webnovel

Goliath & Claes

Siang itu warga kota Gordian menangkap Gollium. Makhluk kerdil kekurangan gizi itu dipergoki warga sedang mencuri domba milik peternak. Gollium meronta-ronta. Wajahnya meringis-ringis. Jelas ingin terlepas dari cengkraman mereka. Tatapan kebencian warga terhunuskan kepadanya.

"Aku hanya ingin makan...." rengek Gollium. Sayang sekali tidak satu pun dari mereka mengerti bahasanya. Jadi, pembelaan apa pun yang dia katakan akan keluar sia-sia.

Sampai seorang warga berdiri dihadapannya, mungkin pemilik domba yang hendak dia curi, memegang sekop dengan tatapan tajam. Gollium yang melihatnya dari bawah jadi merasa terintimidasi.

"Pantas saja domba-domba di sini hilang mendadak, karena ulahmu rupanya?" Pemilik ternak domba itu geram.

Gollium gemetar ketakutan. Apalagi dirinya diancam dengan benda yang warga bawa. Gollium dikepung, dikelilingi mereka dengan alat pertanian sebagai senjata mereka. Terlampau geram, salah satu warga menghajarnya lebih dulu. Kemudian disusul warga lainnya memukuli makhluk udik tersebut.

Dia teraniaya. Tidak mampu membela dirinya sendiri. Tubuhnya yang lemah dikeroyok. Lalu seorang warga mengangkat lehernya dengan ringan. "Harus kita apakan makhluk menjijikkan ini?"

"Gollium tidak hanya ada satu. Jika kita membunuhnya sekarang bukan berarti pencurian di sini akan berakhir."

"Itu benar!"

"Mereka harus dimusnahkan!"

"Musim dingin sebentar lagi tiba. Kalau mereka mencuri lebih banyak makanan dari kita, kita akan kelaparan selama musim dingin."

"Hey, di mana makhluk sebangsamu bersembunyi?" Cengkraman di lehernya bertambah kuat. Gollium hampir kehabisan napas. Dari atas sini pandangannya bergulir melihat beberapa warga yang mengepungnya. "Kkkhh! Kalian semua---akan mati! Kkhh! Grrgh! Kalian semuanya---!" Dia mengatakannya dengan susah payah.

"Ada apa ini?" tegur suara lain dari belakang warga. Lalu Ello menyeruak kerumunan itu hingga berhenti di tengah lingkaran. "Tuan Ello, makhluk menjijikan ini telah mencuri hewan di peternakan! Dia harus dibunuh!" geram pemilik ternak itu. Tanpa melepaskan cekikan di leher Gollium.

"Kkhhh! Kalian semua akan matiii!"

"Dan dia terus berbicara seperti itu," sahut warga. "Apa anda mengerti bahasa yang dikatakannya?" tanyanya pada Ello.

"Bawa dia ke penjara!" perintah Ello. Dengan cekatan pengawalnya mengikat tangan makhluk kerdil itu dan membawanya ke penjara bawah tanah. Gollium dimasukan ke sel tahanan yang lembab namun hangat dengan dikelilingi tembok tanah. Makhluk itu mendesis-desis, menatap tajam, entah mengapa perasaan buruk menyergap benak Ello saat melihatnya.

Dia menyadari ada rasa takut dan gelisah menyusup ke naluri. Akan tetapi Gollium bukan makhluk yang dia takuti. Bukan. Bukan rasa takut karena wujud Gollium apalagi kekuatannya yang lebih lemah dari manusia. Ello berpikir. Lebih jauh lagi. Sampai tak sadar dahinyamengerut dalam.

Ah benar!

"Hey, apa yang ingin kau katakan sebenarnya?" tanya Ello di depan jeruji besi.

"Itu bahasa kaum Gollium. Kupikir ada orang yang pandai berbahasa Gollium," celetuk bawahannya. Berhasil menarik perhatian Ello dari makhluk tersebut. Sehingga kini tatapan Ello terpusat pada bawahannya dengan penuh penasaran.

"Apa kau tahu siapa orangnya?" Ello menuntut jawaban.

"Biasanya para cendekiawan bangsawan belajar bahasa asing termasuk bahasa Gollium. Tetapi jumlah mereka sedikit dan mungkin hanya ada di ibu kota. Ah! Bagaimana dengan komandan Vincent? Kudengar dia bisa bicara banyak bahasa?"

