webnovel

007 Jangan Baper

“Eh.. Kakak?” ucap Dita gugup.

“Kakak,” cibir Radit sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

“Lu anak Bahasa yang gua tabrak waktu itu kan ya? Gua Rifky.” Laki-laki yang bernama Rifky itu mengulurkan tangan tanda perkenalan.

“A...aku Dita, Kak.” Dita pun segera menyambut uluran tangan Rifky.

Radit terbelalak ketika Dita menggunakan kata ‘aku’ untuk dirinya. Padahal Dita itu tipe anak yang nyablak dan bar-bar, seumur-umur belum pernah kata ‘aku’ keluar dari mulutnya kecuali dengan orang tuanya.

“Oh iya btw, dari kemaren gua nyari elu. Bisa ngobrol sebentar?”

Gua dicari-cari sama dia? Ow.. so sweet banget sih Kak Rifky, batin Dita tersipu.

“Nggak usah ge-er deh.” Tiba-tiba Radit menyenggol Dita hingga membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

“Ish, ngapa sih lu Dit!” gerutu Dita menatap Radit kesal. Ia kembali menatap Rifki sok manis. “Ngobrol sama aku Kak? Soal apa?”

Batin Radit kembali mencibir. Sejak awal ia memang masih berada di antara dua orang tersebut, ikut mendengarkan pembicaraan keduanya tapi sepertinya ia tidak dianggap manusia saat ini.

“Jadi gini, lu anak Bahasa kan ya? Gua liat karya lu yang buat mading itu bagus jadi gua mau ngajuin elu jadi ketua Mading, kebetulan kan masa jabatannya udah selesai semester ini trus anak Mading bekerja sama dengan OSIS buat cari ketua Mading. Lu mau?” terang Rifky panjang.

Bola mata Dita terbelalak. “Ho? Serius nih Kak? Boleh-boleh Kak,” ucapnya bersemangat sembari mangut-mangut.

Radit memicingkan matanya melirik gadis di sampingnya tak suka. “Kok lu main iya-iya aja sih Dit! Lu harus ngomongin ini sama gua dong!” sergapnya tak terima.

Apa-apaan sih Dita tuh? Kenal sama Rifky aja belum lama tapi sok akrab begitu, belum lagi si kakak kelas ini maen ngajak-ngajak dia?! Mentang-mentang anak OSIS! Sial!, gerutunya kesal setengah mati.

“Ngapa sih lu bayi curut diem aja deh!” semprot Dita sembari menempelkan telapak tangannya di wajah Radit, sedangkan yang diperlakukan semena-mena oleh perempuan bar-bar itu hanya bisa melengos kesal. Entah sejak kapan wajahnya sudah ditekuk bak baju yang belum disetrika.

Rifky mengulum senyum melihat pola dua orang di depannya itu. “Bagus kalo gitu. Em.. bisa ikut gua bentar nggak ke ruang OSIS? Biar lu bisa gua kenalin ke anak-anak OSIS sama Mading kalik aja lu bisa langsung daftar,” ucapnya menengahi.

“Oh iya Kak, boleh.” Dita pun segera berjalan beriringan dengan Rifky menuju ruang OSIS bahkan ia lupa meninggalkan Radit yang mematung di tempat.

“Dita mana Dit?” mendengar pertanyaan itu membuat Radit mendongakkan kepalanya. Dilihatnya Ajik dan Nona tengah duduk berdua di kursi panjang depan kelas. Ia melirik papan nama di atas pintu kelas tersebut, 2Bahasa-A2, kelas Dita.

“Lu berdua belom balik?” bukannya menjawab Radit malah melontarkan pertanyaan.

“Gua nunggu Dita, dia ngapain bolos jamnya Bu Endah? Pasti sama elu kan?” selidik Nona pada Radit.

Bukannya menjawab, lagi-lagi Radit malah menerobos duduk di antara Ajik dan Nona. Ish, orang ketiga tuh anak. “Dita digebet orang masak?!” ucapnya kesal sembari menyender di bahu Nona.

