Author Point of View
Kantor Kepolisian
Sepulang sekolah para detektif yang menyamar langsung kembali ke kantor polisi. Dong Yoon dan Jiyeon terlihat sedang bersiap-siap berganti pakaian untuk melaksanakan introgasi sedangkan Minho masih terlihat santai dengan pakaian sekolahnya.
"Kalian terlihat sibuk sekali," kata Minho mengintruksi pergerakan grasak-grusuk Dong-Yeon.
"Inilah yang namanya detektif, walaupun kami terkenal sebagai tim underdog tapi sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan penyidikan," bangga Jiyeon dengan gaya sombongnya.
Minho tersedak ludahnya sendiri merasa tertampar akan jawaban pedas Jiyeon. Tidak mau menghiraukan tetangga tengilnya itu Jiyeon langsung menarik Dong Yoon untuk segera menjauh. Seketika posisi ketua pindah tangan karena tindakan tidak tahu diri Jiyeon. Jangan lupakan jika Jiyeon masih menyimpan kesal pada Minho pasal ucapan Minho yang menghinanya saat di sekolah.
"Aku seperti tidak punya harga diri sebagai ketua,"
"Lupakan saja hal bodoh seperti itu! Bukankah kau memang tidak memilikinya sejak lama?!"
Jawaban Jiyeon hampir saja membuat Dong Yoon menarik colt detective special milik pria imut itu dari sarungnya. Jika bukan karena rekan dan juga seorang wanita habis sudah menyisakan nama wanita Park itu.
Pintu ruang introgasi terbuka, kini Jiyeon dan Dong Yoon sudah bisa menatap secara langsung yang menjadi target mereka selama ini. Baekhyun dan Taehyung yang sudah lebih dulu datang langsung mengundurkan diri dan memasuki ruang lain untuk mengontrol proses introgasi.
Tidak terlihat ketakutan sedikit pun dari wajah Kim Myungsoo yang nasibnya sudah berada di ujung tanduk. Jiyeon tidak merasa aneh sama sekali. Dia sudah memperlajari segalanya termasuk kesehatan fisik juga mental dari para pelaku tidak kriminal. Myungsoo termasuk ke dalam mereka yang memiliki ketenangan luar biasanya. Tidak ada kegugupan sedikit pun.
Dong Yoon menyusun dengan rapi mejanya yang terlihat berantakan. Diantara anggota timnya, dialah yang paling rapi. Jiyeon menggeleng jengah dengan tingkah Dong Yoon. Diam-diam dia mendapat julukan GoYoon-i yang merupakan plesetan dari Goyang-i yang artinya kucing. Hadiah untuk tuan pembersih yang imut seperti kucing. Sebenarnya Dong Yoon sudah tau akan julukan itu hanya saja para member yang tidak tahu jika Dong Yoon sudah tahu, ya seperti itulah.
"Kita mulai," ujar Dong Yoon.
Seketika wajah imut itu berubah menjadi serius tapi tetap tidak bisa menggetarkan hati tuan Kim dihadapan mereka. Jiyeon kembali memperhatikan Myungsoo dengan seksama. Yang ditatap menghadiahi senyuman manis membuat jiwa kesepian Jiyeon bergetar. Pandangannya sedikit goyah akibat senyum maut penulis tampan itu.
"Jika kau menatapku seperti itu aku tidak bisa tanggung jawab jika kau jatuh kepadaku," kata Myungsoo santai tidak melepas senyumnya.
"Ehem," Dong Yoon yang merasa menjadi kulit kuaci mulai jengah.
"Sial," umpat Jiyeon pelan yang masih bisa didengar oleh dua pria dalam ruangan itu. Di lain tempat Taehyung dan Baekhyun berusaha menahan tawa mereka karena menyaksikan adegan nyeleneh dari ruang introgasi.
"Silakan," kata Myungsoo yang tidak mendapatkan pertanyaan dari dua detektif di depannya.
