webnovel

008 Nggak Bisa Marah

Gua benci hari ini?! Hari apa sih ini?! Ah.. shit!

Entah sudah berapa kali Dita menggerutu tak jelas dipojokkan meja perpustakaan. Sial beribu-ribu sial karena ia tak sempat mengerjakan PR Matematika padahal kalau saja Ipung si kutu curut itu tak menghambat jalannya pasti ia sudah mengerjakan tugas itu.. ya paling tidak lima soal dari lima belas soal pun tak apa, setidaknya ia mengerjakan. Tapi kalau sudah seperti ini? Ia bahkan lupa PR Matematika itu ada di halaman berapa. “Ah.. stres gua!” gerutunya lagi dan menenggelamkan mukanya pada lipatan tangan di atas meja.

“Dita?”

Ia segera mendongakkan kepalanya ketika merasa dirinya terpanggil. “Eh, Kak Rifky?”

Kok Dita kagak nemuin gua ya? Harusnya dia labrak gua trus ngomel, jambak, bacok sekalian gegara tadi gua tinggal berangkat sekolah. Sia-sia dong gua bangun pagi buat berangkat sekolah duluan, batin Radit saat di dalam kelas, ketika Dita tidak muncul di hadapannya karena ia meninggalkan Dita saat berangkat sekolah.

“Dit, lu mau ke mana?” tanya Ajik ketika Radit bangkit dari duduknya.

“Kelas Dita!” jawab Radit sembari berlalu.

“Ikut!”

Radit celingak-celinguk ketika ia sampai di kelas gadis itu. Ia tak seperti Dita yang dengan PD-nya berteriak di kelas orang lain.

“Cari siapa Dit?” tanya Ichsan yang sepertinya dari kantin karena membawa beberapa makanan.

“San, Dita mana ya?” tanya Radit.

Mereka itu saling kenal, wajar si soalnya Radit sering main ke kelas Dita saat jam istirahat atau pulang sekolah. Ada dari teman mereka juga menganggap jika keduanya pacaran, sepasang kekasih. Widih. Walaupun keduanya suka klarifikasi jika mereka murni sebatas teman atau sahabat. Tapi kalau Sebastian, sebatas teman tanpa kepastian, nggak tau juga sih.

“Dihukum Bu Mita tadi,” jawab Edo yang berdiri di samping Ichsan.

“Kenapa?!” ucap Radit dan Ajik berbarengan.

“Eh.. Radit?” keempatnya menolehkan kepala menatap Nona keluar kelas. “Ajik?” gumamnya ketika pandangan matanya menatap Ajik.

“Dita dihukum Nyong? Kenapa emang?” tanya Radit. Mendadak ia khawatir dengan anak itu, harusnya kalau Dita telat ia juga harus telat, ck kenapa juga ia tadi meninggalkan Dita berangkat sendiri?!

“Nggak ngerjain tugas matika dia.”

“Lah.. biasanya tuh anak emang nggak pernah ngerjain PR matika kan?”

“Iya, tapi masalahnya Dita tadi berangkat telat biasanya kan dia kalo nggak ngerjain PR berangkatnya pagi-pagi buta buat nyalin punya yang lain,” terang Nona.

“Shit!” umpat Radit sembari mengacak rambutnya frustrasi.

Nona menatap Radit bingung, pandangannya pun beralih ke Ichsan dan Edo yang ikut dalam pembicaraan mereka. “Btw, belom balik tuh anak? Jam matika kan udah selesai dari sebelum istirahat,” tanyanya menatap Ichsan dan Edo bergantian.

“Masih di perpus kalik, susulin sana,” ucap Edo dan berlalu masuk ke dalam kelas diikuti Ichsan.

“Gua susul deh. Di mana? Perpus?” Radit pun melangkahkan kakinya segera menuju perpustakaan namun langkahnya terhenti ketika melihat Dita tengah berjalan menuju mereka dengan memeluk beberapa buku.

“Udah selesai Dit? Baru mau disusul,” ucap Nona pada sahabatnya itu.

Dita menatap Nona dan sekilas melirik Radit cuek. “Udah, lu ke kantin belom? Gua laper nih,” ucapnya.

“Kantin sama gua yuk!” sergap Radit cepat.

Dita tak merespons. “Eh.. tapi udah mau bel, masuk kelas aja yuk Nyong.” Ia segera menarik Nona masuk ke dalam kelas, menganggap hanya ada dirinya dan Nona di sana. Nona yang tak tahu apa-apa pun menatap ketiganya bergantian.

“Dita kenapa?” bisik Ajik pada Radit.

Kayaknya Dita marah sama gua, batin Radit pilu.

“Elu sama Radit ngapa?” Dita melirik sahabatnya itu yang tengah berbisik. Pergerakan menulisnya pun berhenti sesaat sebelum kembali sibuk menyalin materi di papan tulis ke buku catatannya. Nona berdecap ketika tak mendapat respons dari Dita. “DIT?!” disenggolkan lengannya pada Dita.

“Ah.. sialan lu! Ke coret kan?!” sergap Dita kesal. Ia menatap buku catatannya yang sudah indah dengan goresan panjang pena hitamnya dan melirik Nona mangkel.

“Sorry Dit, sorry.. abisnya elu ditanya malah kagak jawab! Budek?”