“Eh, Dit.. lu ngapain sih?! Modus receh banget semua cewek lu tempel!” sergap Ajik cepat sembari terus berusaha melepaskan senderan Radit pada bahu Nona.

Radit tak bergeming, ia terus menempelkan kepalanya pada bahu sahabat karibnya Dita itu dengan wajah macam orang teraniaya. “Ngapain sih lu?!” kesalnya pada Ajik yang berusaha melepaskan lendot-lendot manjanya pada Nona. “Aa.. lu cemburu ya?” godanya di akhir, ia pun sudah tidak menyenderkan kepalanya lagi.

“Paan sih lu?! Oncom!” sungut Ajik yang sudah menghentikan aksi kesalnya.

“Heleh, kalo cemburu tuh ngaku aja nggak usah—” ucapan Radit terhenti ketika tanpa sengaja matanya menatap seseorang mendekat ke arah mereka. “Fah.. belom pulang lu? Keluyuran aja,” celetuknya pada Fafa, teman sekelasnya.

Fafa melirik sekilas Nona di sebelah Radit dan bergantian melirik Ajik, ia menghela napas sebentar. “Nih, tugas Bu Jen,” ucapnya pada Radit sembari menyerahkan beberapa lembar kertas.

“Apaan nih?” Radit membaca kertas tersebut sekilas. “Bu Jen seneng banget sih ngasih tugas kelompok dan kenapa harus sama elu dah!”

Fafa memberengut mendengar penuturan Radit. Emang siapa juga yang mau satu kelompok dengan mereka?! Yang sekolah doyannya bolos doang!, gerutunya dalam hati. “Ye.. kalo gua bisa milih, gua juga ogah kalik sekelompok sama elu-elu pada!” gerutu Fafa sembari melirik Radit dan Ajik bergantian.

“Slow ngapa sih lu! Nggak usah sewot gitu!” geram Radit.

“Gua udah slow kalek! Udahlah, gua nggak mau tahu! Pokoknya elu berdua kudu masuk kalo jamnya Bu Jen, jangan bolos kayak tadi! Nyusahin gua sama Rahma tau nggak!?!” gerutu Fafa lagi panjang.

“Gua nggak tau tuh,” celetuk Ajik sembari menaikkan salah satu kakinya ke kursi. Dipasang wajah sok cool nya menatap Fafa, tebar pesona eh dasar cogan.

“Makanya gua kasih tau! Udah ah, ngomong sama lu pada sama aja gua lagi ngomong sama tembok!” setelah mengucapkan demikian Fafa segera berlalu dari hadapan mereka.

Ajik menatap punggung teman sekelasnya itu melongo, tak habis pikir dengan gaya anak itu yang jauh dari teman semejanya si Rahma. “Sewot mulu dah tuh anak.”

“Emaknya ngidam apaan buset! Nih, lu bawa Jik,” ucap Radit sembari menyerahkan lembaran kertas tersebut.

“Lah, kok gua sih? Ogah gua, nanti gua suruh ngerjain lagi.” Ajik menatap beberapa lembar kertas yang dikelip menjadi satu tersebut dipakukannya.

Ditepuk-tepuknya bahu Ajik dramatis. “Nanti gua bantu, bantu jilid sama numpuk ke meja Bu Jen. Bereskan? Gua mau ke kelas dulu ngambil tas. Bye!” Radit pun berlalu dari tempat mereka.

“Anjir! Enak di elu! Dit, woy!” teriak Ajik pada sahabatnya itu bahkan ia sampai berdiri hendak mengejar Radit namun digagalkan karena sebuah pertanyaan sampai ke gendang telinganya.

“Jadi elu sekelompok terus sama Fafa?” pertanyaan Nona membuat laki-laki di sampingnya itu kembali kicep.