Author Point of View End
Jiyeon Point of View
"Aku tidak akan bertanya banyak, kami sudah mengantungi semua bukti. Yang kami butuhkan hanyalah pernyataan langsung darimu," kataku to the point.
"Kekeke," kekeh Myungsoo pelan. Bangsat dia menertawaiku?
"Apakah ada yang lucu Tuan Kim?" tanya Dong Yoon sedikit tersinggung karena dianggap remeh. Walaupun dia terlihat baik tapi dia bisa buas saat disinggung.
"Maaf aku tidak bermaksud menyinggung kalian. Hanya lucu saja, jika sudah ada bukti yang cukup seharusnya tinggal sidang dan aku hanya perlu duduk manis ditemani kuasa hukum di hadapan hakim. Aku menunggu anak kecil pulang sekolah selama berjam-jam dan hanya perlu memberikan pengakuan," jawab Myungsoo ditatap tidak suka oleh Dong Yoon.
"Tidak semudah itu tuan Kim, prosedur tetaplah prosedur. Semua harus sesuai dengan aturan yang ada, jika tidak maka itu akan menjadi bumerang untuk kami di pengadilan nantinya," jelas Dong Yoon berusaha tenang.
"Ini tidak semudah kau menggoreskan pisau pada tubuh korbanmu hingga tewas, Tuan Kim."
Ucapan sinisku membuat senyum Myungsoo menghilang sebentar lalu kembali terbit. Dia mengubah duduknya dan menatapku tajam. Dengan berani kembali kutatap matanya. Aku melihat sesuatu dari matanya tapi entah apa, ada yang berbeda dari situ.
"Benarkah?" tanyanya yang mungkin ditujukan padaku. Dia menatap ke dinding kaca yang dibaliknya ada Baekhyun dan Taehyung sedang memonitor kami.
"Jika aku mengatakan aku tidak bersalah, apakah kau akan percaya?" tanyanya lagi tertuju padaku. Kenapa hanya padaku tatapan itu?
"Di dunia ini terlalu banyak yang tidak sesuai dengan penglihatan dan pendengaran. Dunia ini sudah dipenuhi orang pintar dan cerdas, mereka bisa dengan mudahnya memanipulasi. Baik menjadi buruk adalah hal mudah untuk ditukar-tukar," lanjutnya lagi.
"Tuan Kim, bisakah kau hanya fokus pada penyidikan? Apa kau pikir kau sedang memberi pelajaran filsafat di kelasmu? Ini bukan sekolah apalagi kampus, Tuan." serobot Dong Yoon. Aku masih memikirkan kata-kata Myungsoo, dia memang tidak salah.
"Apa begitu tanggapanmu ketika sedang diberi hal baik? Belajar formal tidak selalu efektif, dunia luar lebih luas dan lebih banyak hal yang bisa dipelajari."
"Berhentilah bertingkah seperti guru! Kau tidak pantas! Kau hanyalah seorang pembunuh yang bersembunyi dibalik karya tulismu," aku tahu Dong Yoon hanya memancing agar Myungsoo emosi dan menunjukkan sifat aslinya. Masih kuperhatikan reaksi dari Myungsoo, dia menggigit bibir bawahnya lalu melepasnya, memajukan tubuhnya dan menatap kami berdua seksama. Senyumnya kembali muncul. Tidak gentar.
"Sudah kukatakan jika dunia ini mengerikan karena dipenuhi orang yang tidak terlihat seperti yang sebenarnya, kau tahu? Munafik, ya monster munafik. Mau dia polisi, detektif seperti kalian, pendeta dan pengemuka agama, bahkan pendidik seperti dosen dan guru juga bisa menjadi monster."
"Aku tahu dunia ini mengerikan, seperti saat aku berhadapan denganmu. Juga sama mengerikannya," kataku menatap bola hitam di matanya.
