Empat anak itu sudah lama di sini dan menyaksikan semua orang bertani. Semua yang bekerja di ladang saat ini adalah karyawan dari tim produksi. Mereka penuh semangat dan tertib saat bekerja.
Hari ini Dewi menanam bunga matahari. Dewi kini dapat tugas ringan, tapi suatu hari ia juga harus merasakan bagian lainnya, seperti mengendalikan kerbau untuk membajak atau menarik roller. Ya, semua harus merasakan pekerjaan yang imbang, tidak ada yang berdiam dengan pekerjaan teringan.
Anak-anak berjalan melewati Dewi. Kulit Dewi saat itu sudah memerah terkena sengatan matahari, sedangkan napasnya sudah semakin cepat. Mona mengamati dengan seksama dan melihat ibunya sudah mulai jalan terhuyung-huyung.
"Kak, cepat gantikan ibu, aku khawatir jika ibu pingsan." Ibu memang tidak cukup tidur tadi malam dan hati serta pikirannya saat ini pasti penuh beban.
Eka buru-buru melangkah maju dan mengambil alih tali penarik tenaga kuda, mengagntikan posisi ibunya. Rano dan Rena mengikutinya. Sementara Mona menuntun ibunya untuk duduk beristirahat. "Bu, apakah kau baik-baik saja?"
Dewi mengatur napas, merasakan jantungnya berdebar, seluruh anggota tubuhnya berkeringat dan mulai melemah. Melihat mata besar khawatir anak itu, sebuah senyuman muncul di wajah pucatnya, "Tidak usah pikir macam-macam, ibu baik-baik saja, istirahatlah. Semua akan baik-baik saja."
Memegang tangan Dewi, Mona bisa merasakan detak jantung yang berbeda itu, "Bu, kamu masih harus istirahat sebentar, aku akan mengambilkanmu air."
Saat semua orang bekerja di ladang, sudah tersedia ember besar yang kira-kira tingginya lebih dari satu meter. Di sekitar ember juga disediakan gelas-gelas kecil sehingga pekerja yang ingin minum bisa mengambilnya sendiri.
Mona menyalakan keran dengan sangat hati-hati. Ia membilas dulu gelasnya sebelum mengisinya dengan air. "Bu, kamu minum sedikit." ".
Air yang dibawa oleh Mona membuat Dewi merasa lebih baik. Dewi meminum semua airnya.
Di kejauhan, Dono melihat Dewi duduk di tanah sementara putranya sedang menarik kuda. Dia merasa sedikit aneh. Ketika dia berjalan, dia tahu ada yang tidak beres. "Dewi, pulanglah dan istirahatlah sebentar. Kamu sudah terlihat sakit sejak kamu memilih benih tadi. Jika kamu merasa tak enak badan, beritahu aku dan ambil libur saja. Jika kamu masih membandel, kamu justru akan menyusahkan anak-anak nantinya. Aku harus memikirkan pekerjaan yang lebih ringan untukmu. "
3 orang anak dari keluarga Restu yang bergantian menarik kuda karena ibunya sedang sakit menggerakkan hati banyak orang. Mereka bersimpati, namun juga menghela napas. Tidak ada anak seusia anak Dewi yang bisa melakukan itu. Jika memang ada anak-anak yang ikut bekerja di ladang, usianya pasti lebih tua dari mereka.
Dono meminta beberapa anak untuk membantu Dewi kembali beristirahat, dan semua orang yang hadir bertepuk tangan dan bersorak. "Pak Mandor, kamu harus mengatur agar Dewi mendapatkan pekerjaan yang lebih ringan. Kami semua tidak akan iri dengannya. "
"Yah, aku akan memikirkan pekerjaan yang ringan dan cocok untuk Dewi. Jika memang kalian setuju, aku harap tidak ada yang iri di masa mendatang."
Semua orang tertawa terbahak-bahak, "Pak Mandor, tidak usah khawatir. Kami tahu itu, kami masih pakai nurani kamo."
Eka membawa sekeranjang rumput di punggungnya, dan Rano memegang tiang gantungan. Sedangkan kedua gadis itu, Mona dan Rena membantu ibu mereka berjalan pulang dengan perlahan, bertepatan dengan Restu yang baru saja tiba.
Melihat wajah istrinya, dia tahu bahwa istrinya sedang sakit, "Wi biar aku menggendongmu pulang. Eka, kamu jalanlah bersama 3 adik-adikmu."
Dia tidak bisa mengobati istrinya, tapi ia sangat peduli, "Wi, ayo segera pulang, katakan padaku dimana yang sakit".
