Keluarga Paman Beno yang terdiri dari lima orang keluar dari rumah nenek. Mereka baru saja selesai makan dan berniat ke rumah Restu untuk tidur lagi. Tetapi pintu di luar keluarga Restu rupanya terkunci rapat.
Paman Beno kemudian memimpin anak-anaknya kembali ke rumah Nenek. "Bibi, kami tidak bisa tidur nyenyak kemarin, kami akan tidur denganmu lagi di kamar ini."
Wanita tua itu mengerutkan kening dan berkata, "Pergi ke ayahmu dan tidur di rumahnya, aku ingin mengatakan sesuatu kepada ayahmu dan yang lainnya."
Keluarga beranggotakan lima orang itu membubarkan diri dan baru kemudian memandang adik perempuannya, Minah yang berusia 2 tahun lebih muda dan berkata, "Dik, apakah kali ini kamu membawa makanan ke sini?"
Mina menjawab, "Bagaimana bisa, kita membawa makanan? Sementara, kita akan makan di rumah ini dulu, dan kami akan membayarnya kembali ketika makanan yang dibawa saudara kami datang."
"Dengar adik perempuanku, kami tidak bisa tinggal di rumahmu selamanya. Tidak nyaman bagi semua orang untuk tinggal disini dan terus merepotkan. Kamu bisa meminta seseorang untuk membantu kami membangun rumah. "
Orang tua itu tidak menyebutkan uang. Meskipun wanita tua itu sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengan kakak laki-laki tertuanya, masih menyakitkan untuk mengeluarkan uang dari sakunya.
Jadi dia berkata dengan lugas, "Saudaraku, lihat keluargamu masih kuat bekerja. Sekarang kamu bisa membangun gubuk dan kamu bisa hidup dan tidur di gubukmu sendiri. Kamu bisa meminta anak-anakmu untuk membeli lembaran plastik dan mebangun rumah seperti anak ketiga kami, Restu. Bagaimana menurutmu? Belum terlambat untuk membangun rumah jika memang kamu mau. "
Dika, anak tertua dari keluarga Paman Beno mendengar ini tetapi dia tidak mau. "Ayah, jual saja rumah lama kita dan kita akan bangun yang baru disini. Cepat atau lambat kita pasti akan menjualnya, kenapa tidak kita jual sekarang? Selain itu, gubuk itu tidak bisa melindungi dari panas dan dingin. Aku tidak tinggal di rumah seperti itu. "
Kakek Dirjo mendecakkan pipanya dan melihat ke arah keluarga di depannya. Dia mulai berkata, "Kakak, saya tidak keberatan jika kamu tinggal di rumah pemilik perkebunan. Tapi, kamu harus bicara sendiri dengannya. Sekarang masih pagi, pergi dan bicaralah. "
Mina dan pasangan itu saling memandang dan berkata, "Kakak ipar bisakah kamu saja yang pergi untuk menemui pemilik perkebunan?"
Kakek Dirjo menggelengkan kepalanya, "Saudaraku, kamu harus pergi ke sana secara pribadi untuk ini. Nantinya kamu tidak hanya butuh tinggal di rumah pemilik perkebunan, tetapi juga meminta pekerjaan darinya. Jadi, temui dia dan bicaralah"
Orang tua itu menyuruh mereka untuk mengerti, tidak peduli apa yang mereka katakan. Kakek langsung pergi bekerja meninggalkan mereka yang masih menggerutu.
Samsul yang tidur dengan pasangan tua semalam, berkata dengan wajah muram, "Bu, saya pergi bekerja, jangan lupa apa yang saya katakan."
Wanita tua itu memelototi Samsu, dan berbalik dan dengan cepat mendiskusikan rumah baru dengan kakak laki-lakinya. "Kakak, kamu sebaiknya pergi dan membangun gubuk hari ini. Jika ada kekurangan tenaga, aku akan meminta beberapa anakku untuk datang dan membantu. "
Mina pu membujuk, "Sekalian saja kita beli rumah yang sudah jadi dan simpan saja. Cucu-cucu ini semuanya besar, dan tidak akan bertahan lama jika tinggal di gubuk."