"Baguslah jika kau tahu, lebih baik kalian selesaikan kasus kalian yang lainnya dulu. Bukankah kasusku ini sangat mudah dipecahkan ah tidak tapi sudah dipecahkan dengan semua bukti yang kalian miliki. Kalian hanya perlu pengakuan dariku, kan?" kata Myungsoo dengan santai.
"Kau berkata seperti itu untuk mengulur waktu? Kasusmu akan segera diputihkan itu kenapa kami mendesakmu sekarang," jawab Dong Yoon mulai geram.
"Ada waktu beberapa bulan lagi, jika kalian memang memiliki bukti yang kuat kalian akan menyelesaikan kasus ini dengan baik."
"Apa maksudmu?" tanyaku? Beberapa bulan? Bukankah kasusnya akan berakhir kurang dari 3 hari lagi?
"Kalian belum membaca bukuku sampai habis? Ah, aku sangat kecewa. Ternyata aku tidak memiliki penggemar di sini,"
"Orang ini memang sudah gila, Ji."
Aku tidak menghiraukan ucapan Dong Yoon, otakku masih berputar memikirkan ucapan-ucapan Myungsoo.
"Bereskan berkasnya, kita harus bicara!" aku berdiri dan bersiap keluar dari ruangan.
"Yak! Aish, siapa sebenarnya ketua di sini? Dasar wanita ular!" gerutu Dong Yoon. Aku menunggunya di ambang pintu karena merasa bersalah telah memerintah atasanku itu.
Dia menatap Myungsoo setelah selesai memungut berkas yang entah sejak kapan bisa berantakan padahal belum digunakan sama sekali.
"Kau jangan senang dulu! Aku pastikan kau akan mendapatkan balasannya,"
"Aku akan menunggunya,"
Aku tidak tahu apakah Myungsoo benar-benar segila itu, dia tidak gentar sama sekali. Tatapannya benar-benar fokus dan tidak goyah, tidak seperti tersangka lainnya. Apa dia memang mampu mengendalikan emosinya, beberapa memang ada yang bisa tapi tidak serapi dia. Kim Myungsoo aku akan membuktikannya.
Aku dan Dong Yoon berjalan bersisian, dia masih mengoceh karena tindakanku yang seenaknya menghentikan proses introgasi.
"Kau tidak dengar jika dia mengatakan ada waktu beberapa bulan lagi?" tanyaku menanggapi yang kuyakin bukan jawaban atas ocehannya yang tidak kudengar dengan baik.
"Itu bisa jadi hanya alasannya saja untuk mengulur waktu, kita tidak punya waktu Ji. Kau terbuai karena ketampanannya?"
"Tutup mulut kotormu itu!"
Memangnya aku segampang itu dan tertipu hanya karena wajah tampan? Ck, manusia picik ini!
"Neonna, kenapa dihentikan?" tanya Taehyung saat menghampiriku.
Aku tidak menjawab dan terus berjalan ke meja kerjaku. Sesampainya di sana aku langsung mengeluarkan buku yang kupinjam dari Sejeong dan membuka halaman demi halaman yang masih bersisa, belum habis kubaca.
"Neonna, kau hobi sekali mengabaikanku!" rengek Taehyung.
"Kau sudah membaca semua seri novel si Kim itu?" tanyaku.
"Tinggal buku yang kau pegang yang belum kubaca sampai habis," jawabnya.
Ini lembar terakhir tapi aku tidak bisa mengerti maksud ucapan si tuan Kim itu. Beberapa bulan lagi? Apa maksudnya?
"Tae, apa setiap seri novel ini ditulis berurut sesuai waktu dan tanggal kejadian?"
"Maksudmu?" tanyanya balik. Aku memelototkan mataku dan membuatnya membuang tatapannya menghindar mencoba berpikir. Dasar pemalas! Untuk mencerna ucapanku pun kau malas.