Ello terdiam berpikir. Ello merasa tidak bisa memanggil Vincent kembali ke tempat ini hanya untuk menerjemahkan ucapan Gollium. Terlebih mengingat pria itu sedang sibuk mengurus kemiliterannya nan jauh di sana. Jadi Ello berpikir bahwa ucapan Gollium tidak terlalu penting untuk diketahui.

Tiba-tiba saja ekspresi wajahnya tersentak. Seolah teringat sesuatu yang tertinggal. Maka, tanpa bicara sepatah kata pun, Ello bergegas keluar dari penjara bawah tanah dengan langkah lebar.

***

Axelia dan Isabelle telah tiba dengan kereta kuda di sebuah mansion mewah dengan penjagaan ketat di setiap sisi. Seorang pria baya beserta beberapa orang berdiri menyambut di depan pintu utama.

"Perkenalkan, nama saya Danzel. Saya adalah kepala rumah tangga di sini, dan dia adalah pelayan pribadi nona Axelia selama di rumah ini. Namanya Olivia."

"Anda bisa memanggil saya kapan pun Anda butuhkan," ujar Olivia dengan sopan.

Isabelle tampak tersenyum riang melihat sambutan hangat dari orang rumah. Betapa Axelia diperlakukan dengan istimewa di sini.

Sejujurnya hal seperti ini agak mengejutkan Isabelle yang awalnya dia kira takkan ada sambutan formal begini di mana biasanya hanya tamu istimewa saja yang mendapat perhatian mereka.

Setelah itu mereka menunjukan kamar tidur Axelia. Kelihatan mewah kalau saja penglihatan Axelia berfungsi. Bahkan Isabelle yang mendampinginya sampai terpukau melihat kemewahan kamar tidur Axelia.

Ranjang besar di tengah ruangan, jendela tinggi dengan tirai beludru tebal di sisi ruangan dan terhubung dengan balkon, ada satu set meja di depan ranjang lengkap dengan buah-buahan segar.

"Nona Isabelle, anda berada di kamar yang berbeda," ucap Olivia.

"Iya. Aku akan menemani Axelia dulu," balasnya riang.

"Baiklah. Jika butuh sesuatu harap panggil kami di luar." Kemudian Olivia segera pergi ke luar dengan menutup pintu perlahan.

"Ruang kamarnya sangat luas dan mewah. Itu seolah menunjukan bahwa hubunganmu dengan komandan Vincent tidak hanya sekedar teman, bukan?" Isabelle berkomentar, mengutarakan isi kepalanya dengan berbicara.

Lalu dia mendekat ke sisi Axelia untuk mengatakan. "Apakah benar kalian tidak hanya sekadar teman?" Isabelle sangat ingin tahu.

"Begini, ya. Komandan Vincent itu sangat terkenal di kalangan kami terutama kelompok wanita. Karena ketampanannya yang tidak biasa dari pria lain, juga karena kegagahannya yang menyihir pandangan kaum wanita.

Gosip tentang dirimu dan komandan Vincent sebenarnya sudah tersebar lho. Banyak yang menebak-nebak hubungan kalian. Sebab, komandan Vincent tidak pernah terdengar dekat dengan wanita mana pun kecuali padamu saja."

"Benarkah kami terlihat sedekat itu?" Axelia justru terheran. Darimana mereka terlihat dekat satu sama lain? Malah harusnya dia digosipkan dengan Aiden bukan dengan Vincent bukan?

"Ya! Komandan Vincent melihatmu dengan tatapan yang berbeda. Kami sering melihat kalian berduaan tetapi tidak pernah kami berani mengusik ataupun mendekati kalian." Isabelle begitu bersemangat saat membicarakan Vincent. Lain hal dengan lawan bicaranya yang lesu.

"Aku tidak pernah tahu akan hal itu ....." lirih Axelia berbisik.

"Ngomong-ngomong soal komandan Vincent, kudengar keluarga ini berkaitan erat dengan empat sekawan legendaris itu." Isabelle mulai bercerita. Yah dia tidak bisa menutup mulut jika kepalanya terus berisik. Walaupun begitu Axelia tidak terganggu selain mendengarkan dengan seksama.

"Empat sekawan legendaris?" Axelia membeo dua kalimat terakhir kopral Isabelle dengan nada bingung. Jelas sekali bahwa dia tidak mengerti maksud Isabelle berkata demikian.

"Ya, konon dulu ada orang yang pernah mengalahkan para vampir dan memerdekakan umat manusia, akan tetapi perjanjian damai itu dikhianati pihak vampir dengan membunuh pemimpin empat sekawan itu."