Wanita tua itu cemas, dan dia tidak mau berdesak-desakan di kamar dengan menantu perempuannya, jadi dia mendesak lelaki tua itu untuk memikirkan solusi.
"Kakak, kamu sebaiknya tinggal di desa asalmu. Akan lebih mudah bagimu untuk menemukan solusi dan juga bantuan." Rosad menimpali. Jika saudara laki-laki, saudara perempuan, dan keponakan tinggal serumah, nantinya juga tidak akan berdampak bagus.
Mina juga sedang mempertimbangkan hal ini, kalau tidak dia tidak menyebut-nyebut membangun rumah. Dia tetap ingin kembali ke kampung halamannya setelah sekian tahun.
Tempat di mana keluarga Paman Beni dulu tinggal. Kampung itu dipisahkan oleh gunung dari tempat tinggal keluarga Restu sekarang, sangat dekat, dan di belakang kebun di selatan gunung itu adalah tempat mereka dulu tinggal.
"Iya,kita kembali untuk tinggal di kampung halaman kita saja. Disana semua orang tahu ada orang yang bisa diajak berbicara. Aku benar-benar tidak kenal siapa pun di sini. Bukankah tanah leluhur kita ada di sana? Ayo pindah untuk tinggal di sana. Tanah disana lebih luas ".
Selama tahun-tahun kepergian Mina, ia mengamanahkan tetangga untuk membantu mengurus tanah keluarganya. Sekarang belum terlambat untuk pergi.
"Kakak, ayo kita pindah sekarang. Bisakah kamu meminjamkan kami makanan? Aku akan mengembalikannya kepadamu setelah kiriman makanan dari saudara kami."
Wanita tua itu membuka mulutnya ketika dia melihat kakak laki-laki tertuanya. Kakaknya itu berjanji untuk membayarnya kembali. Nenek kemudian meminjamkan keluarga Paman Beno 200 kilogram tepung jagung.
Kakak tertuanya ini tentu akan bekerja keras sendirian jika harus membawa 200 kilogram tepung jagung. Nenek kemudian meminta ketiga putranya untuk membantu keluarga pamannya pindah. Mendengar bahwa pembawa masalah akan diusir, Si sulung dan dua saudara lainnya kembali ke rumah dengan senang hati.
Restu juga tidak menunjukkan banyak perbedaan sikap. Dia hanya diam meski hatinya tak kalah girang. Dengan semangat, Restu membantu mendorong gerobak, mengantarkan keluarga pamannya pindah ke kampung di belakang gunung.
Ketiga bersaudara itu kembali segera setelah mengantarkan keluarga paman. Mereka tidak lama mampir di sana, terutama karena 2 anak tertua bersikeras untuk pergi.
Dalam perjalanan pulang, si sulung sedikit bingung, "Hai anak kedua, ada apa denganmu hari ini, kenapa kamu terburu-buru? Bukankah paman tadi menyuruh kita makan malam?
Restu mencibir, "Saudaraku, kamu tidak bodoh,kan? Paman sudah tua, bagaimana kita bisa makan makanannya?"
Restu tiba-tiba ingat jika empat anaknya masih di ladang. Ia kemudian meminjam gerobak yang tadi digunakan untuk mengangkut tepung jagung, bergegas menemui anak-anaknya.
Sesampainya Resu di ladang, ia melihat anak-anaknya sudah mengumpulkan banyak jerami dan ranting. Keempat anak itu kini sedang melihat orang-orang bertani. Memanfaatkan hewan ternak untuk membajak sawah, sementara seseorang di belakangnya mengikuti dengan membawa keranjang kecil berisi benih yang siap disemaikan.
Setelah benih-benih itu disemaikan, ada seseorang lain yang berjalan di belakangnya. Orang tersebut bertugas menutup lubang benih. Jika tanah masih kurang padat, akan ada seorang lagi yang membawa roller dari batang pohon pisang, menggilas tanah agar lebih padat dan rata.