"Ah, tidak. Dia tidak pernah menulisnya berurutan, di seri yang pertama dia menulis tentang kejadian sekitar 16 tahun yang lalu dan di seri yang kedua tentang 9 tahun yang lalu kalau tidak salah sedangkan seri ketiga tentang 15 tahun yang lalu, yang terakhir ini tentang kejadian 10 tahun yang lalu yang sepertinya ini kasus yang sedang kita selidiki sekarang,"
Penjelasan Taehyung membuatku yakin jika jawaban dari ucapannya tadi ada di buku seri kedua. Aku harus mendapatkannya.
"Berikan aku buku seri kedua," pintaku padanya.
"Aku tidak punya," jawabnya dengan senyum lebar.
"Aku meminjam di rental buku dan katanya sekarang sudah banyak yang rusak jadi sulit ditemukan," jelasnya lagi.
"Dasar penggemar tidak modal," umpatku pelan yang ditanggapi dengan kekehan olehnya.
Aku mengetuk meja dengan jariku mencari cara untuk menemukan buku seri kedua itu dan mencocokkannya dengan berkas kepolisian.
"Park Jiyeon bisakah berhenti bermain-main?" tanya Dong Yoon geram akan sikapku yang dianggapnya sedang bermain-main.
"Aku tidak sedang bermain, kau ingat dia mengatakan ada waktu sekitar beberapa bulan lagi, itu artinya ada kasus lain yang melibatkannya. Kita tidak bisa memaksanya mengaku untuk kasus yang akan berakhir dalam hitungan jam lagi, dia pintar mengulur waktu. Kita harus menemukan buku seri keduanya dan mencocokkannya dengan data kepolisian," kataku panjang lebar agar si ketua tidak merecokiku lagi.
"Bukankah Sejeong memiliki semua seri bukunya?" tanya Dong Yoon.
Kenapa tidak terpikirkan olehku, aku bisa meminta pertolongan padanya. Tapi, bagaimana caranya? Apa besok saja di sekolah? Ah, tapi aku sudah penasaran. Aku akan menghubunginya dan meminta alamatnya sekarang.
"Yak, kau mau kemana nona Park?" tanya Baekhyun yang dari tadi hanya memperhatikan serta menyimak.
"Aku ada urusan sebentar, kalian tolong analisis lagi kasus yang menumpuk itu. Love you, boys!"
"Wah,"
Masih bisa kudengar suara mereka yang takjub, aku yakin itu. Pria-pria kesepeian yang sudah lama tidak mendengar kata cinta. Cih, jomblo karatan.
. . .
Di rumah Sejeong
Wah, rumahnya benar-benar bagus. Aku sangat suka rumah seperti ini. Halamannya sangat luas dan rumahnya hanya satu lantai tapi dari luar saja aku sudah yakin bagaimana dengan isinya. Terlihat sederhana dan elegan dalam waktu yang sama. Sepertinya keluarga Sejeong bukan orang biasa dengan banyak anak, kekeke.
Aku menekan tombol bel agar ada seseorang yang mempersilakan aku masuk. Sungguh aku baru merasakan jika kakiku pegal karena dengan semangat berlari mengejar taksi yang dengan kurang ajarnya mengerjaiku. Dasar si Kim Jong In sialan itu, bagaimana aku tidak bisa menandai jika itu hanya taksi palsu dan sedang menyamar.
"Oh, Jiyeon-ah!"
Sejeong menyambutku dengan sangat ramah, khas seorang Sejeong. Aku juga menyambutnya tidak kalah heboh. Seketika wajahnya berubah bingung seolah melihat sesuatu yang aneh.
"Dimana kacamata dan rambut kepangmu?" tanyanya membuat mulutku melipat ke dalam.
Matilah kau Park Jiyeon! Aku melupakan penyamaranku, apa yang harus kukatakan padanya. Bagaimana jika dia curiga? Aku terlalu bersemangat sampai mengacaukan semuanya. Sepertinya aku akan segera di pecat.
"Ini... aku bisa menjelaskannya."