuanya tidak sia-sia sama sekali.

"Gue sangat menantikannya," ucap Kania membuat Iqbal terkekeh muak mendengarnya. "Jangan banyak bicara," ucap Iqbal memintanya pada Kania yang sedang berdiri dengan wajah bersinar bunga-bunga senang sekali.

"Kenapa? Gue punya hak, kan?" tanya Kania yang sudah menuntut semua yang dia punya dari Iqbal bahkan sebelum keduanya resmi.

"Belum,"

"Gue dan lo di sini masih seperti sebelumnya. Jangan banyak bertingkah, gue milik lo adalah saat gue di sana dan jauh dari Salsha. Gue di Indoensia? Gue masih satu orang yang mencintai Salsha dengan cara keterlaluan," tegas Iqbal menjelaskannya dan membuat Kania menjadi tidak pecaya diri.

"Lo boleh banyak membual sekarang, tapi ingat besok. Saat di sana, lo hanya punya gue. Enggak ada, Aldi, Tania ataupun Salsha," ucap Kania dengan suara mengintimidasi mendesak Iqbal.

Iqbal melirik ke arah Kania dan tidak banyak bicara lalu berjalan menjauh meninggalkan Kania tanpa mengatakan apapun.

Namun Kania.

"Berpura-puralah baik-baik aja, sembunyikan semuanya. Lo tahu kan, bau bangkai tetap akan tercium? Melarikan diri sangat percuma, berlari juga membuang waktu, dengan cara diam dan berjalan pelan lo akan tahu,"

"Kalau, menjalaninya jauh lebih baik daripada memberontak," sambung Kania berushaa menasihati Iqbal yang terlihat tidak perduli sama sekali berjalan menjauh dairnya masuk ke dalam mobilnya sendiri meninggalkan Kania yang bahkan dia jemput dan tidak diantarkan pulang sama sekali.

"Iqbal, Iqbal,"

"Semakin lo berlari mengejar Salsha, lo akan sadar kalau. Duduk diam di samping gue adalah rumah lo untuk beristirahat mengejar segalanya," gumam Kania yang terkekeh melihat Iqbal yang masih sangat keras menolak dirinya.

Lelucon!

Hallo kak, makasih dukungannya. Sehat-sehat ya... Dan yang puasa, kalian buka pertama pakai apa nih? hehe

sakasaf_storycreators' thoughts
Siguiente capítulo