Restu berjalan cepat dengan Dewi di punggungnya. Beberapa anak mengikuti di belakang membawa keranjang. Ketika mereka sampai di rumah, Rano dan Rena membakar jerami untuk memasak air. Sementara Restu menata kasur, memastikan istrinya bisa istirahat dengan nyaman kali ini.
Dewi tidak tidur sepanjang malam, dan dia juga merasa tidak enak badan. Tidak butuh waktu lama bagi Dewi untuk tidur nyenyak begitu meletakan kepalanya di atas bantal.
Melihat hari sudah tengah hari, Restu tidak membangunkan Dewi sama sekali. Kedua gadis itu mulai menyiapkan makan siang. Rano dan adik laki-lakinya keluar dan kembali dengan sekeranjang jerami, takut jerami mereka tidak cukup untuk memasak esok hari.
41. Keluarga Pengganggu Kembali
"Ayah, apakah orang-orang itu pergi? Wang Qian bertanya dengan cemas. Dia tidak ingin diganggu setelah ibunya tertidur.
Penampilan cemas putri dijawab dengan senyuman manis oleh Restu. "Gadis-gadis, mereka semua sudah pergi, dan mereka kembali ke tempat asalnya, di balik gunung itu."
Anak perempuan tertua memiliki pendapat berbeda, "Ayah, lereng gunung tidak terlalu jauh, aku harap mereka tak akan kembali lagi kesini."
Anak-anak masih memiliki ketakutan yang berkepanjangan tentang keluarga paman Beno. Keluarga itu sudah membuat mereka menderita sepanjang malam dan mereka tak ingin lebih menderita lagi.
Saat keluarga Restu mencoba bicara dengan pelan agar tak mengganggu istirahat Dewi, orang-orang justru bicara semaunya. Keluarga Beno yang baru saja diantar ke kampung asalnya tadi pagi sekarang sudah kembali lagi. Sebagian besar dari rombongan mereka ke rumah nenek, tetapi pasangan dari anak ketiga mampir ke rumah Restu.
Paman Beno melihat Rena dan Rano sedang memasak, "Hai keponakan-keponakan paman, kalian masak sedikit sekali, keluarga paman akan makan disini."
Pasangan itu hendak membawa anak-anaknya ke kamar, tapi Mona menghalanginya. "Bibi, ibuku sedang sakit dan tak bisa diganggu. Dan untuk makanan, kami tidak memiliki jatah untuk keluargamu. Pergi saja ke rumah nenek untuk makan. Lagipula keluarga kita tidak memiliki banyak makanan, bahkan kami tidak tahu apa yang akan kami makan. Jika Bibi punya banyak makanan, harusnya kami yang meminjam pada bibi".
Rini, putri tertua paman Beno tak mau mendengarnya lagi. Ia menyipitkan matanya dan berkata, "Aku akan makan di rumahmu. Untuk saat ini kami masih berhutang biji-bijian, tapi kami ingin makan nasi, bukan biji-bijian. Kami melihat kaluargamu memasak itu hari ini, jadi kami datang untuk makan. "
Restu keluar rumah, melihat wajah keluarga Paman Beno di depannya. Ia merasa sedikit bosan, "Kakak dan adik ketiga, Ucapan Mona mungkin menyakitkan bagi keluargamu, tapi memang begitu kondisinya. Kami tidak bisa membantumu."
Pasangan bungsu tiba-tiba memaksa masuk ke rumah "saudara ketiga, kita harus datang dan melihat apakah Dewi itu benar-benar sakit."
Menantu ketiga,Lia juga menggema, "Ya, kita harus melihat apakah Dewi benar-benar sakit atau tidak."
Ketiga anak dari keluarganya mengikutinya. Kedua anak laki-laki itu masih mendengus makanan masakan Rena dengan hidung besarnya. Mereka mendorong Mona, mengusir pemilik rumah dengan gaya sangat menjijikkan.
Dewi tidur sangat nyenyak, dan kebisingan di luar tidak membangunkannya. Paman Beno ingin menjangkau untuk menyentuh kepalanya tetapi Mona menghalanginya. Orang ini pasti punya maksud tidak baik, "Jangan ganggu ibu, dia sedang istirahat. ".
Rini melihat Dewi berbaring di kasur, tapi dia tidak terlihat seperti sedang sakit, dan mulut kecilnya mulai menggeliat, "Itu tidak sakit, tapi seperti mayat di siang bolong."
Mona tidak suka keluarga ini datang sejak awal. Ia makin marah setelah ibunya dihina. Meskipun dia pendek, dia melompat, mencengkram mulut besar gadis kecil itu, dan berkata dengan kejam " Ayo katakan lagi, katakan sekali lagi dan akan kurobek mulutmu dengan pisau dapur. "Suara jelas Mona membuat orang-orang takut, mereka tak menyangka jika Mona bisa seberani ini.