"Siapa saja mereka?" timpal Axelia.

"Sayangnya aku lupa. Mungkin kita bisa menemukan jawabannya di perpustakaan mansion ini."

"Baiklah, ayo kita pergi ke perpustakaan." Axelia beranjak.

Menuju perpustakaan dibimbing oleh Olivia. Olivia menjelaskan bahwa perpustakaan ini milik tuan muda mereka yakni Vincent, yang diizinkan untuk dikunjungi Axelia, bahkan Vincent berpesan kalau semua benda di rumah ini juga milik Axelia.

Axelia sempat terdiam mendengar pernyataan tersebut dari Olivia, sementara Isabelle menutup mulutnya karena tercengang tetapi ekspresi wajahnya seakan paham sesuatu.

Olivia tetap berdiri menunggu di dekat pintu selagi Isabelle mencari buku yang mereka maksudkan. Sedangkan Axelia mematung di tempat sembari mengedarkan pandangan untuk mencoba mencari sesuatu dari matanya yang gelap. Barangkali menemukan energi sihir di tempat ini.

"Aku menemukannya!" heboh Isabelle. Tergopoh-gopoh membawa beberapa buku tebal ke tengah ruangan. Lalu meletakannya di meja panjang. "Ini adalah buku sejarah, mungkin kita bisa menemukannya dari buku-buku ini," ujarnya dengan semangat.

Axelia menarik kursi dan duduk di samping Isabelle yang dalam sekejap sibuk membuka-buka buku tebal tersebut. Sayangnya Axelia tidak dapat membantu kopral muda ini untuk mencari apa yang dia inginkan. Jadi dia hanya duduk diam menunggu kabar dari Isabelle.

"Ketemu!" pekik Isabelle. Membuat jantung Axelia berdebar-debar mendengarnya.

"Apa isinya?" kata Axelia penasaran.

"Empat sekawan itu adalah klan Goliath, klan Claes, klan Hellius dan terakhir dipimpin oleh seorang wanita dari klan Rexiana. Keempatnya masing-masing memiliki peranan kekuatan yang unik.

Diantaranya, Goliath dikenal sebagai penjaga gerbang pertahanan dengan senjata andalannya adalah hammersonic. Claes dikenal sebagai ahli pengobatan terjenius sepanjang masa.

Lalu, klan Hellius ini kabarnya adalah sahabat dekat Rexiana. Dia berperan seperti bodyguard pertahanan terakhir untuk Rexiana. Sedangkan Rexiana sendiri adalah pemimpin mereka. Setelah perang besar itu, dan setelah pemimpin mereka terbunuh, mereka membubarkan diri dan tersebar ke belahan dunia. Tidak ada yang tahu apakah masih ada keturunan dari mereka yang tersisa atau tidak."

"Mereka ....." gumam Axelia, tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Isabelle tidak mendengar itu, dia kembali sibuk dengan membaca lembar demi lembar.

"Bukankah Aiden berasal dari klan Hellius? Nama keluarganya sama atau hanya kebetulan semata?" Axelia mencoba menyimpulkan. "Isabelle, kau kerabat jauhnya bukan? Pasti tahu sesuatu tentang Aiden. Apa dugaanku benar bahwa dia memang dari salah satu klan legendaris itu?"

Isabelle terdiam membeku. Dia tidak segera berbicara saat tatapannya terpaku kosong pada tulisan di buku. "Ya, dugaanmu benar. Aiden memang berasal dari klan Hellius." Akhirnya Isabelle menyatakan suatu fakta. Fakta yang baru diketahui Axelia seumur hidup mengenal Aiden. Rupanya instingnya tentang Aiden tidak pernah salah selama ini, pikir Axelia.

"Sekarang aku semakin dekat dengan kebenaran," bisik Axelia tiba-tiba menjadi percaya diri. Dia bertekad mengungkap jati dirinya sendiri, siapa dia, alasan dirinya hidup sebatang kara tanpa orang tua sejak bayi, dan mimpi aneh yang sering muncul.

Isabelle tidak tahu akan kehidupan yang telah dilalui Axelia dan Aiden, jadi dia tidak banyak berkomentar mengenai hubungan mereka.

"Axelia, jika kau butuh sesuatu, aku siap membantu." Isabelle berusaha memberikan kepercayaan pada Axelia. Dia tulus membantu Axelia apapun yang terjadi. Amanat dari Aiden adalah perintah untuknya juga.

"Aku harus menemui klan Goliath dan klan Claes."

***

Siguiente capítulo