Entah sudah berapa suku kata yang keluar dari mulut Dita sepanjang perjalanan pulang namun orang yang bersamanya sama sekali tak merespons. “Dit, lu kok diem aja sih?!” ucap Dita sembari menepuk bahu Radit. Kini keduanya masih di jalan menuju rumah.

Radit menolehkan kepalanya menyerong ke belakang, menatap wajah Dita yang penuh binar. “Terus gua kudu ngapain? Salto di lampu merah sambil teriak-teriak kegirangan panggil nama lu gitu?”

Mendengar penuturan laki-laki yang tengah memboncenginya itu, Dita segera menoyor kepala Radit yang terlindungi dengan helm. “Biasa aja kalek! Berlebihan banget sih!” gerutunya kesal.

Radit tak merespons lagi. Lampu hijau sudah menyala, ia langsung menancap gas motornya dan melaju kencang. Sebenarnya ia kesal, jelas saja ia kesal. Tadi setelah dihukum ia ditinggal Dita pergi dengan kakak kelasnya, terus sepanjang perjalanan gadis itu terus bercerita siapa Rifky.

Kalau dari cerita Dita, namanya Rifky Theodorus, anak 3Mipa-A3, Ketua OSIS pula. Anak IPA coy, gila saja Dita didekati sama anak IPA, otak cetek begitu juga.

“Dit, nanti gua ke rumah ya?” ucap Dita sesampainya mereka di depan gerbang halaman rumah. Kedua tangannya memeluk helm yang tadi dipakainya.

“Enggak ah,” jawab Radit malas sembari mengambil helm yang dipakai Dita tadi dari tangan gadis itu.

Dita mengerutkan keningnya bingung. “Lu kenapa sih? Lu sakit?” tangannya sudah menempel begitu saja di kening Radit lembut dengan pandangannya tak lepas dari cowok itu.

Radit menatap wajah cantik di depannya membisu. “Ah, shit!” umpatnya lirih sembari menepis tangan itu.

Dita menyengitkan keningnya melihat perubahan aneh pada diri Radit. “Lu kenapa sih Dit?! Cerita ngapa sama gua!”

Radit menghela napasnya malas, ditatapnya manik mata Dita dalam. “Lu beneran mau nyalonin diri jadi ketua Mading?”

“Yaa kenapa enggak? Kapan lagi gitu gua dapet kesempatan emas kayak gini? Toh juga gua emang anak Mading tapi emang nggak aktif si, ya itung-itung jadi perwakilannya Bahasa-A2,” jawab Dita bersemangat. “Kenapa emangnya?”

“Bukan karena Rifky?”

“Kak Rifky? Apa hubungannya?” jawaban yang tak memuaskan dari gadis itu pun membuat Radit berdecap kesal.

“Ya udah ah! Gua balik!” ucap Radit dan melajukan motornya ke samping rumah tersebut, masuk ke halaman rumahnya.

Dita menatap Radit hingga laki-laki itu masuk ke dalam rumah. “Radit kenapa?” gumamnya.

Sesampainya Dita di sekolah, ia segera berlari menuju kelas bahkan ia tak memedulikan teriakan Liam yang mengantarkan pagi itu. Ck, ia kesal dengan Radit. Entah kenapa anak itu meninggalkannya pagi tadi sehingga Dita kewalahan harus dengan apa dan siapa ia ke sekolah. Dita juga sempat bergelut dengan Gilbran karena anak itu biasa berangkat bareng Liam jadi ya.. terpaksanya Liam harus kerja dua kali untuk mengantar Dita dan Gilbran bergantian.

Ck, Radit sialan! Kalo aja gua nggak buru-buru mau ngerjain PR matika pasti udah gua labrak dia ke kelasnya sekarang juga!, gerutunya ketika masih terus berlari sepanjang koridor.

Bruk! Ah, sial! Dalam keadaan genting seperti ini pun ia harus menabrak seseorang.

“Radit!” Dita terperangah ketika melihat Pak Toru, orang yang ditabraknya memanggil dirinya Radit.