“Pala lu budek!” Dita menoyor kepala Nona kesal.

“Dita? Kamu mau tanya?” ucapan Bu Endah membuatnya tersenyum manis.

“E—enggak Buk.” Dita pun segera memicingkan matanya melirik Nona yang tengah sibuk menulis catatannya.

Jam pulang sekolah pun sudah tiba, semua murid bergegas membereskan alat tulis dan tetek bengek lainnya. Dita dan Nona keluar kelas bersamaan namun langkah mereka terhenti ketika seseorang menghalangi pintu kelas.

“Kalian ngapain?” tanya Nona pada Radit dan Ajik yang berdiri tegap di depan pintu kelasnya.

Ajik tersenyum menatap Nona, kedua tangannya ditekuk di depan dada. Sedangkan Radit melemparkan tatapan penuh selidik pada Dita dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. “Gua perlu bicara sama elu Dit!” ucapnya tanpa jeda.

“Nggak penting!” Dita mendorong tubuh laki-laki itu dan hendak menyempil di tengah-tengah dua laki-laki itu namun dengan kuat Radit menahan dirinya.

“Lo kenapa sik?!” sergap Radit sembari mencekal lengan Dita.

Dita menatap sinis wajah Radit, dengan segera dihempaskan tangannya yang masih dicekal Radit. “Nggak papa.”

“Ck, gua nggak suka kayak gini Dita!”

“Bodo!”

Keduanya pun saling menatap dengan hawa yang sangat mencekam. Mereka sama-sama menyalurkan hawa kekesalan dan kemarahan. Ajik dan Nona pun sampai bingung dibuatnya.

“Tin.. tin.. woy! Pacaran jangan di depan pintu kalek! Ini pada ngantri mau balik!” suara itu membuat keempat orang yang berdiri di depan pintu pun segera menolehkan kepala.

“Cangcimen.. cangcimen..” suara Ipung pun tak kalah menggelegar sembari menyebar permen.

“Ipung, itu permen gua!” teriak Sarah dari kursinya. Ipung segera menerobos melewati mereka ketika Sarah mengejarnya. “Tai lotok! Sini lu kalo berani!” teriak Sarah di ambang pintu. Tak sengaja ia melirik Radit yang bengong di pinggir pintu. “Radit ngapain di sini? Pacar lu udah balik dari tadi,” celetuknya.

Radit menggaruk rambutnya frustrasi. “Lah itu siapa?” ucapnya sembari menunjuk Dita di belakang gadis itu.

Sarah menolehkan kepalanya. “Oh.. Dita masih di sini to? Dit, itu pacar lu nunggu. Dari tadi kan Dit?” Sarah kembali menatap Radit di akhir kalimatnya.

“Gua—” belum sempat Radit menyelesaikan ucapannya, tanpa aba-aba Dita menarik lengan Radit dari kerumunan itu.

Radit tersenyum puas ketika tangannya masih ditarik Dita menuju parkiran. Setidaknya anak itu sudah tak marah dengannya. Bayangkan saja betapa kesepian dirinya tak bersama Dita sehari saja, itu sangat menyiksa.

Dita menghentikan langkahnya di depan pintu menuju parkiran, melepaskan genggamannya pada lengan Radit dan berlalu begitu saja. Radit melongo tak paham apa maksud anak itu, dengan segera ia mengejar dan mencekal lengan Dita.

“Dit, kok balik?” tanya Radit.

“Lepas!” kesal Dita berusaha melepas pegangan Radit pada lengannya.

“Nggak! Gua nggak akan lepasin tangan gua sebelom lu ngomong sama gua!”

Dita menatap mata Radit tajam. Ia kesal! Ia kesal dengan Radit! “Ngomong apa?!” terdapat kerutan dalam di keningnya yang menandakan ia bingung juga kesal.

“Ya.. ya.. ngomong apa kek?! Ngomong kenapa elu marah sama gua.”

Dita tersenyum tipis mendengarnya. “Nggak ke balik?” Radit menyengitkan dahinya bingung ketika gadis itu bertanya demikian. “Harusnya..” shap, sekali putaran Dita berhasil balik mencekal lengan Radit.

“Argh!” rintih Radit ketika tangannya berhasil dipelintir.

“Sekarang gua tanya, lu nggak mau ngomong? Ngomong apa kek?! Kenapa elu ninggalin gua tadi pagi ampe gua telat trus dihukum gegara belom ngerjain tugas matika?” ucap Dita kesal.

“I—iya.. iya.. gua ngomong!” ucap Radit sembari merintih kesakitan.

Dita pun segera melepaskan cekalannya pada lengan Radit. “Sumpah elu tuh nggak peka banget! Harus banget gua jelasin panjang lebar! Nggak bisa dikode,” cicitnya di akhir kalimat.

Radit yang tengah mengelus-elus lengannya melirik Dita ketika gadis itu sudah menggerutu tak jelas. Ia segera menyentil kening Dita gemas. “Gua tuh nggak suka dikode.”

“Tapi gua nggak suka to the point, Radit!!!”

“Itu mah semua cewek tapi gua pengen pengecualian buat lu. Yok balik! Gua traktir ice cream, mau?”

“Maukkk!”

Siguiente capítulo