“Dita, Pak,” laratnya cepat.

Pak Toru berpikir sejenak. Beliau lupa jika anak muridnya yang bernama Radit itu laki-laki, yang satunya bukan ini. “Oh.. iya maksud Bapak itu. Ka—”

“Maaf Pak sebelumnya, saya lagi buru-buru banget mau ke kelas. Kalo mau ngobrol bersenda-gurau nanti aja ya Pak, saya buru-buru.” Setelah mengucapkan demikian Dita segera berlari meninggalkan guru killernya itu.

“Eh.. Dita!” teriak Pak Toru menatap murid didiknya itu berlari kencang bak vampire di film Twilight.

Dita pun terus berlari menyusuri koridor dengan napas yang tersengal-sengal. Menghantam berbagai halangan yang menghadang, wuss kayak apaan aja dah. Hingga sampailah ia di depan kelasnya.

“Eh, Dit.. lu ngapa lari-lari gitu?” celetuk Ipung di depan pintu kelas ketika gadis itu sampai.

Dita mengatur napasnya sebentar dengan dua tangan yang berpegangan pada tembok. Setelah puas bernapas tanpa membayar ia pun segera menatap seseorang yang tengah berdiri sok ganteng di tengah pintu. “Ck, minggir nggak lu! Gua mau lewat!” sungunya berharap Ipung memberi jalan masuk untuknya.

“Wedeh.. sok jual mahal pula. Lu—”

“CUPANG! GUA BILANG MINGGIR YA MINGGIR! LU BUDEK ATAU TULI SIK?!” teriak Dita penuh emosi sembari menatap Ipung tajam. Lagi-lagi hingga membuatnya kesulitan bernapas.

“Lepas aja kalik Pung, anak orang lu bikin nangis,” celetuk Ahmad yang tengah duduk di kursi depan kelas dengan dua kaki yang nangkring di atas kursi.

Dita segera memicingkan matanya, menatap Ahmad penuh kebencian. “Lu kalo nggak mau mati nggak usah ikut campur!” sinisnya sembari menunjuk wajah Ahmad.

“Minum obat deh lu Dit, sakit kayaknya,” gumam Ahmad yang sudah kembali sibuk dengan ponselnya.

Dita memberengut kesal. Harus banget ya ia memberi pelajaran pada dua anak itu agar meminta ampun pada dirinya? Karena emosinya yang tadi sempat ia pendam akhirnya meletus juga, ia pun langsung menjambak rambut Ahmad liar.

“Aduh duh.. sakit Dit! Sakit bego! Anjir lu! Lepas kagak?!” Ahmad kewalahan ketika teman sekelasnya sudah berubah menjadi ratu singa hutan yang bisa memakan orang.

“Kagak! Sekarang lu sadarkan siapa yang sakit di sini?! Heh?! Ngaku?!” tanpa ampun Dita terus menjambak rambut cowok itu walaupun si korban sudah memohon ampun kesakitan.

“Iya.. iya.. gua yang sakit! Lepas bego! Lepas!” ucap Ahmad lagi memohon sembari memegang kedua tangan gadis itu yang masih menjambaknya.

Dita pun melepaskan jambakannya dan menatap garang Ahmad. Fokusnya kembali pada Ipung yang cengengesan di depan pintu. “Lu mau bernasib sama juga sama curut got itu?!” ucapnya sembari menunjuk Ahmad.

“Sialan! Gua dikatain curut got.”

Lagi-lagi Ipung menunjukkan senyum dan tawanya tanpa paksaan. “Lewat gih Dit, gua mah orangnya baik.” Ia pun sudah memberi jalan untuk Dita masuk ke kelas.

“Dari tadi kek! Dasar kutu curut!” umpat Dita dan masuk ke dalam kelas.

Tet.. tet.. tet..

“Mampus!” umpatnya kesal sambil menepuk jidatnya keras ketika suara bel berbunyi.

Siguiente capítulo